Pernikahan

1507 Kata
"lo kenapa?" Aku menoleh menatap sahabatku yang dengan nggak sopannya berjalan masuk kedalam kamar dan duduk di meja yang ada di depanku, bahkan di tangannya sudah ada sepiring yang penuh dengan beberapa cemilan yang memang di sediakan di acaraku nanti. "Tegang?" Tanya dia dengan kekehan kecil, membawa sepotong bolu kedalam mulutnya dan mengunyahnya dengan santai. "Biasa aja elah, ginian doang aja udah tegang lu!" Lanjutnya dengan mulut penuh dengan potongan bolu. Aku mendengus, malas menanggapi ucapan dia, karena ngeladeni sahabatku ini nggak akan ada habisnya. Lebih baik aku fokus dengan apa yang akan aku hadapi nanti, penting amat denger banyolan sahabatku ini. Dia mah enak udah aman dari segala tekanan yang bersangkutan dengan pernikahan, tinggal menikmati hasilnya yang bahkan udah hampir jadi, udah melendung juga itu perut bininya. Lah aku, masih harus berjuang dengan segala proses yang panjang ini, proses yang benar-benar membuatku tertekan. Apa ini yang mereka katakan tentang tekanan sebelum hari pernikahan? jika memang iya, maka yang bisa aku lakukan hanya pasrah dan berusaha menekan rasa ini dalam-dalam. Mencoba menghilangkan kegugupan yang ada dengan beberapa doa yang aku panjatkan. "Aman, Rei. Bayangin aja gimana khusyuknya malam pertama elo nanti, gue jamin nggak akan gugup deh lo!" Nah kan, aku melirik tajam kearahnya, seenak kata aja dia ngomong. Aku aja belum pernah tau apa itu malam pertama, Bisa-bisanya dia kasih suatu gambaran yang nggak bisa aku bayangin. Jangan hujat diri ini please, aku emang udah kolot tapi aku masih awan urusan ginian, yang aku alami hanya sebatas mimpi basah doang dan nggak lebih. Cupu? Terserah, aku lebih memilih menghindari zinah dan lebih memilih menjaga kesucianku untuk istriku kelak. Bukan sok suci, tapi berusaha lebih baik untuk sesuatu yang baik. "Eh iya lupa, lo kan masih ting-ting ya!" Deni terbahak di sana dengan kunyahan bolu yang bertebaran hampir mengenai wajahku. Aku mendengus memperhatikan tingkahnya, setelahnya dia beranjak sembari menoleh kearah ku dengan senyum tersungging. "Tenang, bawa santai aja, percaya deh semakin Lo tegang semakin tertekan perasaan Lo. Jadi tenang dan biarkan semua mengalir apa adanya." Sekali lagi aku mendengus, menatap kepergian sahabatku yang sudah menghilang dibalik pintu, aku beralih menatap pantulan refleksi diriku di cermin, menilik sekali lagi bagaimana penampilanku hari ini. Perfect, dan aku merasa sudah tampan dengan balutan kemeja dan jas putih yang membalut tubuhku. Tersenyum puas, aku berdiri dan melangkah keluar, masih ada beberapa menit sebelum berangkat ke kediaman Diva, wanita yang akan menjadi pelengkap hidupku kelak. Senyumku tersungging saat membayangkan betapa bahagianya hidupku nanti. Ais, bisa nggak sih mempercepat waktu? Aku nggak sabar rasanya untuk mendekap dan meluruhkan semua kasih sayangku ke wanita yang paling aku cintai, mengabdikan untuk selalu berada di sisinya kelak. Menjadi imam dari seorang wanita yang juga mencintaiku. Astaga, Kenapa hanya membayangkannya saja bisa membuatku hampir gila gini sih? "Wah... Wah..., Calon manten senyum-senyum mulu dari tadi, bahagia banget sih?!" Aku menoleh kearah ruang tamu yang sudah ramai dengan sanak saudara, Bimo salah satu sepupu yang tengah asik berbincang dengan bapak dan paman menatap kearahku dengan senyum yang mengembang dengan sempurna. Jujur menjadi perhatian keluarga besar seperti ini membuatku merasa aneh. Aku mengangguk dengan senyum yang masih mengembang, kebahagiaan ini seolah ingin aku tularkan kepada mereka orang terkasih yang selalu mendukungku, aku memilih mendekat, lalu duduk di antara mereka. "Gimana? Tegang?" Aku meringis mendengar pertanyaan bapak, beliau ini selalu tahu apa yang aku rasakan, memang ya ikatan ayah anak itu nggak bisa dielakkan lagi. Setelahnya aku merona saat tangan besar bapak berhasil bertengger di puncak kepalaku, mengusap dengan kasar di ikuti kekehan dan tawa dari orang-orang di sekitarku. Jujur ada rasa bahagia tersendiri saat melihat bagaimana mereka bahagia di hari bahagiaku, aku merasa lengkap dengan keberadaan mereka. Keluarga besar dan para sepupuku. "Udah dewasa anak bapak ini, nggak kerasa ya? Padahal kamu dulu sekecil ini." Tangan bapak terarah menunjukan ukuran tinggi tubuhku yang hanya sebatas pinggangnya. "Suka minta duit buat beli jajan. Suka nangis kalo digodain Ayuk kamu. Suka ngadu ke bapak kalo dinakalin temen kamu...." Ada jeda sesaat. Dan suasana terasa mellow, aku menunduk, rasanya waktu berputar dengan cepat kilasan masa kecil di mana aku begitu manja dan nakal dengan tingkah ku dulu membuat dadaku berdesir, aku merasa belum menjadi seorang anak yang berbakti pada bapak, bahkan aku belum bisa membahagiakan bapak dan ibu, aku masih belum bisa membalas semua jasa beliau. "Sekarang udah mau nikah aja anak bapak ini. Waktu berlalu dengan cepat ya...," Ucap bapak menatapku sendu, mataku berkabut, aku yakin sebentar lagi bulir bening yang sejak tadi kutahan akan luruh karenanya. Aku mengangguk sembari menunduk, tak berani menatap wajah bapak, aku hanya takut aja air mataku menerobos keluar karena suasana. Aku nggak tahu harus berkata apa. Beliau orang terhebat yang sudah sabar membimbingku, menuntun setiap langkah yang aku lalui, memberi arahan dan nasehat yang selalu aku ingat hingga sekarang. Sosok yang menjadi orang paling depan melindungi aku dari apapun itu, beliau orang paling hebat yang aku miliki. "Bapak nggak bisa kasih kamu pesan atau petuah seperti kebanyakan orang tua lainnya, pesan bapak cuma satu...," Bapak menjeda ucapannya, menepuk punggungku beberapa kali. "Kamu sudah memutuskan untuk menjadi seorang kepala rumah tangga, menyatukan dua kepala di dalam satu rumah itu nggak segampang kita mengucap. Apapun yang terjadi nanti, seberat apapun masalahmu nanti jangan sekalipun kamu mengeluh, membentak ataupun berbuat kasar pada istrimu kelak. Kamu laki-laki, akan ada saatnya emosi kamu nggak bisa di kontrol, dan jika itu terjadi jangan sampai tanganmu menjadi sebuah alat untuk melampiaskan kemarahanmu dengan memukul ataupun menyakiti istrimu. Berusahalah meredam semua itu. Coba bicarakan baik-baik, cari jalan keluarnya. Jangan sekalipun kamu berbohong, karena kebohongan kecil akan menciptakan kebohongan lain, jujur dan coba terbuka dengan apa yang kamu lalui. Kamu sudah besar dan kamu harus lebih dewasa setelah ini. Jangan contoh kelakuan bapak dulu, cukup bapak yang melakukan hal konyol itu, usahakan kamu jangan. Jangan sampai kamu menyesal seperti bapak." Mataku berkaca, aku paham dengan apa yang diucapkan bapak, beliau memiliki masa lalu yang kelam, penyesalan yang begitu mendalam walau sekarang beliau sudah menjadi sosok yang begitu baik dan ayah yang hebat, tetap saja kenangan itu tidak akan pernah hilang diingatan bapak dan