trouble

2660 Kata
Terdengar dering lagu Rihanna- where have you been menggema di kamar ukuran cukup besar namun berantakan melebihi gudang angkut kapal itu. Merasa terganggu karna suara ngoroknya tersaingi dengan suara indah Rihanna, si penghuni kamar langsung menggapai-gapai tangannya di meja kecil sebelahnya dan mengangkatnya tanpa melirik siapa yang nelpon. “Hello, Diva’s here. Who is it?” Dengan mata terpejam dan ileran, dia menyapa si penelpon dengan gaya operator seluler dengan bahasa inggris yang ancur-ancuran. “Eh Div, lo gak usah sok gak kenal gue deh! Pake bahasa Inggris segala lagi! Sok bener lo! Bangun Diva! Liat jam woy!!!” Si penelpon berteriak penuh frustasi karna yang ditelpon bukannya merespon apalagi panik, malah terdengar ngorok. Telinganya terasa berdenging dan Diva membuka matanya lalu menjauhkan ponselnya dan melihat ke layar siapa yang menelponnya dipagi yang cerah ini dan sukses menghancurkan mimpi indahnya menjadi Putri Salju dan hampir kissing dengan Sang Pangeran. Kemudian cengengesan sendiri ketika teringat lagi mimpi itu. “Eh…Iya Ndrew, apaan?” Tanyanya polos. Si penelpon, Andrew hanya bisa menepuk jidat sendiri sambil mengurut d**a dan berdoa dalam hati semoga siapapun yang menjadi sahabat Diva, termasuk dirinya, akan diberi ketabahan tiada tara menghadapi sifatnya, terlebih untuk orang tua gadis itu sendiri. “Diva Lucynda Evelyn, sahabat gue dari kelas 1 SMA hingga saat ini, lo lirik jam dinding deh sekarang!” Perintahnya dengan suara penuh halus namun bernada gemas pengen melayangkan jitakan jarak jauh. Diva melirik jam dindingnya dan histeris sendiri “Astaga Ndrew! Jam 6 sekarang! OMIGOSH! Gue telat dong! Kayak gimana nih? Aduh… PR belom gue kerjain, baju sekolah belom gue gosok, buku pelajaran belom gue beresin, jadwal pelajaran gue ilang! HUAAAA!!! Gimana ini? Gimanaaaaa?!!!” Diva berteriak frustasi sambil mengacak rambutnya yang udah acak dari sononya. “Lo belom ngerjain pr Diva? Astagaaaa!!! Pr apaan yang belom lo kerjain?” Andrew mau tak mau ikutan mumet sendiri dan berharap semoga Cuma 1 pr yang belom dikerjakan. “Semuanya Ndrew! Fisika, kimia, Biologi, semuanya belom gue kerjain! Gimana… ini gimanaaa??? Kiamaattt gueee kiaamat!!” Andrew gantian histeris hingga Diva harus menjauhkan telponnya karna suaranya menggema di telpon. “WHAT?! Lo belom ngerjain semuanya, Diva?! Apa yang lo kerjain selama 2 hari ini?!” “Main game online Ndrew. Habis gue mau game over sih. Jadi kudu harus diselamatkan.” Diva membela dirinya sambil cengengesan. “Yang ada lo yang perlu diselamatkan Diva! Kalo Game over bisa diulang lagi. Lah elo? Kalo jadi tumbal sekolah, siapa yang nyelamatin?” “Kan ada lo yang bakal nyelamatin gue.” Diva menjawab enteng. “Mati deh gue.” Andrew membatin sendiri. Membayangkan kesibukan yang akan dilaluinya untuk mencegah gadis itu jadi tumbal bergilir oleh para guru. “Alamak Diva… Habis kalimat yang mau gue jadiin nasihat biar lo tobat! Udah, lo mandi sana, terus gosok tuh baju seragam dan ngebut kesekolah! Ntar gue bantuin deh!” Andrew memberikan solusi biar gadis itu tak frustasi. “Mandi? Gue gak mandi deh, toh Cuma cuci muka dan sikat gigi, selesai deh. Toh, Andrew gak tau juga. Waktunya mepet sangat nih!” Pikir Diva ketika mendengar perintah Andrew. Tahu apa yang direncanakan sahabatnya, Andrew mendesis “Lo harus mandi, Diva! Gue tau akal bulus yang lo anggap sangat jenius itu, lo pasti gak mau mandi kan biar cepat?! Lo gak mandi, jangan harap duduk disamping gue! Dan, lo harus siapin buku pelajaran, ntar jadwal gue sms deh! Dan… lo harus sampai disekolah jam 7 tepat! Lo mau terbang kek, ngesot kek, pake sapu terbang kek, terserah! Pokoknya harus sampai jam segitu! Gue gak mau jadi ayan untuk kesekian kalinya sampai lo datang biar pagar gak dikunci Mang Udin! Diva Lucynda Evelyn, do you hear me?” Ucapnya ketika tak mendengar ocehan apalagi keluhan dari Diva. Diva menguap sendiri mendengar ocehan Andrew yang semakin hari semakin mirip mamanya, bahkan terlalu mirip malah hingga dia mikir bahwa sebenarnya Andrew anak mamanya dan dia, entah anak siapa. “Iye…Iye…Gue mandi terus sikat gigi dan nyiapin buku terus dandan yang cantik deh. Bubye Andrew…” Diva menjawab dengan suara ala banci kaleng yang sanggup membuat sahabatnya merinding. Kemudian dia memutuskan telponnya dan ngakak ketika Andrew mengomel panjang pendek sebelum telponnya putus. “Ubanan juga lama-lama tuh anak omelin gue mulu.” Diva berbicara sendiri sambil masuk kamar mandi dan mandi secepat kilat, melebihi kucing dimandikan oleh majikan. Selesai mandi dan menggosok pakaian kemudian mengenakannya, Diva Lucynda Evelyn, Cewek yang baru saja berumur 18 tahun seminggu lalu—dengan wajahnya yang sebetulnya manis, namun karna sifatnya urakan, membuatnya menjadi jomblo abadi dan tubuhnya yang proposional cukup membuat para cowok menoleh kearahnya dan bersiul jahil—sedang asyik menyiapkan buku pelajaran sambil melirik jadwal pelajaran yang baru saja dikirim Andrew. Setelah selesai, dia tersenyum sambil menyisir rambutnya yang pendek dan merapikan bajunya. Kemudian cewek itu melirik jam dinding dan histeris sendiri. “WHAT?! JAM SETENGAH 7?! MAMPUS!” Umpatnya dan langsung mengambil tas sekolahnya dan ponselnya tanpa membereskan kamar. “Diva… gak sarapan dulu?” Mamanya menegur ketika Diva langsung menuruni 2 anak tangga sekaligus dan hampir jatuh kalau tak pegangan. “Gak sempat Mah! Diva berangkat dulu yah Mah, Pah.” Diva berhenti tepat didepan kedua orang tuanya dan menyalaminya satu-satu. Kemudian melanjutkan larinya. “Lo kesekolah pake apa? Lari?” Kakak perempuannya, Rere, menegur sambil memegang kunci kendaraan Diva. Diva menoleh dan nyengir. Tahu yang dimaksud, Rere melempar kunci dan langsung ditangkap mulus. “Thanks kak.” Diva berkata singkat dan lari keluar halaman. Beberapa detik kemudian, terdengar deru motor matic Mio meninggalkan rumah. “Gue harus ngebut! Harus ngebut! Udah jam 6.45!” Diva membatin sambil meliuk-liuk dengan motornya ala pembalap professional membelah Jakarta. Di sekolah, SMA PELITA HARAPAN, Andrew duduk frustasi di depan pos satpam sambil sesekali melirik jam tangan mahal pemberian sahabatnya, Diva dan berkacak pinggang. “Lo telat, gak akan gue bantuin, Diva!” Desisnya membuat sebagian cewek-cewek yang mengagumi Andrew, merinding. “Cakep-cakep tapi kok galak yah?” Ucap salah satu cewek sambil mengusap tengkuknya karna merinding. “Biar galak, tapi keren kok dimata gue.” Timpal yang satunya sambil terus menatap Andrew Janson Maynard, Cowok yang sukses menjadi Pangeran bagi para cewek karna tubuhnya yang tegap dengan tinggi 170 cm, tatapan matanya yang tajam dibalik kacamata minusnya, wajahnya yang tampan mirip Tom Cruise waktu muda dan blasteran Jerman – Inggris, serta otaknya yang jenius dan perhatian sama sahabatnya, Diva, membuatnya semakin dipuja dan berharap bisa menjadi Diva sehari aja. Melihat Motor Diva melaju masuk parkiran hingga hampir menabrak pohon Kelapa, membuat Andew langsung menghampiri gadis itu dan membuka kaca helm Diva dan melihat wajah gadis itu yang putih merona berubah menjadi putih pucat. “Lo gak pa-pa?” Tanyanya cemas ketika Diva langsung menyandarkan kepalanya di d**a Andrew yang bidang. “Jam berapa sekarang?” Diva mengabaikan pertanyaan Andrew dan melirik jam tangan yang dikenakan cowok itu. “Jam 7.00 pas. Lo gak telat Diva.” Andrew tersenyum dan membuat Diva nyengir. “Diva gitu loh… Gue ampe ngebut dan hampir aja nabrak ayam dan nenek-nenek di pasar pagi. Tapi untungnya gak ketabrak. Serasa sport jantung gue…,” keluhnya. Andrew tertawa mendengar nasib sahabatnya yang tak pernah akrab dengan keberuntungan, kemudian mengelusnya. “Lo udah sarapan? Gue bawa roti tuh. Soalnya gue kan tau lo gak pernah sarapan kalo telat gini. Ntar kendaraan gue yang parkirin deh. Lo masuk kelas aja, taroh tas, terus ada PR matematika dibawah laci gue, ambil aja.” Andrew berkata dengan lembut membuat Diva duduk tegak dan tersenyum ke arahnya. “Thanks. Tapi gue mau kerjain matematika sendiri aja, Ndrew. Gue gak mau ngerepotin lo lebih jauh lagi. Gue ingin mandiri. Gue masuk kelas dulu yah. Parkirin yang rapi yah, Mas,” ucapnya sambil turun dari motornya dan berlari masuk kelas meninggalkan Andrew yang melongo melihatnya. “Kunci kendaraan mana, Diva? Kendaraan lo beraat ...,” gerutunya membuat Diva berpaling dan tersenyum manis. Untuk sesaat lamanya, Andrew tertegun. “Baru sadar sahabat sableng gue satu ini manis banget senyumnya,” batinnya. “Nih .…” Diva melempar kunci kendaraannya dan melanjutkan lari masuk kelas meninggalkan Andrew yang mendorong kendarannya. “Tiaraaa ….” Diva berteriak ditengah bisingnya kelas 12 IPA yang kasak-kusuk mencari jawaban PR matematika. Merasa dipanggil, Tiara melambaikan tangannya bak orang hilang dan Diva langsung menghampirinya. “PR lo mana? Gue mau nyontek.” Diva langsung duduk disamping Tiara dan menagih PR, membuat kepalanya ditoyor sahabat labilnya itu. “Lo itu nyontek mulu kerjaannya! Usaha dikit napa?” Ucap Tiara jengkel melihat kelakuan sahabatnya namun tetap aja buku PR berpindah tangan kearah Diva. “Thanks sayang. Love you deh.” Diva mengucap penuh syukur dan mendekatkan tubuhnya ingin mencium Tiara, namun cepat-cepat didorong. “Jiakh… Lo bikin ancur image imut gue aja! Udah sono kerjain PR!” Perintah Tiara sambil mendorong Diva agar kembali ke habitatnya, duduk disamping Andrew yang juga sahabatnya, namun tak sedekat Diva. Terkadang, Tiara selalu berpikir. Apa benar diantara Diva dan Andrew, kedua sahabatnya itu, benar-benar tidak ada hubungan apa-apa lagi selain sahabat? Sejujurnya, semenjak mengenal Diva dan Andrew di bangku kelas 2, Tiara merasa bahwa hubungan kedua makhluk ajaib itu lebih dari sekedar sahabat. Diva yang tomboy, selalu terlibat masalah dengan siapa saja yang membuatnya marah. Kalau sudah begitu, mau tidak mau, Andrew akan selalu siap siaga. Apalagi kalau lawan yang dihadapi oleh Diva adalah seorang cowok. Meskipun tomboy, Andrew tentu tidak akan membiarkan Diva dilukai oleh cowok, bukan? “Diva ….” Tiara memanggil sahabatnya itu pelan. Diva yang sibuk menyalin PR, hanya menggumam tidak jelas. “Diva ….” “Hmm ….” “Lucy!” “Iih!” Diva langsung berhenti menyalin dan memandang Tiara dengan dongkol. “Kan udah gue bilang Tiara, jangan panggil gue Lucy! Itu nama bikin gue merinding, tau gak?” Tiara terkekeh. “Lagian, udah gue panggil berulang kali, nggak mau nengok-nengok. Lagian, kenapa sih lo gak suka dipanggil Lucy? Lucy kan nama lo juga, Diva. Bagus malah kata gue ….” Tiara malah mengomentari ketidaksukaan Diva akan nama tengahnya itu. Cewek itu benar-benar tidak tahu, kenapa Diva paling tidak suka kalau ada yang memanggil dia dengan sebutan Lucy. “Emang lo belom gue kasih tau, ya?” Tiara menggeleng polos. Dari sudut matanya, cewek itu menangkap sosok Andrew yang sedang memasuki ruangan kelas, sambil bercengkrama dengan Roy, cowok gebetan Tiara selama dua tahun ini. “Diva, ada Andrew tuh ….” Tiara menunjuk Andrew dengan dagunya. Diva hanya mengangkat bahu tak acuh, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada salinan PR nya. “Tadi udah ketemu di parkiran. Kan dia yang markirin motor gue,” jawab Diva singkat. Tiara hanya mengangguk pelan. Pertanyaannya tentang nama tengah Diva jadi terlupakan. Ya iyalah, kan sekarang ada topik yang lebih bagus lagi. “Mmm … Diva ….” “Duh, apalagi sih Ra? Kalau gak selesai, gue bisa dibacok sama Bu Arny!” Diva berkata cemas. “Woy, Diva!” Tiara mendelik kesal ke arah Andrew, ketika cowok itu datang dan langsung membuatnya berhenti bicara pada Diva. “Kunci motor lo, nih!” “Taruh aja di tas gue. Di depan, ya,” ucap Diva lembut. “Ck, Ndrew! Ganggu aja deh lo! Sono ah, gue mau ngomong sama Diva ….” Tiara mengomel sambil melotot ganas kepada Andrew. Cowok itu mengerutkan kening, dan menyelesaikan tugasnya menaruh kunci motor Diva di dalam tas. “Ngomong aja kali, Ra. Gue kan sahabat lo juga, ngapain pake rahasia-rahasiaan sih?” Tiara memutar kedua bola matanya gemas. “Elo emang sahabat gue sama Diva, tapi masa iya lo mau ikutan nimbrung obrolan gue sama Diva, sih?” “Lah? Emang kenapa?” Andrew garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sementara Diva lebih memilih diam dan kembali menyalin PR mematikan itu. “Girl things, and girl talk, Andrew Janson Maynard!” pekik Tiara kesal. “Apa sih obrolan cewek lo sama Diva itu? Palingan juga gak jauh-jauh dari ‘eh, si Roy cakep ya Diva? Aduh, gue kesemsem banget sama dia!’ atau ‘Lo tau gak tas yang dipajang di etalase depan toko Alfina’s Shop? Sumpah ya, keren banget!’” “ANDREW! GUE MAU OMONGIN MASALAH PMS TAUUUUUU!!!” Siiiinnggggg …. Andrew melongo, Diva mangap, seisi kelas memasang tampang t***l, tinggal Tiara yang menatap seisi kelas dengan wajah merah padam akibat malu. Duh, gara-gara si Andrew sialan nih! Dasar setan-jelek-muka-bloon-cap-bule-kampung!!! “Hehehe … itu … itu … maksud gue … PMS itu … proses makan sop ayam pedes! Iya, itu … lomba di deket rumahnya Diva! Iya kan, Diva?” tanya Tiara meminta kerja sama dari Diva. Dengan tampak yang masih shock dan t***l abis itu—mana mulutnya mangap kayak ikan mas koki megap-megap lagi—Diva mengangguk polos. Meskipun cowok-cowoknya cuman mengangguk bingung sambil mengerutkan kening, namun yang cewek-cewek tahu pasti apa maksud dari omongan Tiara barusan. Begitu juga dengan Andrew. Tiga tahun bersahabat dengan Diva, membuat cowok itu tahu apa yang dimaksud dengan PMS. Karena, pada tanggal-tanggal tertentu, Diva selalu mengomel tanpa sebab, marah-marah nggak jelas, dan berbagai macam aksi aneh lainnya. “Puas lo?!” desis Tiara tajam ke arah Andrew. Yang ditanya malah cengengesan. “Pantes lo ngomel-ngomel mulu dari kemaren, ternyata lagi ditilang sama pak polisi di lampu merah, ya? Uups! Keceplosan … hahahaha ….” Sepeninggal Andrew, Tiara berkomat-kamit ria, sibuk mengutuk dan menyumpah-serapah Andrew dalam hati. “Cowok bule sinting! Kenapa gue bisa sobatan sama dia, ya?!” Tiara melengos ke arah Diva. “Diva! Lo gak sinting mendadak apa sahabatan sama cowok model Andrew?” Diva menggeleng. “Nggak tuh. Udah ah, dari tadi lo ganggu gue terus. Keburu Bu Arny nyampe kelas, ni tugas belom kelar.” Tiara mingkem. Bibirnya terkatup rapat. Ini nih, pasangan ajaib tahun ini. Yang cowok kalem, nyolot, rame, asik, ramah, tapi bisa berubah segalak singa gak dikasih makan setahun, trus yang cewek tomboy, selebor, ceroboh, tukang berantem, keras kepala, dan selalu nyusahin! Emang sih dua-duanya cakep, tapi buat apa cakep kalau sifatnya pada aneh semua? Iya nggak? Heran juga Tiara, dengan sikap yang benar-benar bertolak belakang itu, Diva dan Andrew bisa bersahabat sampai saat ini. Dan untuk sementara, pertanyaan yang akan diajukan oleh Tiara pada Diva terlupakan akibat insiden yang diciptakannya sendiri karena ulah Andrew! “Di sini sekolahnya?” Seorang pria paruh baya mengangguk hormat sambil tersenyum lewat kaca spion tengah. Mobil sedan berwarna hitam mengkilat itu terparkir rapih di depan gerbang sekolah mewah. “Iya Mas Jo. Ini dia sekolah baru Mas Jo yang didaftarkan oleh Nyonya dan Tuan ….” Pria paruh baya itu menjawab sopan. Cowok yang duduk di kursi belakang sedan itu, yang beberapa saat dipanggil Jo oleh si pria paruh baya, tersenyum kecil. “Hmm … not bad ….” Jo berkomentar. “Seenggaknya bangunannya megah dan luas. Pak Min nggak usah nunggu saya, ya? Pak Min nanti ke sini lagi aja pas jam pulang sekolah.” Pria yang dipanggil Pak Min itu mengangguk patuh. Kemudian, pak Min turun dari kursi pengemudi, berjalan memutar, lalu membuka pintu mobil untuk anak majikannya. Jo turun dengan gagahnya. Tingginya mencapai 170 cm, dengan warna kulit yang cokelat dan mata tajam yang dinaungi dua alis tebal. Warna matanya cokelat terang. Hidungnya mancung, sedang bibirnya tipis berwarna merah, hingga siapapun yang melihatnya pasti mengira bahwa pemilik bibir seksi itu tidak bersahabat. Jo melangkah pelan menuju ruangan kepala sekolah. Dalam perjalanannya menuju ruang kepsek, cowok itu terus-menerus menjadi objek perhatian dari siswa-siswa yang masih mengobrol di halaman sekolah karena guru mata pelajaran yang mengajar di jam pertama belum hadir. Dan, selama itu pula, Jo mendengar komentar-komentar memuja dari kalangan cewek yang melihatnya datang. “Anjiiirrr … cakep banget sih?” ucap Tanya, si seksi yang selalu jadi bahan obrolan menarik bagi para cowok. “Mana? Mana?” disampingnya, Shabrina menimpali. “Wah, iya ya? Cakep! Indo gitu deh mukanya.” “Masa sih?” kali ini, Puput yang angkat bicara. “Aah, masih kalah kalau dibandingin sama Andrew! Gue sih tetap Andrewholic sejati!” Dan berbagai macam komentar serta pujian bertebara dari bibir para cewek-cewek itu. Jo hanya tersenyum sinis dan berdecak. “Cewek-cewek norak!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN