8. Di Usir

1996 Kata
Suara piring berantakan terdengar, sesaat kemudian suara piring yang pecah itu memanggil Sinta dan semuanya, terkecuali anak-anak yang masih bermain, Sinta membulatkan matanya ketika melihat piringnya yang pecah dan tidak lagi utuh. Sinta menyeret Devina dan membawanya keluar dari rumahnya, ia tidak bisa menahan amarah lagi, cukup saja Devina menjadi beban di sini, dan ia tidak bisa tahan lagi jika terus membiarkan Devina tinggal di sini. Qiara menangis ketika melihat ibunya terjatuh di lantai. Qiara langsung memeluk ibunya. “Bu, Mama saya kenapa diginiin? Ibu jahat banget,” lirih Qiara. “Anak kecil nggak usah ikut campur, kalian berdua pergi saja dari sini, aku nggak membutuhkan kalian berdua.” “Bu, saya mohon untuk tidak mengusir Devina dan putrinya,” kata Riani. “Diam kamu, Riani, kecuali kamu mau pergi bersama mereka, aku sudah cukup sabar ya selama beberapa bulan ini, mereka tidak pernah membantuku, hanya mengerjakan rumah, makan dan tidur saja, kalian tahu pemasukan di panti asuhan ini sedikit, namun mengapa bebannya banyak sekali? Termaksud kalian berdua,” tunjuk Sinta. “Bu, papaku orang kaya, papaku bisa membeli makanan,” kata Qiara. Sinta tertawa mengejek. “Apa? Orang kaya? Orang kaya pantatmu? Anak kecil berani juga melawannya, pasti di ajarin ibunya.” “Ma, cukup! Kasihan Devina dan Qiara, Devina sudah banyak membantu kita selama ini, bahkan Mama tidak pernah kerja, semua Devina yang kerja,” sambung sang suami—Burhan. “Diam kamu ya, Pa, mau Mama usir juga?” “Udah cukup. Aku akan pergi, Bu,” kata Devina. “Aku akan mengambil barang-barangku.” “Nggak perlu. Riani yang akan mengambil barang-barang busuk kamu itu.” Riani lalu melangkah, ia tak tega melihat Devina dan Qiara terusir dari panti asuhan ini, sedangkan semua orang tahu, jika Devina tidak memiliki tempat tinggal yang lain selain di sini. *** Zein masuk ke rumah dan melihat Handoko—ayah kandung Rahelia—dan keluarganya tengah makan malam bersama. Zein menghela napas dan menghampiri meja makan. “Kamu sudah pulang? Ayo duduk,” kata Manda membuat tatapan mata Zein melotot, itu tandanya ia tak boleh menegurnya. Manda menghela napas dan menyiapkan piring makan untuk anak tirinya. “Halo, Pak Zein,” ucap Handoko. “Halo, Om,” jawab Zein. “Apa kabar?” “Maaf saya telat, kabar saya baik,” jawab Zein dengan helaan napas halus. “Oh iya, tapi kelihatannya kamu banyak pikiran, buktinya kamu kelihatan kurus.” “Saya baik-baik saja, Om, saya hanya banyak memikirkan perusahaan,” jawab Zein. Zein menautkan alis melihat keakraban keluarga Rahelia dan keluarganya, namun anehnya mengapa sepertinya suasana ini sangat asing? Selama ini … Handoko tidak pernah datang ke rumahnya, jika makan malam, Handoko pasti akan mengundang Zein ke rumahnya. Sungguh sesuatu yang tidak bisa ditebak. “Ayo makan,” kata Dante pada putranya. Zein mengangguk dan mulai memuat nasi dan lauk sangat sedikit dipiringnya, Rahelia menggelengkan kepala dan merebut piring makan Zein yang ia pegang. “Gimana nggak kurus kalau kamu makannya dikit kayak gini,” kata Rahelia, lalu memuat nasi dan lauk yang sedikit banyak dan diberikan kepada Zein. Zein tidak mengatakan apa pun, ia hanya menuruti perkataan Rahelia, ia tak pernah tahu jika perpisahannya dengan Devina ada sangkut pautnya dengan Rahelia yang mengusir Devina tiga tahun yang lalu. Zein tidak pernah tahu wanita seperti apa Rahelia itu, namun obsesi Rahelia menjadi bagian dari hidupnya tidak pernah di lewatkan. Setelah makan malam, semuanya duduk di ruang tamu dengan jendela terbuka sehingga orang diluar sana melihat mereka. Dante berdeham dan berkata, “Papa dan Om Handoko ini akan menjodohkan kalian,” kata Dante membuat mata Zein membulat. “Maksudnya apa? Aku dan Rahelia hanya teman, kami—“ “Teman bisa menjadi pendamping hidup, Nak,” kata Dante. “Jika perusahaan Om Handoko ini bersatu dengan perusahaan kita, pasti akan membawa keburuntungan besar.” Zein menoleh dan menatap Rahelia. “Katakan pada ayahku dan ayahmu bahwa kita hanya teman, dan kita sudah sepakat akan selamanya menjadi teman.” “Zein, aku nggak bisa menolak permintaan ayahku meski aku juga suka kita jadi teman,” kata Rahelia membuat Zein menghela napas panjang, Rahelia pun setuju atas perjodohan ini, lalu bagaimana pernikahannya dengan Devina? Apa akan benar-benar berakhir, dan cincin ini? Apa benar-benar akan ia lepaskan? Handoko melihat cincin yang dikenakan Zein di jari manis kanannya, Handoko menautkan alis dan berkata, “Itu cincin siapa, Pak Zein? Kenapa Anda mengenakan cincin pernikahan?” Rahelia membulatkan matanya penuh dan menggelengkan kepala. “Ini cincin dari Rahelia, Pi,” jawab Rahelia sebelum Zein benar-benar mengatakan bahwa ia sudah menikah. “Rahel memberikan cincin ini untuk mengungkapkan pada semua orang bahwa Zein milikku,” sambung Rahelia begitu pintarnya. “Aku mau bicara denganmu,” kata Zein beranjak dari duduknya dan di susul oleh Rahelia. Zein berdiri didekat kolam renang dan menatap Rahelia yang berdiri didekatnya. “Apa maksud semua ini? Kamu lupa apa yang kita sepakati? Aku nggak bisa menjadi suamimu, aku hanya bisa menjadi teman.” “Zein, semua ini permintaan ayahku dan ayahmu, aku nggak bisa nolak.” “Nggak bisa nolak? Lalu kenapa kamu mengatakan bahwa cincin ini dari kamu? Cincin ini menunjukkan bahwa aku sudah menikah dan aku sudah menjadi suami dari orang lain.” “Lalu mana istrimu? Apa dia datang? Mana dia? Kenapa dia nggak pernah datang? Apa kamu mau menghabiskan seluruh hidupmu pada harapan yang nggak akan pernah terjadi?” tanya Rahelia. “Setidaknya aku bisa membuatmu melupakan wanita itu.” “Wanita yang kamu katakan memiliki nama.” “Bukankah kamu membencinya? Kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu membencinya, kamu tidak akan pernah lupa dia telah mengkhianati kamu.” Zein mengelus puncak kepalanya, kepalanya sudah hampir meledak memikirkan tentang Devina yang entah dimana, sekarang ditambah lagi dengan perjodohan yang di atur tanpa persetujuannya, semua itu memenuhi kepalanya, ia masih mengharapkan Devina dan akan terus menjadi suami Devina, setiap hari yang ia lakukan adalah menunggu Devina kembali, bahkan ia masih sering ketaman itu untuk menunggu istrinya. Meski apa pun yang ia lakukan hasilnya tetap nihil. “Aku tetap nggak bisa menikahi kamu,” kata Zein. “Katakan saja pada ayahku dan ayahmu tentang penolakanmu, tapi jangan salahkan aku jika ayahmu darah tingginya kambuh dan makin struck.” “Kamu mengancamku?” “Aku nggak mengancammu , aku hanya ingin kamu buang egomu dan memikirkan tentang ayahmu yang sedang melawan sakit dan maut. Meski dia berbicara dan merasa dirinya baik-baik saja, kamu tahu persis bagaimana kondisinya.” Zein menghela napas panjang, ia tak tahu harus mengatakan apa lagi, namun apa yang dikatakan Rahelia memang benar adanya, Dante sedang melawan sakit, meski terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya ada sakit yang bisa saja membuat nyawa ayahnya melayang. Zein tidak tahu lagi, ia lalu melangkah dan menuju kamarnya memilih menaiki tangga dibelakang, kepalanya sudah akan meledak. Rahelia menyunggingkan senyum liciknya, dan bersedekap, ia tidak tahu harus mengatakan apa, namun kali ini dia bahagia bisa melihat Zein tidak keukeuh menolak perjodohan mereka, Rahelia sengaja memaksa ayahnya untuk menjodohkannya dengan Zein dan membujuk Dante, dan semuanya telah terjadi, Rahelia senang sekali. *** Temmy dan Pelinda tengah di perjalanan menuju rumah Zein, mereka baru saja tiba di Bandara, dan langsung di jemput oleh Rama—sekretaris Zein. Temmy dan Pelinda sengaja kembali ke Jakarta untuk menemani Zein yang tengah dilanda patah hati karena rasa sulitnya kehilangan Devina dan pernikahan mereka berakhir. Pelinda tahu sekali jika beberapa tahu yang lalu, Devina tengah hamil anak Zein, namun ia belum bisa mengatakannya kepada Zein tentang itu, baru ia dan suaminya yang tahu, mereka sepakat tidak menambah kesedihan Zein jika mengetahui kehamilan Devina. Devina salah mengambil langkah ketika ia hendak ke Indonesia dan menemui suaminya, namun ia bertemu dengan Rahelia yang menghadang segala derap langkahnya. “Aku nggak nyangka, Sayang, kita menginjakkan kaki di Jakarta lagi,” kata Pelinda seraya menyusuri setiap tempat dengan matanya. “Aku juga, Sayang, namun kita tetap akan kembali ke Spanyol.” “Tentu saja. Setelah Zein baik-baik saja, kita harus kembali, tak ada pencaharian di sini, jadi kita memang sudah ditakdirkan tinggal di Spanyol.” Temmy tertawa riang mendengar perkataan istrinya, ketika memandangi jalan, Pelinda membulatkan matanya penuh ketika melihat seorang wanita mirip Devina tengah berjalan di bahu jalan bersama anak kecil, dengan menenteng tasnya. Pelinda terus mengikuti langkah kaki wanita itu. “Stop, Pak,” kata Pelinda membuat Rama menginjak rem. “Ada apa, Sayang?” tanya Temmy. Pelinda turun dari mobil dan melangkah menyusul langkah kaki wanita yang disangkanya adalah Devina, beserta anak kecil yang mengenakan piyama berwarna biru langit dengan gambar karakter frozen. “Devina!” teriak Pelinda membuat Devina dan Qiara berbalik dan menatapi Pelinda. Air mata Devina luruh begitu saja dan melepaskan tasnya berlari memegangi putrinya dan memeluk Pelinda yang kini menangis, Devina tak menyangka doanya dikabulkan oleh Tuhan untuk mempertemukannya kembali dengan sahabat lamanya yang dulunya selalu ada buatnya. Devina menangis hingga bahunya berguncang. “Aku kangen banget sama kamu,” kata Devina. “Aku juga, Dev, kamu darimana aja? Aku hampir gila mencarimu,” lirih Pelinda. “Panjang ceritanya,” jawab Devina. “Ini Qiara Zaskia Winata.” “Winata? Apa dia anak Zein?” tanya Temmy ikut sedih melihat keadaan Devina saat ini. Devina menganggukkan kepala. “Hari yang baik kita ke Indonesia hari ini, dan aku bisa menemukanmu, kita ke rumah Zein sekarang,” kata Pelinda masih menggenggam kuat tangan Devina. “Aku nggak bisa, Lin,” tolak Devina. “Mengapa?” “Aku belum siap ketemu Devina,” jawab Devina menggelengkan kepala. “Tenang saja. Kita menginap di rumah Zein tanpa ada Zein di rumahnya, sekarang Zein kan tinggal sama papanya dan rumahnya kami yang akan tempati sementara kami di sini,” jawab Pelinda membuat Temmy menghela napas dan menggendong Qiara. “Nama Om siapa?” tanya Qiara polosnya. “Nama Om adalah Temmy, jadi panggil saja Om Temmy, Om ini sahabatnya papanya Qiara.” “Jadi benar Om, kalau Papa Qiara masih hidup?” “Tentu. Papa Qiara masih hidup bahkan hidup dengan baik,” jawab Temmy mengelus lembut rambut Qiara, anak sekecil ini belum mengetahui hidup yang dijalani ibunya, namun mampu menjadi tempat Devina bersandar. “Bagaimana jika Zein ke rumahnya dan bertemu kalian?” “Tenang saja. Kami akan mengatasi itu, banyak hal yang harus kami selesaikan di sini, jadi kamu termaksud hal yang harus kami selesaikan,” jawab Temmy membuat Pelinda menganggukkan kepala. “Aku baru akan meminjam uang untuk membeli tiket kembali ke Spanyol.” “Kita akan kembali. Aku akan membawamu bersamaku, di sana kamu masih punya rumah yang dibeli Zein, jadi hidup lah di sana bersama Qiara.” Devina menganggukkan kepala. Mereka lalu masuk ke mobil, Rama diam saja sejak tadi dan tidak tahu harus menanyakan apa, karena ia tak berhak bertanya dan dijawab jika ia melempaskan pertanyaan, Devina sudah cukup tersiksa selama ini. “Rama, ini istri dari bosmu,” kata Pelinda. Membuat Rama membulatkan matanya penuh. Devina menyikut Pelinda dan membuat Pelinda menggelengkan kepala. “Tenang saja. Dia bisa di ajak kompromi,” jawab Pelinda. “Jangan katakan pada Zein kami bertemu,” sambung Pelinda. “Pak Zein pasti akan sangat senang bertemu dengan Anda,” kata Rama. “Belum waktunya, Rama.” “Kenapa bisa begitu?” “Jalan saja dulu, jangan menanyakan apa pun, kami pasti akan menjawab pertanyaaanmu sesampainya kami di rumah.” Qiara duduk dipangkuan Temmy dan Qiara terus menatap wajah Temmy. “Om ini papaku?” tanya Qiara berhasil membuat Pelinda dan Temmy tertawa. “Om dan Tante belum punya anak, Qiara,” jawab Pelinda. “Doain Tante sama Om agar bisa punya anak kayak Qiara, ya.” “Aminn,” ucap Qiara. “Lalu siapa Papa Qiara?” “Nanti akan ketemu kok,” jawab Temmy. “Baiklah. Qiara udah nggak sabar ketemu Papa.” Qiara begitu semangat ketika mendengar jawaban Temmy, setidaknya ada harapan baru untuknya bisa bertemu papanya. Selama ini, Qiara sudah menjadi anak yatim yang penurut, namun sejak tahu ayahnya masih hidup dan ayahnya orang kaya, Qiara menjadi lebih semangat lagi menjalani hari dan makan yang banyak agar bisa bertemu papanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN