Agni melangkahkan kakinya menuju halte, ia melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 20.30. Tubuhnya hampir remuk, kerja sambil kuliah bukanlah hal mudah, biasanya ia minum suplemen vitamin c, agar mengembalikan kondisi tubuhnya agar tidak ngdrop sewaktu-waktu. Agni berjalan di trotoar sambil menatap lampu-lampu gedung-gedung menjulang tinggi. Agni menghentikan langkahnya ketika mobil SUV hitam berhenti tepat di sampingnya. Agni ia ingin tahu siapa pemilik mobil mewah itu.
Sedetik kemudian kaca mobil terbuka, Agni terdiam sesaat dan ia tahu siapa pemilik mobil mewah itu. Pemilik mobil itu adalah Bram, customer yang beberapa jam yang lalu berkunjung ke butik.
"Agni".
"Bram".
"Masuklah, saya akan mengantar kamu pulang"
"saya pulang naik bus way saja" tolak Agni.
Sekarang banyak sekali tindakkan kriminal, ia harus hati-hati terhadap semua orang yang baru dikenalnya, apalagi laki-laki itu tidak lebih dar empat jam yang lalu, ia kenal.
"Bus way tidak aman jam segini, percaya sama saya, saya hanya ingin membantu kamu, kebetulan apartemen saya menuju arah sana" ucap Bram.
Agni membenarkan ucapan Bram. Tapi entahlah ia tidak menolak ajakan Bram, hatinya seperti terhipnotis, padahal ia tidak pernah menerima ajakan laki-laki lain, selain Mas Alan dan Mas Adam.
"Iya" ucap Agni.
Agni lalu membuka hendel pintu mobil, Agni duduk dan lalu menutup pintu itu kembali. Agni memasang sabuk pengaman sementara Bram kembali menjalankan mesin mobilnya. Sama-sama saling terdiam, Agni melirik Bram yang masih fokus dengan kemudi Setir.
"Kamu baru pulang kerja?" Tanya Bram, karena baju kakunya yang tadi sore yang ia lihat, masih terpasang sempurna ditubuh Agni.
"Iya".
"Kamu terlihat sangat lelah".
"Saya sudah terbiasa seperti ini setiap hari. Jadi ingin mengeluh percuma saja. Saya percaya bahwa dibalik kelelahan saya, ada orang yang berdoa sepanjang malam menanti saya dan mendoakan saya agar menjadi anak yang sukses".
Bram mendengar suara lembut itu berucap, ia lalu menoleh menatap Agni. Kata-kata itu begitu dalam dan sarat makna.
"Kamu kuliah?" Tanya Bram, ia mengalihkan pernyataan Agni lebih lanjut.
"Iya, saya kuliah sambil kerja. Setiap pulang kuliah saya langsung ke tempat kerja, begitulah setiap hari".
"sudah makan?" Bram hanya ingin mencoba mendekatkan diri kepada Agni. Bram ingin Agni nyaman di dekatnya, jujur baru kali ini ia seperti ini, ini sama sekali bukan dirinya.
"Sudah".
"Rumah kamu dimana?" Tanya Bram, padahal ia tahu betul dimana rumah Adam. Bram pernah adu tinju tepat di depan rumah Adam, dan menyeret Melisa keluar dari rumah Adam.
"Cukup mengantar saya di dekat halte disana, karena saya hanya perlu jalan kaki saja dari sini" ucap Agni, menunjuk ke salah satu halte.
Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti tepat di pinggir jalan. Agni melirik Bram, laki-laki itu fokus dengan setirnya.
"Terima kasih" ucap Agni.
"Iya sama-sama, istirahatlah".
"Iya".
"Bisakah saya menelfon kamu" ucap Bram.
Agni membuka hendel pintu, otomatis lampu dasbor menyala. Sehingga wajah tampan Bram terlihat jelas. Agni menoleh kearah Bram, wajah itu masih tetap sama, pertama kali bertemu.
"Ya, tentu saja. Terima kasih memberi saya tumpangan".
"Iya, sama-sama".
Agni lalu menutup pintu itu kembali, dan sedetik kemudian mobil itu menjauhinya. Agni meneruskan langkahnya menuju rumahnya.
***
Bram memandang beberapa foto Melisa dan Adam, yang di ambil langsung oleh asistennya. Hatinya seperti teriris melihat kebahagiaan itu. Ini tepat seminggu berlalu, pesta pernikahan Adam dan Melisa. Rasa sakit hatinya belum hilang begitu saja. Bram masih tidak terima Adam merebut Melisa darinya.
Ia tidak membiarkan Adam hidup tenang selama bersama Melisa. Lihatlah, ia pastikan akan membuat Adam menderita. Ia ingin Adam merasakan apa yang di alaminya. Bibir Bram terangkat, ia akan membalas dendam perbuatan Adam. Bram mengepalkan tangannya, ia melempar gelas kaca itu dengan penuh emosi. Suara pecahan kaca itu terdengar jelas, kesegala penjuru ruangan, dan kepingan kaca itu menjadi kepingan puzzel, berserakan di lantai.
"Saya tidak akan membiarkan kalian bahagia" Bram menggeram.
"Arrghh, s**l, mereka tidak akan bahagia, mereka harus menderita".
"Bramastha Wijaya tidak akan membiarkan kalian bahagia" ucap Bram, suaranya mengeras dengan penuh emosi.
"Arrgh ...!!!".
Bram meremas foto itu, ia lalu melemparnya ke dinding dengan penuh emosi.
Ini bukan pertama kalinya Bram ingin merusak hubungan itu. Bram sudah berbagai cara merusak hubungan Adam dan Melisa. Mulai dari menjatuhkan posisi jabatan Adam, menghasut orang tua Melisa agar tidak merestui hubungan itu. Sekarang hatinya semakin tidak terima, mereka menikah.
"s**l, bodoh" umpat Bram, rahangnya mengeras.
Bram mengepalkan tangannya, hingga buku-buku tangannya memutih. Bram lalu merogoh ponselnya, ia menatap layar datar itu. Bram menggeser ponselnya, ia mencari kontak Agni. Jujur ia tidak pernah menghubungkan wanita itu sejak, mengantar Agni pulang kerja. Kini ia tahu, sekarang Agni adalah kelemahan Adam. Bibir Bram terangkat, ia lalu menekan tombol hijau dan diletakkan ponsel itu di telinga kirinya.
Suara sambungan terdengar, Bram masih menunggu sang pemilik ponsel mengangkat ponsel itu.
"Iya halo".
Bram tahu siapa pemilik suara lembut itu. "Agni. Saya Bram".
"Hay, Bram, apa kabar" ucapnya ramah.
"Tentu saja baik, kamu apa kabar Agni?" Tanya Bram berusaha tenang, padahal hatinya sedang menahan emosi.
"Baik juga".
"Apakah kamu bekerja?" Tanya Bram.
"Ya, tentu saja. Saya masih di butik".
"Jam berapa kamu pulang?" Tanya Bram.
"Satu jam lagi".
"Tunggulah disana, sebentar lagi saya akan menjemput kamu" ucap Bram, ia lalu menelan tombol merah.
Bram tahu apa yang harus ia lakukan. Bram sengaja mematikan ponselnya sebelum wanita itu perotes atas tindakkannya. Bram menegakkan tubuhnya, mengambil jaket kulit di lemari. Bram mengambil kunci mobil di nakas dan melangkah menuju pintu utama. Bram pastikan Agni akan jatuh di pelukkannya dan akan membuat wanita itu menderita.
***