"Baik anak-anak, pertemuan kali ini cukup sampai di sini. Di lanjut minggu depan. Selamat siang."
"Siang, Pak!"
Setelah guru yang bersangkutan keluar dari dalam kelas. Seluruh murid langsung berhamburan keluar karena jam pembelajaran telah berakhir. Sekarang di dalam kelas hanya tersisa empat orang diantara ada Aga, Satria, Dea, dan Lena.
Aga berjalan ke arah bangku Dea. Duduk di atas meja sembari menatap Dea yang sedang membereskan buku serta alat tulisnya.
"Balik bareng gue," ucap Aga to the point.
Dea mendongak. "Nggak mau, makasih."
"Gue sama sekali nggak ngerepotin lo kok," ucap Aga.
"Gue nggak ngerasa ngerepotin lo," ketus Dea.
Aga tersenyum miring. "Oke. Sampai ketemu besok."
Saat Aga hendak berjalan keluar dari kelas, Dea teringat sesuatu dan memanggil Aga.
"Aga tunggu!"
Aga yang sudah berada di depan kelas tersenyum mendengar panggilan itu. Lalu menoleh ke belakang. "Kenapa? Nyesel udah nolak ajakan gue, iya?"
Dea menoleh ke arah Lena yang mengerit bingung. Kemudian berjalan mendekati Aga yang sedang tersenyum sembari bersidekap.
Dea mengulurkan tangannya di hadapan Aga. "Mana baju lo?"
Aga mengerit bingung, menoleh pada Satria yang mengangkat bahunya acuh.
"Baju lo mana Aga? Biar gue cuci," jelas Dea.
"Oh."
Dea berdecak kesal. "Gue nggak butuh jawaban "oh" dari lo. Sekarang cepetan kasih baju lo," paksanya.
Aga memalingkan wajah ke arah lain. "Nggak usah. Lo hanya nggak usah menghindari gue."
"Maksudnya?" Dahi Dea berlipat bingung.
Aga mengangkat bahu acuh. Kemudian menepuk pundak Satria dan mengelang pergi begitu saja.
"Aga jangan lempar kode ke gue. Gue bukan anak pramuka!" seru Dea, namun Aga seperti tak mendengar teriakannya.
Lena berjalan menghampiri Dea. Menepuk pundak Dea dengan pelan. "Maksud omongan si Aga apa sih, De? Terus baju? Baju apa?" tangannya, heran.
"Yang dimaksud cewek jorok sama Aga tadi pagi itu gue, Len. Gue yang udah muntahin baju dia sewaktu di bus," jelas Dea.
"Kok, bisa sih?" Lena menatap tak percaya.
"Huh, panjang ceritanya, Len. Udah yuk, kita pulang." Kemudian Dea mengambil tasnya yang masih berada di atas meja dan keluar bersama dengan Lena.
"De, mending urusan lo sama Aga cepet kelarin deh. Gue khawatir kalau lo deket-deket sama Aga nanti Sarah marah dan salah paham sama lo," ucap Lena sepanjang jalan.
Dea menghela napas panjang. "Gue juga nggak mau punya masalah sama siapapun kok, Len. Lagian Aga itu misterius juga ya."
"Ha? Misterius apanya?"
"Iya, misterius. Kadang dia bersikap dingin dan datar, tapi kadang juga dia biasa aja."
"Definisi biasa aja maksud lo itu apa ya, De? Gue nggak paham. Secara si Aga itu ibarat es. Yang dingin dan beku kalau berada di dalam kulkas, yang artinya sama orang-orang yang nggak akrab sama dia. Dan juga mencair saat bersama orang-orang terdekatnya. Kayak keluarga, sahabat, gitu."
Dea terdiam sejenak. Teringat saat di bus tadi pagi. Memang awalnya Aga bersikap dingin dan datar, tapi setelah itu dia sempat menertawakan Dea. Dan juga saat di koridor. Bahkan Aga memanggil Dea dengan sebutan sayang dan sok akrab dengannya. Aneh.
"De, lo mau balik sama gue nggak?" Lena bertanya setelah sampai di parkiran.
"Gue udah pesen Ojol kok, Len. Lo duluan aja," tolak Dea sembari tersenyum.
Lena mengangguk. "Iya udah, gue duluan ya. Bye!"
"Bye!" Dea melambaikan tangan ke arah Lena.
Tak lama setelahnya, Ojol pesanan Dea pun sampai. Dea segera naik ke atas motor dan pergi meninggalkan sekolah. Dea kapok dan tak akan lagi naik bus. Dea memang payah, naik bus dekat jendela saja bikin mabuk. Memang dasar sebelumya di manja. Selalu naik mobil pribadi.
♡
Aga meneguk minumannya sampai habis. Kemudian menyalakan pematik pada rokoknya.
"Bro, lo ada urusan apa sama si murid baru itu?" Satria bertanya.
"Dea?"
"Iya lah, siapa lagi murid baru di kelas kita kalau bukan Dea."
Aga mengisap dalam rokoknya, kemudian mengepulkan asap ke udara. "Emang kenapa?"
"Please deh, Ga. Jangan nanya balik, tinggal jawab aja apa susahnya sih?" decak Satria.
"Lo tinggal diem aja apa susahnya sih? Gue males bahas itu," acuh Aga dan kembali menghisap rokoknya.
Satria mendengus kesal.
"Udah lah, ya. Daripada bahas masalah yang nggak penting, mending kita bahas buat balapan gue nanti sore." Aga berucap.
"Emang jadi balapannya?" Satria bertanya.
"Jadi lha."
"Taruhannya apa?" Satria kembali bertanya.
"Biasa. Uang sepuluh juta," jawab Aga.
Satria mengangguk-anggukan kepala. "Duit udah dijamin puluhan juta sama Bokap lo, masih aja ikut balapan liar."
Aga terkekeh pelan. "Gue balapan bukan karena duitnya, Bro. Masalah duit tinggal bilang sama Bokap juga langsung di transfer. Tapi ini masalah hobi. Daripada hobi gue kayak lo, yang suka permainin hati para cewek, mending balapan dong."
"Iya deh, terserah lo." Satria memutar bola mata malas. "Lagian ngapain terlalu serius masalah cinta? Santai aja kali, Ga. Contohnya lo nih, udah serius-serius ngejalin hubungan sama si Sarah, tetep aja ujungnya kandas juga. Cinta itu di bawa santai."
Aga menoyor kepala Satria, membuat Satria mencebik kesal.
"Kalau itu tergantung orangnya."
"By the way, si Dea boleh juga tuh." Satria menyengir lebar sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
Aga memicing curiga menatap Satria. "Maksud lo?"
"Gue tahu lo pasti udah paham kan maksud gue," ucap Satria tersenyum miring.
"Coba aja kalau bisa. Gue sih ragu kalau cewek itu mau sama lo," ucap Aga, mengejek.
"Lo lihat aja nanti." Satria tersenyum sombong. "Dea bakal jatuh ke dalam pelukan gue dalam waktu satu hari."
"Sombong lo!" seru Aga.
"Jangan remerin kemampuan raja playboy, Bro. Kita buktikan aja besok," ucap Satria dengan yakin.
"Fine."
♡
Dea berjalan masuk ke dalam rumah. Tersenyum kala mencium aroma masakan dari arah dapur.
"Ibu!" panggil Dea sembari berjalan ke arah dapur.
"Iya, Sayang!" jawab Mira yang sedang menyajikan makanan.
"Woah, rendang kesukaan Dea." Kedua mata gadis itu berbinar menatap makanan favoritnya tersaji di atas meja.
Mira tersenyum. "Ayo, duduk. Kita makan dulu."
"Dea cuci tangan dulu, Bu."
Setelah mencuci tangan, Dea duduk di meja makan bersama Mira. Kemudian mulai mengambil nasi dan lauknya.
"Maaf ya, De. Kita makannya cuma satu menu," ucap Mira tak enak hati.
"Ibu, nggak apa-apa. Ini udah lebih dari cukup kok, daripada kita nggak makan sama sekali." Dea tersenyum pada Mira.
"Oh iya, De. Tadi pagi Ibu coba lamar ke beberapa perusahaan, tapi Ibu belum menemukan perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan." Mira berucap.
"Tetap semangat ya, Bu. Mungkin belum rezekinya hari ini. Barangkali besok Ibu dapat pekerjaan, kan nggak ada yang tahu."
"Iya, De. Makasih ya, Ibu bangga punya anak kayak kamu. Meski sekarang hidup kita serba pas-pasan, tapi Dea selalu semangatin Ibu dan sudah mulai menerima keadaan kita yang sekarang."
Dea tersenyum lebar. "Iya, Bu. Kita harus tetap semangat dalam keadaan apapun."
"Iya udah, sekarang habiskan makannya." Mira terkekeh pelan menatap Dea yang begitu lahap makan. "Oh iya, De. Gimana sama sekolah baru kamu? Suka nggak?"
"Suka, Bu. Di sana Dea juga udah punya temen. Namanya Lena," ucap Dea.
"Alhamdulillah, semoga kalian selalu bisa berteman baik ya."
"Aamiin...."
♡
Suara derum mesin motor saling bersahutan memenuhi kawasan jalan yang sudah ramai oleh para remaja. Kedua motor sport berbeda warna itu sudah siap di garis start. Gadis berpakaian seksi berjalan sembari membawa bendera, lalu berdiri di antara kedua motor tersebut.
Aga semakin mengencangkan derumannya. Menatap tajam lawan mainnya yang juga sedang menatap ke arahnya. Aga menurunkan kaca helm dan menatap lurus ke depan.
"Siap?" Gadis seksi itu bertanya pada kedua pemain. Lalu mulai menghitung mundur. "Tiga.... Dua.... Satu.... Go!"
Bendera melayang di udara. Dan dengan secepat kita kedua pemain melaju membelah jalanan. Para menonton berseru heboh meneriaki kedua pemain.
Kedua pemain saling unjuk kelihaian. Menyalip satu sama lain agar bisa sampai ke garis finis sebagai pemenang.
Lima belas menit berlalu, para penonton kembali berteriak heboh meneriaki nama kedua pemain begitu mereka mulai terlihat di ujung jalan.
Aga tersenyum miring saat garis finis berada di depan matanya. Bagai angin yang berhembus kencang, Aga berhasil sampai sebagai pemenang untuk kesekian kalinya. Sedangkan Naufan kerap kali mengumpat kesal.
Aga melepas helm full face-nya. Satria datang menghampiri.
"Selamat, Bro! Lo selalu jadi kebanggaan gue."
Aga tertawa pelan. "Thanks, Bro."
Seorang laki-laki yang mengadakan balapan liar ini datang menghampiri Aga. "Selamat Aga. Lo selalu bisa menaklukkan jalanan," pujinya dengan bangga.
"Aga gitu loh." Aga menyeringai sombong.
"Ini uang buat lo."
"Thanks, Bang." Aga menerimanya. Dan laki-laki itu melangkah pergi.
Saat Aga dan Satria sedang berbincang, Naufan berjalan menghampiri.
"Ini masih belum berakhir, Aga. Gue tunggu lo di balapan selanjutnya," ucap Naufan dengan wajah datar.
Aga tersenyum sinis. "Ya. Gue akan tunggu kekalahan lo lagi."
Naufan berdecih. Kemudian mengelang pergi.
Satria menepuk pundak Aga, menatap kepergian Naufan. "Udah kalah, sombong lagi. Ck, dasar sinting!"
Aga tertawa. Kemudian menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul satu dini hari. "Cabut yuk."
Satria mengangguk. Berjalan ke arah motornya. Dan kedua remaja tampan itu melaju meninggalkan arena balap.
♡
Pulang tengah malam ke rumah sudah bukan hal yang aneh lagi bagi Aga. Orangtuanya pun sudah capek memarahi Aga yang selalu pulang larut.
"Baru pulang kamu." Azka menatap datar ke arah putranya.
Aga menghembuskan napas panjang, menatap sang papa sembari menenteng helmnya.
"Tadi sore Sarah ke rumah. Katanya kamu putusin dia?" Azka bertanya.
Aga mendengus. Sudah ia duga, pasti Sarah akan mengadu pada papanya.
"Aga putusin dia karena kelakuan Sarah, Pa."
"Papa udah tahu permalasahan kalian dari Sarah. Kan masih bisa dibicarakan baik-baik. Jangan langsung putus begitu saja," ucap Azka.
"Pa, udah ya. Aga capek, mau tidur." Tanpa permisi Aga mengelang pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Azka hanya bisa menggelengkan kepala menghadapi sikap Aga.
Sampai di kamar, Aga segera menutup pintu sekaligus menguncinya. Aga menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. Menatap langit-langit kamar sembari mengingat sesuatu saat di bus bersama Dea.
"Dea memakai liontin kunci yang sama waktu dulu gue kasih sama si Chubby. Apa mungkin Dea itu adalah si Chubby nya gue?" gumam Aga.
Flashback On
Tepat di hari ulang tahun Aga yang ke sepuluh. Keluarganya merayakan ulang tahun Aga di villa yang berada di Bandung. Pagi sebelum kembali ke Jakarta, Aga izin untuk jalan-jalan sebentar di sekitaran villa.
"Kenapa sebentar banget sih, di Bandung nya? Kalau kembali ke Jakarta itu berarti nanti Aga sekolah lagi dong," ucap Aga sepanjang jalan dengan bibir mengerucut.
"Hiks.... Hiks.... Ibu! Ayah! Sakit.... Huaaahhh...."
Aga menghentikan langkahnya begitu mendengar suara tangisan. "Siapa yang nangis?" gumamnya bertanya sembari celingukan mencari darimana arah sumber suara itu.
Aga memicingkan mata, melihat seorang anak perempuan kisaran sembilan tahun sedang meringkuk di tepi jalan. Tanpa berpikir panjang, Aga segera menghampiri anak perempuan itu.
"Hai, kamu kenapa?" Aga berjongkok di depannya.
Anak perempuan itu mendongak, menatap wajah Aga dengan mata sembabnya. "Sakit.... Tolong...."
Tatapan Aga jatuh pada lutut perempuan itu yang memar. "Lutut kamu sakit? Habis jatuh ya?"
Sebelum perempuan itu menjawab, Aga lebih dulu mengipasi luka yang tak seberapa itu dengan kedua tangannya. Sesekali juga Aga meniupinya.
Tangisan perempuan itu terhenti. Terpaku menatap Aga yang masih mengipasi lukanya.
"Masih sakit?" Aga bertanya dan perempuan itu mengangguk.
"Kamu mau kemana?" lanjut Aga bertanya.
"Ke danau," cicitnya menjawab.
Aga mengikuti arah pandang perempuan itu. Benar, ada danau di sana. "Mau aku temani?" tawarnya.
Perempuan itu tak langsung menjawab. Ia menunduk menatap luka di lututnya. Membuat Aga tersenyum. "Tak apa, biar aku gendong kamu. Ayo."
Aga sudah mengambil posisi agar perempuan itu bisa dengan mudah naik ke atas gendongan. "Ayo, jangan malu-malu." Akhirnya perempuan itu menurut dan naik ke atas gendongan Aga.
"Siap?"
"Ya," jawabnya pelan.
Aga tersenyum lebar. Mulai melangkahkan kakinya menuju danau. Sepanjang perjalanan, tak ada obrolan di antara keduanya. Sampai di danau, Aga menurunkan dengan pelan perempuan yang berada di atas gendongannya itu. Mereka sama-sama menatap indahnya danau. Semilir angin menerpa lembut dua kulit wajah mereka.
Aga menoleh pada perempuan di sampingnya. Angin yang berhembus pelan, menerpa rambutnya hingga sedikit tertiup angin. Aga terpesona dengan kecantikannya.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya," ucap Aga.
"Mau kemana?"
Aga tersenyum. "Sebentar saja. Jangan kemana-mana," ucapnya kemudian berlari meninggalkan perempuan itu seorang diri.
Dengan tergesa-gesa, Aga kembali ke villa. "Papa! Mama!" serunya begitu masuk ke dalam villa.
"Aga, Sayang. Kamu darimana saja sih? Ayo cepat siap-siap, sebentar lagi kita pulang." Mona - Mama Aga berucap.
"Sebentar, Ma." Kemudian Aga menghampiri Azka yang sedang menelpon seseorang di samping jendela. "Papa! Aga minta uang!"
"Sebentar ya, Nak." Azka menunjuk pada ponselnya. Namun Aga yang tak sabaran, menarik-narik baju bawah Azka. "Papa! Azka minta uang! Ayo, Pa!"
Azka menghela napas panjang. Daripada terus diganggu oleh Aga, Azka segera mengeluarkan uang selembar sepuluh ribu dan menyerahkannya pada Aga.
"Nggak mau! Kurang, Pa! Lagi!" seru Aga, menolak mentah-mentah uang itu.
Azka mengeluarkan dompet dan dengan secepat kilat Aga mengambil uang selembar seratus ribu, lantas segera berlari meninggalkan Azka. "Makasih, Pa!"
"Aga, Sayang! Kamu mau kemana lagi?" Mona berteriak saat Aga berlari keluar dari villa.
"Sebentar, Ma!" Aga berteriak.
Mona menggelengkan kepala, melihat kelakuan putranya.
Aga berlari ke sebuah toko boneka yang berada tak jauh dari villa. Matanya mengedar mencari boneka yang lucu dan menggemaskan.
"Yang mana ya?" gumamnya, berpikir.
"Cari apa, Dek?" tanya salah satu pegawai di sana.
"Boneka," jawab Aga. Lalu tatapannya jatuh pada sebuah boneka Teddy Bear berukuran kecil dengan warna vanilla. "Yang itu! Kak, Aga mau boneka yang itu!"
Pegawai perempuan itu tersenyum dan segera mengambilnya. Setelah membayar boneka tersebut, Aga kembali berlari ke danau di mana perempuan itu menunggu.
Aga tersenyum senang saat perempuan itu ternyata masih berada di danau. Kemudian Aga menyodorkan boneka tersebut di depan perempuan itu. Membuat perempuan itu terkejut dan mendongak menatap Aga dengan tatapan tanya.
"Ini buat kamu. Simpan baik-baik ya," ucap Aga.
"Makasih," jawabnya tersenyum seraya mengambil alih boneka di tangan Aga. Ia tampak bahagia mendapat boneka dari Aga.
Aga teringat akan sesuatu, kalau ia harus segera kembali ke villa. Pagi ini ia dan keluarga harus berangkat ke Jakarta. "Chubby," panggil Aga.
Perempuan itu mengerit.
"Aku panggil kamu Chubby nggak apa-apa kan?" cengir Aga.
"Iya, nggak apa-apa," jawabnya tersipu.
"Aku harus pulang. Nanti saat kita dewasa, aku akan kembali ke sini untuk menemui kamu, Chubby." Aga tersenyum lebar.
"Aku tunggu."
"Ya sudah, aku pergi ya." Kemudian Aga mulai mengambil langkah untuk pergi. Tiba-tiba Aga menghentikan langkahnya dan menoleh pada perempuan yang ia panggil "Chubby" itu. Dia pun sama sedang menatap ke arah Aga sembari tersenyum.
Aga membalas senyum si Chubby. Lalu melepas kalung rantai dengan liontin kunci yang ia pakai. Kembali melangkah mendekati si Chubby, kemudian meraih satu tangannya dan menyimpan kalung tersebut pada telapak tangannya.
Aga berlari meninggalkan si Chubby. "Bye!" teriaknya sembari melambaikan tangan.
Flashback Off