ibu. "Kamu harus menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab, menjadi imam yang baik untuk calon makmum mu kelak." Aku mengangguk, air mataku bahkan sudah luruh tanpa aku sadari, tak ada kata yang bisa terucap, hanya merenungi dan berusaha menjalankan semua kodrat yang akan aku tanggung di kemudian hari. Ini langkah pertamaku menginjak sebuah kehidupan baru, menyatukan dua kepala dalam satu tempat, berusaha menjadi pendengar, tempat bersandar, tempat berkeluh kesah dan tempat mengadu yang selalu setia. Aku sudah meyakinkan diri, menyiapkan hati dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menyayangi Diva apapun yang terjadi. Aku mendongak, menatap bapak dengan wajah sendu. Lalu menubruk masuk kedalam pelukannya. Memeluk tubuh tua yang sudah menjadi tempat berlindungku selama ini. "Terima kasih...," Ucapku lirih dengan mata terpejam, menghidu aroma yang menguar dari tubuh tua yang selalu membuatku tenang. "Rei kalo besar nanti mau jadi apa?" Satu pertanyaan yang begitu terngiang di kepalanya hingga sekarang, satu pertanyaan yang menjadi pegangan teguh dirinya meniti karir. "Rei mau jadi pengukir seperti bapak!" "Loh kenapa?" Tanya bapak saat itu dengan raut bingung. "Karena bapak keren! Bapak Bisa bikin sesuatu yang nggak bisa di buat sama orang-orang." Bapak tersenyum lembut, tangan yang penuh dengan cat pernis itu mengelus lembut puncak kepalaku. Lalu membawa tubuh kecilku kedalam gendongannya, aroma kayu dan cat menguar nyaman masuk kedalam penciumanku. Aku suka aroma bapak. "Kamu tau alasan kenapa bapak suka membuat patung?" Tanya bapak dengan tatapan tertuju pada patung yang sedang dibuatnya. Patung gadis cantik yang saat itu aku belum mengerti apa maksud dari patung itu, patung yang masih disimpan hingga sekarang. Saat itu aku menggeleng tak mengerti, mengikuti arah tatapan bapak. "Karena bapak bisa mencurahkan semua perasaan bapak pada sebuah patung dan pisau pahat, bapak bukan tipikal orang yang bisa menceritakan kesedihan atau kebahagiaan, bapak cuma bisa menggambarkan pada sebuah ukiran patung, dan membiarkan tangan bapak yang berbicara." Aku tidak mengerti, tentu saja umurku masih 6 tahun saat itu, aku hanya mengangguk yakin dan menganggap perkataan bapak keren, dia terbaik dengan semua karya yang sudah dia ciptakan. Hingga lambat-laun aku mengerti alasan dan ucapan bapak saat itu. Terlebih arti patung yang dia buat saat itu. Patung berupa bentuk gadis cantik yang tengah duduk dengan tangan menopang dagu dan tatapan kosong, menggambarkan penyesalan dirinya akan perlakuannya waktu lalu, penyesalan yang hanya bisa dia curahkan pada sebuah patung. Penyesalan karena sudah membuat ibu kecewa dan tersakiti oleh perlakuannya. "Kalau kamu besar nanti, seburuk apapun kelakuanmu tolong jangan sekalipun kamu membuat seseorang kecewa, karena mungkin kamu akan menyesal setelah menyadari perbuatan mu di kemudian hari." Satu pesan yang masih ku ingat sampai sekarang. Bapak mengajarkan banyak hal yang benar-benar membuatku menjadi sosok yang sekarang ini. Jujur, aku bahkan tidak merasa kalau diri ini sempurna, tapi setidaknya aku bisa menghindari semua hal yang mungkin akan menyakiti hati seseorang. "Terima kasih sudah menjadi bapak terbaik untuk Rei. Terima kasih...," Ucapku lirih, air mata sudah tak mampu ku bendung lagi, semua luruh dengan bebas. "Terima kasih...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN