BAB 7

1104 Kata
“Nagita! Jawab dong kalau orang tua bicara!” hardiknya. Aku mendelik. Mulutku dilakban sama temen-temen Ayah, eh dia marah suruh jawab. Dia pikir, bisa ngomong pake telinga. “Maaf, Pak. Saya sumpal mulutnya! Berisik tadi jerit-jerit terus!” “Gila kamu, Jum! Dia itu anak saya, bukan tawanan! Lepas!” Ayah membentak lelaki itu. Tapi aku sudah terlanjur benci, gak ada sedikit pun lagi rasa simpatik pada lelaki yang harusnya melindungi dan menjaga kami itu. Salahkah kalau aku merasa jika ayahku sebetulnya sudah mati? “Duh … lu, Sih!” Ajum menoyor kepala Eman. “Kok, gue?” Eman mendelik tak terima. “Lah, terus siapa? Gue?!” Nada suara Ajum naik satu oktaf. “Diam!” bentak Ayah, membuat dua orang yang berisik di samping kanan dan kiriku bungkam. “Nagita anak saya! Bukan tawanan! Cepat buka!” Ayah membentak lagi. Gak nunggu lama, salah satu dari mereka suruh aku geser agak ke depan, agar bisa bukain ikatan tangan yang di belakang. Aku menurut saja, tanpa ba bi bu. Pegal juga tangan diikat ke belakang. Dug! “Awww!” Seperti suara benturan, lalu mereka memekik sama-wama. Kedua orang itu beg* apa gimana, entahlah. Dua-duanya nunduk barengan, sepertinya dua kepala botaknya saling benturan. Aku hanya mendengus, risih juga ketika mereka malah bertengkar di belakangku. Setelah Ayah membentak lagi, barulah terasa ikatan pada tangan ini dilepaskannya. Perih rasanya pergelangan tangan terkena tali rapia. Duh, penculik amatiran memang. Kubuka sendiri lakban uang menutup bibirku. “Gita, kamu paham ‘kan?” Ayah kembali bertanya setelah melihatku dari kaca penumpang. Aku diam. Otakku sedang berputar. Gimana caranya biar aku bisa lepas dari Ayah dan bisa pulang kembali ke rumah. Percuma menjerit-jerit, ngabisin tenaga doang. Mau lompat dari jendela juga pasti ditangkap lagi. “Gita?!” Suara Ayah kembali terdengar. “Iya, Gita paham, Yah! Tapi … tapi Gita punya alasan kenapa Gita mau nolak perjodohan ini. Gita gak mau buat Ayah sama Mama Ratri malu, Yah.” Aku pura-pura sedih dan memikirkan mereka. Semoga saja Ayah bisa kena rencanaku ini dan membebaskanku. “Kami gak akan malu, Gita. Kamu itu cantik, mirip sekali sama Ayah. Pasti Pak Burhan bakal suka banget sama kamu.” Ayah berujar meyakinkan. “Bukan gitu, Yah. Sebetulnya … sebetulnya … aku sedang hamil.” Ciiiit! Ayah mendadak menginjak rem, tanpa aba-aba mobil pun berhenti. Beruntung jalanan sepi. Decitannya bahkan sampai membuat gigi ini ngilu dan linu. “A—Apa, kamu hamil?” hardiknya. Dia langsung menoleh dengan mata melotot. “Iy—Iya, Yah.” Aku menunduk. Bukan takut dia marah. Hanya saja takut kalau aktingku ketahuan. “Ck! Kacau! Bikin malu saja kamu!” bentaknya lagi. “Maaf, Yah … makanya batalin saja perjodohan itu, Yah. Dari pada habis nikah enam bulan, aku lahiran. Ayah juga nanti yang malu sama keluarga kenalan Ayah.” “Ck! Si Ningsih emang gak bec*s! Jaga anak saja gak bec*s!” Dia tak menjawab, hanya decakan dan u*****n pada Ibu yang kudengar. Lalu tak berapa lama, dia melajukan kembali mobilnya. Kini di dalam mobil hening. Dia tak lagi banyak bicara. Tak butuh waktu lama, mobil akhirnya masuk ke sebuah pekarangan rumah. Ada tiga rumah berjajar besar-besar dan pekarangannya dipagar disatukan. Bukan perumahan, tetapi rumah yang berdiri di tanah keluarga, sepertinya. Pada masing-masing garasi rumah ada satu mobil. Ayah memarkirkan mobil di rumah yang paling pinggir. Lalu dia turun, dua lelaki dengan kepala botak juga ikutan turun. Aku masih duduk, ingin rasanya kabur saja tapi percuma juga, Ayah pasti akan menangkapku lagi. “Turun!” Wajahnya terlihat kesal ketika membukakan pintu mobil untukku. Aku turun perlahan. Ayah menatapku dari atas sampai bawah, lalu berhenti di bagian perut. “Sudah berapa bulan?” tanyanya. “Jalan tiga bulan, Yah.” Semoga gak dicurigai karena perutku masih rata. Rasanya kemarin lihat Bi Inang yang katanya lagi hamil tiga bulan, tapi perutnya masih rata. Jadi harusnya kebohongan ini masih masuk akal. “Ck! Ayo masuk!” tukasnya lagi. Dia berjalan duluan. Aku mematung, malas sekali harus ikut sekarang. Tapi aku juga gak bisa lari karena percuma. Perempuan yang tak lain adalah Ratri alias istri barunya Ayah yang waktu itu datang ke rumah tampak tersenyum menyambut kami. Dia merangkul lengan Ayah dan menghampiriku. Wajahnya tampak penuh senyum dan ramah sekali. “Wah, alhamdulilah kalau Gita bisa ikut. Ayo masuk, Sayang!” Istri barunya Ayah langsung berhambur dan merangkulku. “Mah, Papa mau bicara dulu.” Ayah tampak menatap perempuan yang tengah mendekat ke arahku itu. “Nanti saja bicaranya, Yah. Biar Mama ajak Gita masuk dulu. Sudah siapin juga makanan yang enak-enak! Ayo, Gita!” Dia menarik lenganku. Aku mematung. Hanya saja, dia terus mengajakku. Akhirnya aku ikut saja ke dalam rumah. Ada yang perih di dalam hati. Rumah yang ditempati Ayah dan istri barunya ini tampak sekali kokoh, kamarnya ada banyak, ruangannya luas, perabotannya bagus-bagus. “Mandi dulu, gih! Anggap ini rumah kamu sendiri, ya! Ini baju ganti kamu!” tukasnya seraya mengambil satu set pakaian dari dalam kamar. Lalu dia menarik lenganku menuju ke arah dapur. Setelah melewati tiga kamar, kami tiba di dapur yang cukup luas. Lalu aku diarahkan ke kamar mandi. “Mah, Papa mau bicara dulu.” Kudengar Ayah memanggil lagi perempuan itu. “Ih, apa, sih, Yah! Biar Nagita mandi sama makan dulu, baru kita bicara.” “Ahm, enggak, Mah. Gita mau pulang. Anterin Gita pulang!” Aku menatap wajahnya yang dari tadi bersikap manis. “Sudah kamu mandi dulu, nanti habis mandi baru kita bicara lagi.” Dia memaksaku. “Mah, ikut Ayah sebentar!” Ayah menarik paksa lengan perempuan yang masih bicara denganku itu. “Mandi, ya! Mama tinggal bentar!” Dia meletakkan baju yang dibawanya itu ke telapak tanganku. Lantas ikut dengan Ayah ke ruang tengah. Aku tak mau mandi. Kusimpan baju itu ke atas rak piring dan berjalan mendekat ke ruang tengah lagi. “Apa?! Nagita Hamil?!” Aku bisa mendengar dan melihat jelas kalau istri barunya Ayah terkejut. “Iya, Ratri. Dia bilang sudah tiga bulan.” Ayah terlihat menyugar rambut dan tampak frustasi. “Duh, gimana ini? Apa kita bohongi saja si Pak Burhannya?” Istri barunya Ayah tampak berpikir. Kulihat alisnya saling bertaut dan dahinya berkerut. “Pak Burhan sudah pengalaman, Ratri! Istrinya saja sudah empat. Dia pasti bisa bedakan yang perawan sama yang enggak. Gimana kalau pas dia udah nidurin Gita, tetap saja nyita rumah ini dan kita harus tetap lunasin utang-utang kita?” Ayah terlihat gusar dan panik. Nyesss! Ada yang nyelekit. Rupanya benar yang Ibu bilang. Ayah hanya mencariku dan ingin memanfaatkan. Tega-teganya dia menjadikanku gadis untuk membayar utang. Itu ‘kan utangnya dengan istri barunya, kenapa aku yang harus membayar?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN