SYLMT 07

1157 Kata
Dea segera turun dari atas motor dan berlari masuk ke dalam rumah sakit. Wajahnya terlihat panik. Dalam hati Dea berdoa agar ibunya baik-baik saja. "Ah, si Dea gue malah ditinggal." Aga segera menyusul Dea, setelah memarkirkan motornya. Langkah kaki Dea membawanya masuk ke salah satu ruangan yang ada di sana. "Ibu!" Dea berlari ke arah Mira yang sedang terbaring lemas. "Ibu kenapa bisa kayak gini?" tanyanya, menatap khawatir pada Mira. "Ibu nggak apa-apa, De. Tenang ya," ucap Mira mencoba menenangkan kepanikan Dea. "Gimana bisa Dea tenang lihat Ibu kayak gini." Dea mengusap-usap kepala Mira. "Siapa yang udah nyerempet Ibu?" lanjutnya, bertanya. "Ibu nggak kenal, De. Tadi juga nggak sengaja nyerempet Ibu yang mau nyebrang. Tapi orang itu udah tanggung jawab kok, buktinya Ibu dibawa ke sini dan semua biayanya udah ditanggung sama orang itu." Mira menjelaskan. Dea menghembuskan napas panjang. "Lain kali Ibu harus hati-hati ya. Dea nggak mau kenapa-kenapa," ucapnya dengan bibir mengerucut. Mira tersenyum, mengusap punggung tangan Dea. "Iya, Sayang." Pintu ruangan terbuka. Dea dan Mira menoleh secara bersamaan dan menatap kehadiran Aga. "Permisi," ucap Aga seraya melangkah mendekati mereka. "Siapa, De?" Mira menoleh pada Dea. Belum sempat Dea mengenalkan, Aga sudah lebih dulu menyahut. "Saya Aga, Tante. Temen sekolahnya Dea," ucap Aga tersenyum sopan. "Olah, temannya Dea. Ganteng ya," ucap Mira seraya mengangguk-anggukan kepala. Tersenyum sopan pada Aga. Mendengar itu Dea bergidik ngeri menatap Aga yang sedang besar kepala saat ini. "Gimana Tante, kondisinya?" Aga bertanya. "Alhamdulillah, Nak. Ibu udah baikan." Aga tersenyum, mengangguk. Kemudian mencolek tangan Dea, membuat gadis itu menoleh segera pada Aga. "Apaan?" "Helm gue copot tuh," bisik Aga sembari mengangkat dagu ke arah kepala Dea. "Helm?" Dea melotot lebar. Tangannya refleks memegang kepala dan ternyata benar, helmnya masih terpasang. "Ibu! Kenapa nggak bilang daritadi?" protes Dea, menatap Mira. Mira terkekeh pelan. "Maaf, De. Ibu kira Dea sengaja pakai helm terus," ucapnya. Dea memanyunkan bibirnya. Mengingat saat tadi ia lari dari parkiran sampai masuk ke ruangan ini, pasti banyak dilihat orang-orang. Aish! Dea oon! Dea memalingkan wajah ke arah Aga yang sedang terkikik geli. "Lo lagi! Kenapa nggak ingetin gue tadi?" "Gimana gue mau ingetin lo buat lepas helm. Lo main cabut gitu aja tadi," ucap Aga beralasan. Dea mendengus. Segera melepaskan helmnya. Kemudian menyodorkan helm tersebut pada Aga. "Nih, makasih udah anterin gue. Sekarang lo boleh out." "Dea," ucap Mira memperingati. "Nggak sopan itu." Dea menghela napas panjang. Sedangkan Aga tersenyum kemenangan. "Ke kantin gih, beli minum buat Aga," ucap Mira. "Eh, nggak usah repot-repot, Tante." Aga menyahut. Mira tersenyum sopan. "Sama sekali nggak repot kok," ucapnya lalu menoleh pada Dea. "Ayo, De. Beli minum." Dea mengangguk lesu. "Iya, Bu." Lantas berjalan keluar dari ruangan. ♡ Malamnya, Mira sudah diizinkan untuk pulang. Dan Aga masih setia menemani, meski berulang kali Dea mengusirnya. Aga mendorong kursi roda Mira keluar dari rumah sakit. Sementara Dea berjalan di sampingnya dengan tampang cemberut. Aga sendiri sudah memesan taksi untuk membawa Mira pulang. Aga segera membantu Mira untuk masuk ke dalam taksi. Setelahnya Aga memutar tubuh menghadap Dea yang berdiri tepat dibelakang Aga. "Biar lo sama gue," ucap Aga. "Dih, ogah! Gue mau nemenin Ibu," ketus Dea hendak ikut masuk ke dalam taksi. Namun dengan cepat Aga mencekal tangan Dea. "Apaan sih?" "Gue nggak mau nanti Tante Mira malah dimuntahin sama lo. Udah, lo naik motor sama gue aja." Dea memutar bola mata jengah. Melepaskan cekalan tangan Aga yang begitu erat. "Gue nggak akan muntah. Gue cuma muntah kalau duduk disamping kaca bus," ucapnya. "Aneh lo, kan sama-sama mobil." Aga masih mencekal tangan Dea. Dea berdecak kesal. "Nggak ada yang aneh. Udah deh, lepasin gue. Kasian sama Ibu udah nunggu," ucapnya. Aga menoleh ke arah Mira sekilas, lalu ia melepaskan cekalan pada tangan Dea. Kemudian Dea mendorong pelan tubuh Aga dan masuk ke dalam taksi. "Gue ikutin lo ya!" teriak Aga. Dea tak peduli dengan Aga. "Jalan, Pak." "Baik, Non." Taksi pun mulai melaju. Tak ingin kehilangan jejak, Aga segera berlari ke parkiran untuk mengambil motornya. Aga mengeluarkan skill kemampuannya untuk mengejar laju taksi yang membawa Dea dan Mira. Dea menoleh ke belakang. "Cepet banget sih itu orang," gumamnya yang menatap Aga sudah berada tepat dibelakang taksi. Mira ikut menoleh ke belakang sekilas. "Aga ganteng ya, De. Baik juga, udah anterin kamu ke rumah sakit." Dea menyandarkan punggungnya. Menghela napas panjang, mendengar pujian Mira pada Aga. "Ibu baru ketemu sama Aga tadi aja udah puji-puji dia," cibirnya. "Lho, emang kenyataannya begitu kan." "Nggak tahu ah, Bu. Dea juga baru ketemu Aga kemarin. Nggak mau asal menyimpulkan," ucap Dea. Mira terkekeh pelan. "Ibu akan selalu dukung kamu asal itu baik untuk kamu," ucapnya. Dea tersenyum, mengangguk. Menatap jalanan malam yang terlihat indah. Tangannya terulur memegang liontin kunci pada kalungnya. "Apa mungkin, Jakarta seluas ini kita dapat kembali bertemu?" gumamnya. Mira mengusap paha Dea kala mendengar gumaman putrinya itu. "Kalau kalian memang bertakdir, pasti kalian akan kembali dipertemukan." Dea menoleh pada Mira. Tersenyum lalu bersandar pada bahu Mira. Di pertengahan jalan, Aga dikejutkan dengan getaran pada ponselnya. Dari balik helm full face itu, Aga kerap kali mengumpat kesal. Ia pun menepikan motornya untuk mengangkat panggilan masuk yang entah dari siapa itu. Aga melepas helmnya. Meronggoh ponsel yang berada di dalam saku celana abu-abunya. "Papa," gumam Aga, membaca nama yang tertera dilayar ponsel. Ia segera mengangkat panggilan dari Azka. "Iya, Pa. Kenapa?" "Kamu dimana Aga? Pulang cepat, ada Sarah di rumah." Aga mendengus kala mendengar nama Sarah. "Mau apa sih dia ke rumah, Pa?" tanyanya, sembari memijat pelipis. "Sudah, kamu pulang aja. Kasian Sarah udah nunggu kamu sejak satu jam yang lalu." "Maaf, Pa. Aga nggak bisa pulang sekarang. Aga ada urusan yang lebih penting daripada ladenin si Sarah," jawab Aga. "Aga kamu---, Tut.... Tut..." Aga segera memutus sambungan telepon. Malas berdebat dengan papanya hanya karena Sarah. Aga menghela napas saat sadar kalau ia kehilangan jejak Dea. "Bagus. Sekarang gue kehilangan jejak karena masalah di Sarah," ucapnya lelah. "Ke rumah Satria aja lah. Daripada pulang terus ketemu Nenek Lampir," ucapnya lalu memakai helm kembali dan memutar balik arah menuju rumah Satria. ♡ Dea membantu Mira keluar dari taksi. "Ini, Pak. Bayarannya," ucap Dea seraya menyodorkan uang kepada supir taksi. "Maaf, Non. Tapi ongkosnya sudah dibayar sama laki-laki yang tadi," ucap supir taksi. "Permisi." Taksi pun melaju pergi. "Udah dibayar sama Aga ya, De?" Mira bertanya. "Iya, Bu," jawab Dea sembari celingukan menunggu kedatangan Aga. "Kemana lagi itu orang? Perasaan tadi ngintilin dibelakang." "Iya ya, De. Jangan-jangan Aga salah jalur tadi pas diperempatan," sahut Mira. "Nggak mungkin, Bu. Pasti itu anak balik lagi deh, males ikutin kita. Atau jangan-jangan diculik sama wewe gombel tadi." "Hust, kamu ini kalau ngomong." Dea menyengir lebar. "Habisnya mendadak hilang gitu aja." Mira menghembuskan napas. "Terus gimana buat ganti ongkos taksinya?" "Eum, nanti besok aja deh Dea ganti di sekolah. Sekarang kita masuk yuk, Bu. Nggak baik angin malam buat Ibu." Dea pun menuntun Mira untuk masuk ke dalam rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN