Setelah siuman, Karinka kerap menanyakan tentang keberadaan Karinna pada Ravel. Namun, pria itu tidak pernah sekali pun menjawab pertanyaan Karinka sampai hari kepulangannya dari rumah sakit tiba.
Pintu ruang rawat inap Karinka didorong dari luar tanpa diketuk terlebih dahulu. Suara deritan tersebut sukses membuat gadis itu mengalihkan tatapannya dari ponsel di tangan. Niat menghubungi Karinna untuk yang kesekian kalinya pun diurungkan oleh gadis itu.
"Pulang," titah Ravel dengan nada tegas.
"Se—sekarang, Mas?" tanya Karinka terbata-bata.
"Nggak. Tahun depan!" jawab Ravel ketus.
Karinka menghela napas. Gadis itu sungguh lelah berbicara dengan Ravel yang sangat irit kata dan dingin itu. Pria itu bahkan lebih cocok disebut kulkas delapan pintu daripada seorang manusia.
Lamunan Karinka terinterupsi ketika mendengar suara decakan yang dihasilkan oleh Ravel. Tanpa berkata apa-apa, pria itu langsung menarik pergelangan tangannya agar Karinka mengikuti langkahnya untuk keluar dari ruang rawat inap tersebut.
"M—mas ... itu barang-barangnya ketinggalan," cicit Karinka panik sembari menoleh beberapa kali ke belakang untuk menatap ruang rawat inap yang sudah ditempatinya selama kurang lebib satu bulan lamanya.
"Berisik!" desis Ravel dengan nada ketidaksukaan yang tidak berniat untuk ditutupinya sedikitpun.
Seingat Karinka, Ravel tidak pernah terlihat sebengis ini. Seolah ada api amarah yang bercokol di dalam diri pria itu, tetapi ia tahan sekuat mungkin.
Mulut Karinka sedikit terbuka ketika menyadari pergelangan tangannya yang berada di dalam genggaman Ravel. Gadis itu menggerak-gerakkan tangannya agar genggaman tangan itu terlepas.
Nggak boleh ... ingat, Mas Ravel ini suami Mbak Iin, Karinka! Jangan bermain api! Karinka mengingatkan dirinya sendiri di dalam hati.
Sayangnya usaha Karinka tidak menghasilkan apapun. Bukannya mengendur, lingkaran tangan Ravel pada pergelangannya terasa semakin erat. Karinka bahkan sampai takut kalau pria itu berniat untuk meremukkan tulang-tulang di tangannya.
"Masuk!" titah Ravel dengan nada tegas tanpa berniat membukakan pintu penumpang di sisi kemudi untuk Karinka. Gadis itu tak sepenting dan sespesial itu bagi Ravel sampai-sampai perlu dibukakan pintu.
"Pakai sabuk pengamanmu!" Ravel kembali memberi titah setelah ia dan Karinka berada di dalam mobil. Sayangnya gerakan gadis itu kalah cepat karena tangan Ravel sudah lebih dulu menarik tali sabuk pengaman hingga menyilang di tubuh Karinka. "Nggak berguna!" desis pria itu kemudian menyalakan mesin mobil lalu mengendarai kendaraan beroda empat itu untuk membelah jalan raya.
Karinka terkesiap kecil di tempatnya. Gadis itu tak menyangka bahwa ucapan yang cukup kasar akan meluncur dari mulut Ravel begitu saja. Padahal kalau dipikir-pikir, Karinka tidak membuat kesalahan yang sangat fatal hingga pria itu harus mengeluarkan ucapan yang nyelekit seperti itu.
Karinka sibuk dengan pemikirannya sendiri. Gadis itu bertanya-tanya di dalam hati apa penyebab sikap Ravel berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Meskipun Ravel yang dulu dingin dan irit bicara, tetapi pria itu tidak pernah melontarkan ucapan atau kalimat yang menyakitkan pada Karinka seperti tadi.
Sibuk dengan lamunannya sendiri membuat Karinka sampai tidak sadar kalau mobil yang dikendarai oleh Ravel sudah berhenti di sebuah rumah bergaya minimalis dan didominasi oleh warna monokrom . Menyadari bahwa bangunan itu bukanlah indekos ataupun rumah Ravel sontak membuat Karinka menolehkan kepalanya ke sisi kanan untuk menatap sang pemilik mobil.
"Ini rumah siapa, Mas?" tanya Karinka dengan kening dan alis yang mengerut heran.
"Nggak usah banyak tanya," jawab Ravel ketus. "Keluar!" Setelah berkata demikian, Ravel lantas mematikan mesin mobil kemudian keluar dari kendaraan beroda empat tersebut, sementara Karinka sendiri masih setia duduk di kursi penumpang samping kemudi.
Belum sempat Karinka bergerak, pintu mobil yang ada di sisi kirinya sudah dibuka oleh Ravel. Ekspresi wajah pria itu yang awalnya sudah kusut seperti pakaian yang belum disetrika, kini berubah lebih keruh lagi daripada sebelumnya. Pemandangan itu sukses membuat Karinka merasa ciut sekarang.
"Kamu ini tuli atau t***l, hah?!" tanya Ravel dengan nada suara yang meninggi dan sukses membuat Karinka terperanjat di posisinya saat ini.
"Ma—maaf, Mas," cicit Karinka yang kini sedang menahan tangis, meskipun ia tidak bisa menutupi getar di dalam suaranya sehabis dibentak oleh Ravel, padahal ia tidak membuat kesalahan apapun.
"Masuk!" titah Ravel setelah membuka gerbang rumah yang Karinka tidak tahu siapa pemiliknya. Emosi dengan tingkah Karinka yang lamban dan lelet, Ravel pun mendorong pundak gadis itu hingga hampir terjerembab jatuh karena tak sengaja tersandung kakinya sendiri.
"Mas, aku bisa jalan sendiri. Nggak perlu didorong juga," kata Karinka memberanikan diri untuk melayangkan protes pada Ravel.
"Berani kamu protes?!" tanya Ravel berang. Pria itu sungguh tidak suka dengan protes yang baru saja meluncur dari mulut Karinka. Rasanya ia ingin menyumpal mulut lancang gadis itu dengan benda apapun yang bisa diraihnya dengan tangan.
"Maaf," gumam gadis itu dengan kepala tertunduk, tak berani menatap ke arah Ravel dan kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah minimalis tersebut.
Begitu sampai di ruang tamu, indra penglihatan Karinka langsung menangkap suasana seperti ruangan pada umumnya. Gadis itu berdiri di tengah ruang tamu tanpa tahu harus melakukan apa selanjutnya. Terlebih lagi pandangan Ravel yang membuatnya merasa tidak nyaman. Pria itu seolah memendam kebencian yang menggunung padanya.
"Kamarmu di lantai dua. Sebelah kanan." Ravel berujar tiba-tiba.
"Kok kamarku, Mas? Aku 'kan nge-kos dekat kampus," balas Karinka cepat dengan ekspresi heran. Meskipun rumah itu bagus, tetapi Karinka juga harus memperhatikan efisiensi dan mobilitasnya untuk ke kampus.
"Mulai sekarang kamu tinggal di sini."
"Nggak bi—"
"Aku nggak minta pendapatmu!" Emosi Ravel kembali tersulut karena bantahan Karinka sehingga pria itu kembali meninggikan nada bicaranya.
"Aku nggak kasih pendapat, Mas, tapi aku nggak bisa tinggal di sini. Aku harus kuliah," elak Karinka.
"Aku nggak peduli. Lakukan apapun yang kamu mau asal jangan keluar dari tempat ini." Setelah berkata demikian, Ravel pun hendak berjalan keluar dari rumah yang baru saja dibelinya beberapa hari yang lalu itu.
"Mas, Mbak Iin di mana? Aku mau ketemu dia," kata Karinka ketika kedua tungkai Ravel sudah mencapai ambang pintu utama.
"Mau ketemu?" ulang Ravel bertanya dengan nada mencemooh yang kentara di dalam suaranya. "Gali dulu liang kuburmu sendiri lalu kuburkan dirimu di sana!" imbuh pria itu ketus dengan kepala yang menoleh beberap derajat ke belakang, tidak benar-benar menatap lawan bicaranya.
Belum selesai Karinka mencerna ucapan pria itu, pintu rumah sudah tertutup dengan gerakan kasar hingga menghasilkan suara yang menyakitkan di telinga.
"Li—liang kubur?" gumam Karinka bertanya pada dirinya sendiri. "Nggak ... nggak mungkin!" seru gadis itu sembari mengusir spekulasi-spekulasi yang tiba-tiba berkeliaran di dalam benaknya.