"Anin!"
"Huh!!" Seolah terhisap dari suatu tempat yang begitu gelap, Anin tersentak membuka mata, nafas tersengal-sengal seperti habis lari jauh.
Kedua pupil mata membesar, bergerak menelusuri setiap sudut ruangan.
"Hei, Lo kenapa deh?"
Suara itu, suara Raquel. Anin pun segera mengalihkan pandangan menatap Raquel.
"Lo,"
"Apa sih, lu kenapa? Hei, kok kayak orang linglung begini. Makanya gue bilang jangan tidur, lah ini bukannya siap-siap malah tidur."
"Apa!? Ti-tidur? Ah, anakku."
"Anak? Lu hamil!? Astaghfirullah, gila lu ya. Baru juga mau ijab kabul malah hamil duluan. Ini_"
"Ijab kabul?" Anin tengah kebingungan, ia berdiri menghadap cermin tak percaya melihat dirinya sedang memakai gaun pengantin.
"Anin, lu kenapa jawab gue dong." Raquel tampak frustasi melihat sahabatnya seperti orang kehilangan sesuatu.
"Nin, Lo nangis? Astaga, kok gini sih." Raquel meraih tisu, menghapus jejak-jejak air mata Anin.
"Please lu kenapa, apa yang terjadi." Raquel semakin khawatir Anin bukannya berhenti menangis, gadis itu semakin mengeraskan suaranya.
Hingga Raquel pun hanya bisa diam menunggu Anin selesai.
"Rael?"
"Ya," Raquel tersenyum ketika Anin memeluknya erat. Tiba-tiba tersentak saat Anin mendorongnya dan mundur.
"Astaga, salah gue apa ya Allah. Lu kenapa sih, hah." Raquel mulai kesal.
"Ckh, udah mending nggak usah di jawab, sekarang ayo baikin make up lu bentar lagi Caka datang. Gue tau lu sedih nggak ada Tante sama om yang dampingi, tapi kan ada gue disini. Lu udah gue anggap saudara, tenang aja gue yakin orang tua lu seneng liat anaknya akhirnya menemukan rumah untuk dia kembali tempat dia bisa_"
"Hari ini tanggal berapa?" Tanya Anin menyela Raquel merasa ada yang janggal mendengar semua omongan gadis itu.
Dejavu.
"Oh?" Raquel bingung kalimat panjangnya malah di sela seolah tidak ada artinya. "Hufftt… sabar El, sabar." Raquel mengusap dadanya. "Sekarang tanggal 15 Oktober."
"Tahun?"
"2019."
Anin terdiam, matanya melihat ke bawah mengusap perutnya. Aku kembali ke masa lalu.
"Loh loh loh, kok… Anin!" Raquel dengan cepat menahan tubuh Anin, setelah dibuat bingung kini Raquel dibuat kelimpungan Anin tiba-tiba pingsan.
***
"Engh… " Anin melenguh mencoba mengerjapkan kelopak mata, menetralisir cahaya lampu yang menusuk kelopak matanya.
"Sayang, kamu sudah bangun. Hhh… kamu kecapean sampai pingsan gini." Caka mengecup punggung tangan Anin, melihat perlakuan manis Caka, Anin jadi teringat semua kejadian itu.
Anaknya harus menghilang karena b******n ini. Rasanya sesak sekali bagaimana dia mencoba bertahan namun terus didorong ke jurang.
"Ada yang sakit?" Tanya Caka.
Walau jijik, Anin mencoba tidak muntah melihat muka khawatir lelaki di sampingnya.
"Maaf, pernikahan kita harus_"
"Gapapa, kesehatanmu lebih penting sayang. Lagian kita bisa melakukannya disini."
"Apa!?" Anin langsung bangun, meringis merasakan sakit di bagian kepala. Perasaan dia pura-pura pingsan deh, apa pingsan beneran?
"Kenapa, kok panik gitu?"
"Caka,"
"Caka? Biasanya kamu manggil sayang atau nggak mas. Ini kok,"
"Maaf. Tapi boleh nggak kita tunda dulu pernikahan nya,"
"Jangan gila kamu. Semua sudah disiapkan, bagaimana bisa_"
"Aku yang bayar kerugiannya. Please, aku lagi nggak baik-baik aja." Sela Anin melempar tatapan memohon pada Caka.
"Ckh, terserah. Aku kecewa sama kamu. Segampang itu kamu menunda itu sama saja kamu membatalkan impian kita, tanpa memikirkan hatiku seperti apa. Dan juga bagaimana tanggapan ibu dan kakak-kakakku mereka bakal tambah benci sama kamu." Setelah itu Caka memilih pergi dari ruang rawat Anin dengan perasaan kesal.
Anin tersenyum miris, menyeka air matanya. Ia mengusap perutnya. "Nak, kamu beneran udah nggak ada ya? Rasanya baru tadi ibu merasakan tendanganmu. Sekarang… " Anin buru-buru menyeka air matanya melihat pintu terbuka.
"Suami lu kenapa?" Tanya Raquel menaruh buah di meja samping brankar.
"Calon,"
"Ckh, iya calon suami lu kenapa? Keluar-keluar muka nya udah dilipat gitu." Raquel duduk.
"Pernikahan kami di tunda."
"What!? Gila lu ya." Raquel terkejut bukan main, berpikir Anin sudah tidak waras. "Gedung semua nya, itu mahal banget anjir." masih mencoba tetap waras di saat Anin sudah tidak.
Anin menghela nafas berat. "Gue yang bayar semuanya, tho, yang nunda_"
"Elu gitu?"
"Ya."
"Tapi kenapa? Dia bahkan minta penghulu buat datang nunggu lu sadar dulu baru kalian lanjutin." Kesal Raquel.
"Sebentar, kok lu ngotot banget pengen gue nikah?"
"Nin?" Raquel tercengang. Kenapa dia jadi terdakwa gini? Maksudnya gini loh, dia cuman bertanya lalu salahnya dimana?
"Sorry, tinggalin gue, gue pengen sendiri dulu. Apapun alasannya, biar ini urusan gue Ra."
Raquel bangkit, "Terserah. Niat gue naik, taunya di anggap sepele doang. Rasa khawatir gue nggak ada artinya di elu ternyata." Beranjak dari sana, memilih keluar berharap Anin memikirkan lagi niatnya.
Sementara di tempat lain, berbagai macam pemikiran saat ini tengah memenuhi kepala Caka.
Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba Anin memutuskan membatalkan pernikahan mereka. Apa dia punya salah? Apa soal ibu dan kakak-kakaknya lagi?
"Ah, sial. Uang dua ratus juta melayang gitu aja. Dasar Anin bodoh." Kesal Caka biarpun semua biaya kerugian ditanggung Anin, tetap saja ia sangat menyayangkan uang itu melayang ke tangan orang.
Tak berselang lama, handphone Caka berdering, panggilan dari ibunya. Ckh, siapin telingah ini mah. Semua karena kebodohan Anin.
"Halo bu,"
"Bagaimana, apa kalian sudah menikah?"
"Di tunda Bu."
"Apa!? Lalu bagaimana dengan uang kerugiannya? Astaga, apa yang kamu lakukan sampai di tunda sih? pingsan doang kenapa mesti di tunda. Malu ibu Caka, malu nak."
"Bu, aku juga malu. Tapi mau bagaimana lagi semua ini keinginan Anin."
"Perempuan sialan. Lalu sekarang bagaimana, kamu punya uang untuk membungkam mulut tetangga kita? Belum lagi semua dekor, gedung… astaga, perempuan itu benar-benar. Ibu tidak mau ya, jatah bulanan ibu dan kakak-kakakmu dipakai buat bayar semuanya."
"Ibu tenang saja, semua kerugian akan di bayar Anin. Bukan aku yang nunda Bu, ngapain harus aku yang tanggung jawab biarkan dia saja."
"Bagus biar tau rasa dia. Awas saja kalau dia berani mendekati ibu, takkan ku ampuni. Brengsek."
"Ibu tenanglah,"
Terdengar suara Tania mengatakan amplop undangan para tamu yang hadir hanya 15 juta.
"Bu, kalian membuka amplop undangan nya?"
"Y-ya, harus di buka. Itu kan hak kita sebagai tuan rumah."
Caka melongo tak habis pikir. "Tapi bu, itu kan bisa dikembalikan lagi pula pernikahan hanya ditunda kita bisa mengembalikan nya." Serunya berharap sang ibu mengerti.
"Tidak itu hak ibu dan kakak-kakakmu. Pernikahan ini ditunda karena perempuan sialan itu, jadi biarkan dia mengembalikan semuanya sendiri. Lagian kamu kira ibu sama kakakmu gak capek apa ngurus tamu yang datang."
"Tamu aja di urus pelayan Bu. Kenapa ibu malah yang_"
"Oh, mulai ngelawan kamu sama ibu yang melahirkanmu. Iya? Mau durhaka kamu, hah."
"Ckh, baiklah. Nanti aku ngomong ke Anin, jangan buang nama-namanya biar Anin bisa mengembalikannya."
"Dari tadi kek. Ckh. Sudah ibu lelah, dia harus tanggung jawab. Awas saja kalau berani macam-macam, ibu tidak akan membiarkannya memasuki rumah ini dengan status menantu."
"Baiklah."
Panggilan tertutup. "Sial." Umpat Caka semakin kesal.