Sepatu pantofel milik seorang pria yang beradu dengan permukaan ubin rumah sakit sukses menghasilkan suara derap langkah kaki yang cukup keras. Kedua tungkai pria itu melangkah lebar dan pasti tanpa ada keraguan sedikit pun di dalam dirinya. Pria itu seolah sudah tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuannya dan bertemu dengan gadis yang sudah terbaring koma selama seminggu terakhir, Karinka.
Ya, pria itu adalah Ravelio Panduwinata.
Ekspresi dingin nan datar di wajah Ravel sukses membuat siapapun yang melewatinya harus berpikir beberapa kali untuk memberikan sapaan. Pria itu tampak seperti seekor singa yang sudah tidak sabar untuk menerkam mangsanya hidup-hidup. Sungguh mengerikan.
Tangan Ravel terangkat untuk memutar kenop pintu ruang perawatan Karinka. Entah pria itu harus bersyukur atau sebaliknya ketika menemukan sosok seorang perempuan yang masih setia berbaring di atas tempat tidur rumah sakit dengan kedua mata yang terpejam. Bersyukur karena ia tak perlu bertatapan dengan gadis itu dan melayangkan tatapan bengis penuh dendam ke arahnya atau malah harus merutuki gadis itu karena masih terbaring tak berdaya, belum terbangun dari koma.
"Kapan kamu bangun, Perempuan?" tanya pria itu dengan suara bariton yang terdengar mengerikan dan kelam. "Aku udah nggak sabar untuk membalaskan dendam atas kematian istriku karena ulahmu!" lanjutnya dengan nada mendesis yang sarat akan kebencian.
Seandainya bisa, Ravel ingin sekali mencekik leher gadis yang tengah terbaring tak berdaya itu sampai lehernya menyusut dan mengecil. Namun, sayangnya ia tidak bisa melakukan itu. Ia masih membutuhkan hidup gadis itu untuk membalaskan dendam atas kematian Karinna dan jabang bayi yang ada di perut mendiang istrinya.
Karinka harus membayar tuntas semuanya. Nyawa harus dibalas dengan nyawa, bukan? batin Ravel di dalam hati sembari menyunggingkan senyum asimetris di bibirnya.
Tak ingin berlama-lama memandangi wajah gadis yang sudah dibencinya sampai merasuk ke dalam ulu hati, Ravel pun memutuskan untuk keluar dari ruang rawat inap Karinka.
*
Begitu Ravel sampai di lobi rumah sakit, pria itu langsung menemukan sebuah mobil sedan hitam dan mengkilap yang sudah berhenti di hadapannya. Belum sempat tangan pria itu meraih pegangan pintu mobil, seorang pria berpakaian khas supir sudah lebih dulu meninggalkan roda kemudi untuk membukakan pintu untuk sang atasan.
"Terima kasih," gumam Ravel yang sudah duduk di kursi penumpang belakang, sementara Robby—supirnya itu menutup pintu kendaraan beroda empat tersebut.
"Ke mana tujuan kita, Tuan?" tanya Robby sembari melirik ke arah Ravel yang duduk di kursi penumpang belakang melalui kaca spion yang terpasang di tengah mobil.
"Ke rumah aja," jawab Ravel tanpa membalas tatapan Robby. Pria itu lebih memilih untuk menyibukkan diri pada tablet yang ada di tangannya.
"Baik, Tuan," balas Robby lugas sebelum melajukan mobil sedan itu untuk meninggalkan area lobi rumah sakit.
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Ravel sudah ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya di atas tempat tidur yang empuk untuk melepas penat sehabis bekerja. Namun, lalu lintas di jalanan yang pada merayap membuat pria itu tidak bisa sampai di rumah dengan cepat.
"Bagaimana keadaan Nona Karinka, Tuan?" tanya Robby pelan. Pria itu membuka topik pembicaraan di tengah keheningan kendaraan beroda empat yang sedang ia kemudikan.
"Belum siuman," jawab Ravel singkat. Sepertinya pria itu agak sensitif dan tidak ingin membahas masalah mengenai Karinka sehingga Robby pun memilih untuk bungkam dan tidak bertanya lagi.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mobil yang ditumpangi oleh Ravel akhir berhenti di depan pekarangan rumahnya yang megah bak istana. Tanpa mematikan mesin mobil, Robby langsung keluar dan memutari kendaraan berompat tersebut sebelum membukakan pintu untuk Ravel.
"Silakan, Tuan," ujar Robby dengan kepala yang sedikit menunduk, memberikan hormat pada sang atasan sebelum pria itu beranjak keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, barulah Robby menutup pintu penumpang belakang lalu kembali ke tempat semula untuk mematikan mesin mobil.
Ravel sudah tidak peduli dengan apa yang ingin dilakukan oleh Robby di belakang sana karena begitu masuk ke dalam rumahnya, sudah ada beberapa pelayan yang menyambut dirinya sembari memberikan hormat. Sebagai pemilik rumah, tentu saja pria itu disegani oleh seluruh pegawainya, bahkan yang sudah bekerja cukup lama sekalipun.
"Tuan mau mandi atau makan dulu?" tanya seorang pelayan senior. Pertanyaan yang meluncur dari mulutnya itu sukses membuat kedua tungkai Ravel berhenti melangkah.
"Mandi," jawab Ravel singkat tanpa menoleh ke arah si pelayan.
"Kalau begitu saya akan panaskan ma—" Belum sempat pelayan itu menyelesaikan ucapannya, Ravel sudah lebih dulu menyela dengan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pelayan itu untuk bungkam.
"Nggak perlu. Saya mau langsung istirahat," kata Ravel sebelum kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai atas. Ia meninggalkan si pelayan tanpa mau repot-repot menunggu balasan dari wanita setengah baya itu. Hanya satu hal yang diinginkannya saat ini, mandi lalu mengistirahatkan diri agar bisa terlepas sejenak dari beratnya beban dunia dan yang terpenting, terlebih lagi ketika mengingat kebenciannya pada Karinka Gunadi yang semakin menjadi-jadi.
*
Derap langkah sepatu pantofel mengkilap yang beradu dengan ubin rumah sakit mengundang beberapa orang untuk melihat ke arah si pemilik sepatu. Namun, pria itu tidak peduli dengan tatapan yang dilayangkan oleh orang-orang itu padanya karena ia hanya ingin segera sampai di tempat tujuannya.
Pria itu melangkah lebar dan mantap sembari merutuk di dalam hati ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang menghalangi jalannya, menghambat dirinya yang sudah tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang. Seandainya bisa, pria itu ingin sekali menyingkirkan semua orang yang tertangkap oleh indra penglihatannya saat ini agar jalanan di depannya kosong melompong.
Begitu sampai di depan pintu kamar tujuannya, Ravel langsung memutar kenop pintunya alih-alih mengetuk terlebih dahulu. Katakanlah ia tidak memiliki tata krama maupun sopan santun. Namun, mengingat seluruh biaya administrasi kamar yang baru saja dimasukinya itu adalah hasil bayaran dari pundi-pundi uangnya, maka sebutan tak punya sopan santun pun tidak pantas untuk disematkan pada Ravel.
Bertepatan dengan masuknya Ravel ke dalam kamar rawat inap Karinka, dokter yang menangani gadis itu pun baru juga menyelesaikan pengecekannya. Dokter setengah baya itu tersenyum tipis pada Ravel karena keduanya sudah beberapa kali bertemu sebelumnya.
"Gimana keadaannya, Dok?" tanya Ravel basa-basi. Sebenarnya ia tidak terlalu ingin tahu mengenai kondisi Karinka karena yang terpenting kini gadis itu sudah siuman dari tidur panjangnya, koma.
"Sejauh ini baik, tapi mulai sekarang harus sering-sering dibawa gerak, ya, biar otot dan persediannya nggak kaku karena habis tidur panjang," jawab dokter itu dengan nada jenaka pada akhir kalimatnya, sementara Ravel hanya mengangguk lalu menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.
"Kapan bisa pulang, Dok?" tanya Ravel sembari mengantarkan dokter itu sampai ke pintu kamar.
"Setelah infusnya habis. Mungkin besok atau lusa kalau semunya baik-baik aja." Setelah berkata demikian, dokter itu pun memberikan tepukan pelan pada pundak Ravel sebelum keluar dari kamar rawat inap Karinka untuk mengecek pasien lainnya.
"M—mas ...," gumam Karinka ketika Ravel sudah berdiri di sisi tempat tidur rumah sakit yang ditempatinya. "Mbak Iin di mana? Dia baik-baik aja, 'kan?" lanjut gadis itu bertanya dengan nada suara yang sama tanpa berani menatap ke arah Ravel karena pria itu melayangkan tatapan yang sangat tajam ke arahnya dan sukses membuat Karinka berkeringat gugup.