“Gimana, Bu? Gimana caranya, Bu?”
Aku menatapnya penuh harap. Wajah Bu Ajeng kayaknya lagi mikir. Aku masih menunggu. Beneran butuh cara agar bisa terbebas dari hal ruwet ini.
“Caranya mudah banget, kok, Gita. Kamu cukup nurut saja sama Ibu dan semua akan baik-baik saja.”
Aku menatapnya tak percaya. Semudah itukah caranya? Namun, aku tahu jika Bu Ajeng adalah orang baik. Masa iya dia bohong sama anak bau kencur seumuranku. Gak ada guna dan untungnya juga buat dia.
“Baik, Bu. Hanya nurut sama Ibu ‘kan?” Aku bersemangat menatapnya.
“Ya, betul, Gita. Apa kamu bisa?” Dia menatapku lekat.
“Bisa, Bu! Bisa banget. Demi rumah tinggal kami serta kebahagiaan Ibu dan adik saya, apapun akan saya lakukan, Bu. Apalagi ternyata caranya gampang, hanya harus nurut sama Ibu.” Aku tersenyum riang. Bu Ajeng tampak mengangguk-angguk senang.
“Hanya saja, Ibu mau tanya satu hal lagi. Apa ada lelaki yang kamu cintai saat ini sehingga menolak dijodohkan oleh ayahmu dengan lelaki pilihannya itu?”
“Tidak ada, Bu. Ibu saya hanya tak mengijinkan saya karena takutnya nanti saya hanya dimanfaatkan oleh mereka. Saya juga gak suka sama keputusan ayah yang semena-mena, kayak ada niatan lain gitu, Bu.”
“Oke, semoga besok Allah mudahkan semuanya, ya! Kamu hanya cukup nurut saja sama Ibu.” Bu Ajeng menepuk-nepuk pundakku.
“Jadi, sekarang saya harus gimana, Bu?” Aku kebingungan. Setelah dia bilang harus nurut, sekarang harus ngapain lagi?
Bu Ajeng tersenyum dan menatapku.
“Sekarang kamu hanya perlu bantu doa. Semoga semuanya lancar. Hmmm … ngomong-ngomong, kapan Ayahmu datang? Biar Ibu yang akan hadapi dia.”
“Besok, Bu. Hanya jamnya saja, saya belum tahu.”
“Kabari waktu tepatnya, ya! Biar Ibu bisa siap-siap!”
“Iya, Bu.”
Bu Ajeng pun pergi. Percaya tak percaya, tak ada lagi yang bisa kumintakan tolong lagi saat ini. Setidaknya sekarang, pikiranku sudah sedikit tenang. Semoga saja benar, Bu Ajeng akan menolong aku besok.
***
Sorenya aku bisa pulang dengan otak yang agak ringan. Kutemui Ibu dan Cita yang sedang berada di ruang tengah. Cita sedang membacah hapalannya.
“Assalamu’alaikum, Bu!” Aku mencium punggung tangan Ibu.
“Wa’alaikumsalam! Na, maaf tadi Ibu sama Cita makan duluan. Takutnya kamu lembur lagi kayak kemarin.”
“Iya, Bu. Gak apa. Aku makan dulu, ya.”
Aku segera ke kamar, nyimpen tas, ,ponsel, lalu mengambil handuk dan pakaian ganti. Tadinya mau mandi dulu, tapi perut sudah lapar. Akhirnya aku makan dulu. Lagi enak-enak makan, tiba-tiba ada suara mobil berhenti di depan.
Duh, siapa, ya? Apa Bu Ajeng nyusul? Kalau Ayah, rasanya gak mungkin, besok dia baru akan datang. Penasaran,sih. Namun, aku masih lapar, jadi lanjut saja makan. Meskipun menu makannya hanya dengan kerupuk dan sayur nangka, tapi lhamdulilah nikmat saja.
“Mas berhenti!” Suara Ibu memekik.
Aku terperanjat mendengar ribut-ribut di dalam rumah. Suara Ibu pun disahuti oleh suara seorang lelaki.
“Aku ayahnya, Ningsih! Aku yang berhak jadi wali nikahnya!” bentak suara lelaki itu dengan suara yang keras.
“Nagita gak akan ikut kamu, Mas! Kamu pikir, dia itu barang, hah?” Kudengar, Ibu tak kalah sengit.
Aku meraih gelas dan meneguk air bening yang kusediakan sejak tadi. Tepat ketika air dalam gelas bening itu tandas, ayah dan Ibu muncul bersamaan dengan raut wajah tampak sama-sama penuh rasa kesal.
“Ayo, ikut ayah!” Ayah mendekat dan menatapku tajam.
“Enggak, Mas! Aku gak akan korbankan Gita demi memenuhi ambisimu!” Ibu menghadang.
“Minggir kamu, Ningsih! Aku ayahnya!” Ayah mendorong Ibu dan dia meraih lenganku.
“Aku gak mau ikut ayah!” Aku menarik tanganku kasar.
“Kamu itu harus nurut sama Ayah! Ayah sudah baik, Ayah gak akan jual tempat tinggal ini karena masih ada adik kamu, Gita! Jangan ngeyel! Ayah ingin kamu hidup bahagia dan jadi orang kaya!” tukasnya.
“Mas, kamu bilang kami suruh berpikir tiga hari. Sekarang hari ketiga belum habis. Lagipula … aku gak akan biarkan Nagita ikut kamu! Aku Ibunya! Aku yang mengurusnya! Nagita berhak menentukan hidupnya sendiri!”
“Berisik kamu, Ningsih! Ayo ikut!”
Kakikku gemetar lihat wajah Ayah yang penuh amarah. Dia tampak sekali kesetanan. Bahkan dia mencekal pergelangan tanganku dan menariknya dengan keras.
“Gak mau!” Aku memberontak.
“Ajum! Eman!” Ayah memanggil dua nama, tak berapa lama dua orang lelaki tinggi besar ikutan masuk. Aku semakin gemetar melihat mereka menatapku dan Ibu bergantian.
“Bawa Nagita ke mobil! Saya masih ada urusan dengan perempuan ini!” Ayah memerintah. Dua lelaki dengan tubuh tinggi besar itu menarik lenganku. Aku menjerit-jerit minta tolong pada Ibu. Namun, Ibu yang hendak menolong dihadang Ayah.
Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi di dalam. Tenaga dua lelaki ini cukup besar dan aku tak bisa melepaskan cekalannya.
“Tolong! Tolong!” Aku berteriak, berharap ada tetangga yang datang membantu. Beberapa orang memang keluar dari dalam rumah, tapi mereka hanya melihat saja dan tak menolong. Apa mereka tak punya hati?
“Ikat, Jum!” Lelaki tinggi besar itu menyuruh agar tanganku diikat.
“Oke, sekalian sumpal mulutnya, ya, berisik!” tukasnya menimpali.
Aku hanya bisa nangis, kaki gemetar ketakutan. Ingin rasanya aku cakar-cakarin wajah dua lelaki yang gak punya hati ini. Beraninya lawan perempuan, dua lawan satu lagi. Mana bisa aku melawan.
Aku duduk di tengah dan mereka mengapitku. Tanganku benar-benar mereka ikat dan mulutku ditutupnya pakai lakban.
Ayah, setengah berlari keluar dari dalam rumah. Kulihat ada luka di keningnya. Beberapa luka cakar kulihat juga pada pipinya. Dia langsung masuk dan duduk di belakang setir. Lalu melajukan mobil dan meninggalkan pekarangan rumah.
Sesekali kumenoleh, tampak Ibu keluar dan berlari mengejarku. Aku hanya berurai air mata melihatnya yang makin lama, tubuhnya terlihat makin kecil karena jarak kami semakin jauh. Lalu aku tak bisa melihatnya lagi karena mobil berbelok di tikungan.
“Nagita! Ayah itu sayang sama kamu. Ayah cuma gak mau kamu jadi ikutan hidup susah kayak Ibu kamu yang keras kepala itu.” Ayah berujar sambil tetap menyetir.
“Ayah jemput kamu sekarang, karena besok calon suami kamu mempercepat kedatangannya ke rumah. Kamu pikir, ayah akan tega menjual rumah yang kalian tinggali? Karena itu ayah memutuskan sendiri buat jemput kamu saja. Ayah yakin, Ibu kamu yang keras kepala itu pasti akan mempengaruhi kamu buat nolak. Ayah gak mau adik kamu ikut susah juga. Jadi tolong, ngertilah!”
Lelaki itu terus saja bicara sendiri. Makin dengerin, entah kenapa, aku makin benci. Lebih benci lagi karena dia ingkar sama janji yang dia buat sendiri. Katanya setelah tiga hari akan datang, tapi ternyata hari ketiga sudah datang dan langsung ambil keputusan sendiri.
“Nagita! Jawab dong kalau orang tua bicara!” hardiknya.
Aku mendelik. Mulutku dilakban sama temen-temen ayah, dia marah suruh jawab. Dia pikir, bisa ngomong pake telinga.
“Maaf, Pak. Saya sumpal mulutnya! Berisik tadi jerit-jerit terus!” Lelaki yang duduk di sebelah kananku angkat bicara.
“Gila kamu, Jum! Dia itu anak saya, bukan tawanan! Gila kamu maen sumpal-sumpal saja! Lepas!” Ayah membentak lelaki itu. Tapi aku sudah terlanjur benci, gak ada sedikit pun lagi rasa simpatik pada lelaki yang harusnya melindungi dan menjaga kami itu. Salahkah kalau aku merasa jika ayahku sebetulnya sudah mati?