BAB 9

1134 Kata
Tok Tok Tok! Aku menggeliat ketika pintu kudengar diketuk. Rupanya sudah siang. Kulihat jam doraemon yang nempel di dinding, jarumnya sudah menunjukkan puk*l setengah tujuh. “Gita! Nagita! Ini Mama, Nak!” Suara Bu Ratri pastinya. Aku bangun, rasanya badan sudah agak segar sekarang. Aku mau mandi setelah ini. “Gita, kamu baik-baik saja ‘kan, Nak?” Suara itu terdengar cemas. Ck, akting saja terus. Aku lantas bangkit dan mendekat ke pintu. Mau kubuka, tapi gerakan tanganku berhenti ketika kudengar suara Ayah dari luar. “Kamu sih, Ratri. Pake kasih jus nanas banyak-banyak. Nanas tiga kamu kasih dia semua! Gimana kalau Nagita kenapa-kenapa?” Suara Ayah terdengar panik. “Alaaah, kamu itu, Mas. Kemarin setuju ngasih jus nanas. Bukannya kamu juga mau kalau kandungan Nagita keguguran. Kalau ini terjadi, satu masalah ‘kan sudah selesai.” Omelannya kudengar panjang lebar. Aku diam dulu di belakang pintu. Membiarkan mereka berdebat. Siapa tahu ada informasi lainnya yang bisa kudengar. Namun, lama-lama aku sebal sendiri. Dua orang egois yang saling menyalahkan terdengar gak ada guna sama sekali. Obrolannya kosong. Ceklek! Seketika obrolan yang tengah sengit-sengitnya itu terhenti. Wajah Bu Ratri memang ajaib. Tadi suaranya lagi penuh amarah pada Ayah. Namun, pas pintu kubuka. Itu tangannya yang sudah ngeloyor ke arah muka Ayah mungkin mau nunjuk gitu, berubah jadi membelai. Dih, dasar orang muka dua. “Gita, kamu baik-baik saja ‘kan, Sayang?” Bu Ratri memburuku. Aku menggeser tubuh dan membiarkan dia masuk. Sekilas aku lirik, dia tersenyum. Mungkin senang karena semua nanas yang dia buat itu sudah habis kumakan. Piringnya masih berserakan juga, semalam sengaja tak aku bereskan. “Baik kok, Ma.” Aku menjawab singkat. “Kalau gitu, lekas mandi. Pakaian yang kemarin saja buat ganti. Sebentar lagi, dari keluarga calon suami kamu akan datang!” “Ma, aku lagi hamil. Apa Mama tega tetap mau jodohkan aku? Gimana nasib janin yang ada dalam kandunganku, Ma?” Aku memasang wajah memelas. “Tenang saja, Sayang … anak dari lelaki yang gak bertanggung jawab itu, gak akan tinggal lebih lama lagi di dalam perut kamu. Jus nanas yang semalam pasti bisa gugurin kandungan kamu itu, kok. Jadi janin itu gak akan lagi jadi penghalang perjodohan ini.” Dia tersenyum lebar dan menaikkan satu alisnya ke atas. Huh, licik banget ternyata. Terus gimana lagi caranya biar perjodohan ini batal. Bu Ajeng yang mau nolong pun entah baca atau belum pesan dariku. Kini hanya aku sendiri yang harus berusaha menyelamatkan diriku sendiri. “Kenapa malah diam? Kamu gak usah takut, Tuan Burhan itu baik banget kok orangnya. Hidup kamu pasti akan bahagia. Kamu mau apa saja pasti dia belikan asalkan bisa nyenengin dia di atas ranjang.” Bu Ratri menarik tanganku agar ikut ke kamar mandi. Badanku pun memang gak enak juga ternyata dari kemarin belum mandi. Ya sudah, deh. Aku mandi saja dulu. Usai mandi, lekas aku mengganti pakaian dengan yang sudah disiapkan Bu Ratri. Gatel juga pakai pakaian kemarin dan belum dicuci. “Ini anaknya, Mbak. Tolong didandanin yang cantik, ya!” Bu Ratri membawa seorang wanita paruh baya yang membawa alat-alat make up. ` Aku melongo ketika pintu kamar ditutup kembali dan sepertinya dikunci dari luar. “Ibu siapa?” Aku tatap dia, menilai apakah dia orang baik atau jahat. “Kenalin, saya Bu Salma, Neng! Ternyata Bu Ratri punya putri sambung yang cantik banget. Ibunya juga pasti cantik, ya?” Dia membuka peralatan make up nya. Lalu meletakkannya di atas meja rias. “Ahm, Bu … saya gak mau dijodohkan! Apa bisa make up in saya biar jelek saja?” Aku memelas menatapnya. Dia termenung, lalu menggaruk kepala. “Aduh, kalau itu Ibu gak berani, Neng. Nanti Ibu gak dibayar. Ibu lagi butuh uang buat berobat suami Ibu. Dia lagi sakit.” Aku merengut. Rupanya harus cari cara lain. Setidaknya buat ngulur waktu sampai Bu Ajeng datang. Semoga saja dia datang. “Minta izin Ibu bersihkan mukanya ya, Neng!” Bu Salma mengambil kapas yang dibubuhi entah apa, lalu membersihkan wajahku. Setelah itu, dia polesi lagi dengan entah apa, aku sudah tak lagi memperhatikan. Bu Salma sibuk memoles wajahku, sedangkan aku sibuk mencari cara agar bisa mengulur waktu hingga Bu Ajeng datang. Pintu sudah dibuka, ketika Bu Salma baru selesai menyapu wajahku dengan entah berapa lapis bedak. Ayah yang muncul lalu datang menghampiri. “Gita! Nanti tolong bersikap baik di depan Tuan Burhan, ya! Jangan permalukan Ayah!” Suaranya lembut. Dia memegang punggung tanganku tapi aku menepisnya. “Ck!” Aku hanya berdecak. Malas sekali melihat lelaki yang gak punya hati itu. Di mana-mana, sosok ayah itu melindungi. Jadi sandaran keluarga. Jadi tulang punggung dan tempat bernaung. Ini apa-apaan? Saat kami susah, dia pergi dengan perempuan lain dan milih hidup senang. Giliran dia susah nyari cara buat tetap senang dengan nyusahin orang. “Ayah jamin … hidup kamu akan berkecukupan. Kamu akan bisa juga nyenengin Ibu kamu dan adik kamu kalau nikah sama Tuan Burhan. Dia memang tua, tapi dia itu royal sekali. Jadi anak yang nurut, ya! Ayah buat kayak gini tuh karena sayang sama kamu. Ayah gak mau hidup kamu susah terus.” Aku diam saja. Pura-pura gak dengar. Capek nimpalin. Percuma, kuping mata dan hatinya sudah ketutup sama yang namanya uang. “Ingat, ya, Gita! Kalau sampai perjodohan ini batal! Jangan bilang Ayah kejam kalau kamu, ibu dan adik kamu harus kehilangan tempat tinggal! Kamu gak mau ‘kan lihat adik sama Ibu kamu tidur di emperan toko atau bawah jembatan?! jadi jangan sekali-kali bikin ulah yang bisa buat perjodohan ini batal! Ayah juga gak akan segan buat jual adik kamu, kalau sampai Tuan Burhan gak suka sama kamu dan gak jadi nikahin kamu! Jadilah anak yang baik demi adik dan Ibu kamu!” Dia terus bicara sampai aku selesai di make up dan benar-benar buat aku kesal. Andai aku boleh milih, aku lebih milih gak punya ayah dari pada dikasih Ayah tapi seperti dia. “Tolong! Kalau gak mau aku buat rusuh! Kamu pergi dari sini! Aku pusing dengerin ocehan kamu!” Kelewat kesal, tak lagi aku menyebut Ayah. “Jangan songong kamu, Gita! Panggil kamu, kamu! Aku ini ayahmu!” Aku melengos membuang muka. Kudengar dia berdecak. Namun pada akhirnya keluar juga. Seperginya dia kutangkup wajah dan menangis. Gak tahan. Bu Salma melongo saja dan mengusap-usap pundakku. Tanganku mengepal erat. Kesal, sakit hati dan luka. Benar-benar paket komplit yang sudah dibuatnya. “Maafin Ibu gak bisa bantuin, Neng Gita.” Bu Salma terdengar mengasihaniku. Usai nangis, Bu Salam memoles lagi wajahku, memasang eyeliner, maskara, shadow, alis dan entah apa lagi. Kubiarkan saja. Aku juga gak jawab omongannya. Gak ada yang kenal aku di rumah ini, jadi mau minta tolong pun percuma. “Gita! Ayo, Sayang! Keluarga Pak Burhan sudah datang!” Bu Ratri masuk dan tampak sudah cantik juga dengan balutan dress batik. Rambutnya digerai. Senyumnya manis mengembang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN