Selama perjalanan, Karinka hanya bisa pasrah. Setelah mengetahui fakta yang membuatnya sangat terpukul dan merasa bersalah, gadis itu sudah tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun untuk bertanya ke mana Ravel akan membawanya. Karinka juga hanya berani menatap ke arah jalanan dari jendela di sisi kirinya karena rahang Ravel tampak mengeras ketika ia menatap sekilas ke arah pria itu.
Laju mobil Ravel perlahan melambat kemudian berhenti sepenuhnya di depan pagar rumah yang masih jelas terekam di dalam benak Karinka sebagai tempat Ravel mengurungnya. Gadis itu bergeming di tempat. Sabuk pengaman masih menyilang di tubuhnya ketika Ravel sudah keluar dari mobil.
Karinka pikir ia akan ditinggal oleh Ravel, tetapi pria itu justru membuka pintu penumpang dengan gerakan kasar lalu menariknya keluar dari kendaraan beroda empat itu. Beruntung Karinka sudah sempat melepaskan sabuk pengamannya terlebih dahulu sebelum diseret oleh pria itu.
"Mas, aku bisa jalan sendiri," cicit Karinka. Pergelangan tangannya terasa sakit karena cengkraman tangan besar Ravel yang begitu erat di sana.
"Bersihkan seluruh rumah ini," titah Ravel dengan nada menggelegar. "Jangan sampai ada bagian yang terlewat."
Karinka baru saja hendak membuka mulut untuk melayangkan protes. Namun, kalimatnya hanya bisa tertahan di ujung lidah karena Ravel sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya.
"Kalau sampai aku balik ke sini, rumah ini masih berantakan, awas kamu!"
Setelah berkata demikian, Ravel lantas pergi meninggalkan Karinka seorang diri di rumah itu, tidak lupa dengan bantingan pintu utama sebelum sosok tersebut benar-benar menghilang dari pandangan si gadis.
Kepergian Ravel terasa seperti berkah untuk Karinka. Terlalu lama berbagi oksigen di dalam satu ruangan dengan pria itu membuat Karinka sesak. Entah sesak karena ketakutan akan sosok Ravel yang berubah seratus delapan puluh derajat menjadi iblis tanpa hati atau sesak karena Ravel yang selalu melayangkan tatapan bencinya semenjak ia keluar dari rumah sakit.
"Wajar kalau dia benci sama kamu, Karinka," gumam Karinka pada dirinya sendiri. "Kamu yang udah bunuh istri dan calon anaknya," lanjut gadis itu.
Bulir bening perlana meluncur dari kedua indra penglihatan Karinka tanpa bisa dicegah. Tangannya membentuk kepalan kemudian dipukulkan pada ulu hati, berharap dapat mengurangi sesak di sana. Namun, sayangnya hal itu tidak terwujud. Dadanya malah semakin terasa sesak, diiringi dengan tangisannya yang semakin menjadi-jadi. Siapapun yang mendengar suara tangis gadis itu akan dapat merasakan kesedihannya.
*
Menyeka keringat yang bercucuran di keningnya, Karinka tetap melanjutkan acara mengepelnya. Dengan posisi berjongkok, tentu aktivitas itu menguras banyak tenaga, terbukti dari peluh yang kini sudah membasahi seluruh bagian belakang pakaian gadis itu.
Karinka ingin beristirahat sejenak. Namun, takut kalau Ravel kembali sebelum pekerjaannya selesai. Ia tidak mau dibantai habis oleh pria itu, meskipun pasti akan.
Indra pendengaran Karinka menangkap suara pintu utama yang terbuka, menandakan ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah itu. Ia memilih untuk mengabaikan sosok yang baru melangkah masuk, melanjutkan pekerjaannya yang belum rampung.
Namun, sikap acuh Karinkan hanya bertahan selama beberapa menit setelah kedatangan sosok itu--Ravel. Pria itu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa melepaskan sepatu sehingga jejak kakinya tertinggal di lantai yang masih belum sepenuhnya kering itu.
Karinka memutar kepalanya, masih dengan posisi berjongkok dan tangan yang memegang kain pel. "Mas, sepatunya bisa dilepas dulu?" tanya gadis itu berusaha menahan sabar, padahal dirinya sudah ingin berteriak memaki Ravel yang tidak tahu tata krama itu. Hasil kerja kerasnya dirusak begitu saja oleh pria itu.
"Siapa kamu berani perintah-perintah aku, hah?!" bentak Ravel kemudian menyenggol lengan Karinka dengan sengaja sampai gadis itu jatuh terduduk di atas ubin. Mengabaikan rintihan kesakitan Karinka, pria itu melanjutkan langkahnya untuk naik ke lantai atas, meninggalkan sang gadis seorang diri di lantai bawah dengan rasa nyeri yang menyerang bagian tulang ekornya.
Tarik napas. Buang.
Karinka mengulang gerakan itu berulang kali sembari berusaha menetralkan sesak di d**a dan menahan bulir bening yang sudah berada di ujung mata.
Belum sempat gadis itu bangkit ke posisi semula, suara teriakan dari lantai atas sudah menggema memenuhi seluruh penjuru rumah. Bahkan sepertinya suara itu bisa terdengar oleh tetangga sebelah. Beruntung rumah yang mengapit rumah tersebut adalah rumah kosong yang tidak berpenghuni.
"Karinka, apa aja yang kamu lakukan selama aku pergi?!" Teriakan itu menggelegar dan diiringi dengan suara derap langkah kaki yang menuruni satu per satu tangga dengan cepat. Karinka buru-buru bangkit berdiri, meskipun nyeri di tulang ekornya masih terasa.
"Membersihkan rumah ini," jawab Karinka lugas begitu Ravel berdiri di depannya. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan pria itu. Ravel akan semakin menginjak-injak harga dirinya nanti.
"Membersihkan katamu?!" tanya Ravel menghardik. "Di lantai atas itu nggak ada bersih-bersihnya! Buta, ya, matamu?!" lanjut pria itu seperti orang kesetanan.
Karinka menghela napas pelan. "Ya, aku akan membersihkannya lagi nanti. Setelah lantai bawah selesai," balas gadis itu tanpa membantah.
"Nggak perlu! Aku akan panggil tukang bersih-bersih," balas Ravel pedas. "Dasar tidak berguna!"
*
Pagi-pagi sekali Karinka sudah terbangun dari tidurnya yang sedikit pun tidak terasa lelap. Gadis itu seperti tidur ayam. Tidur beberapa saat kemudian terbangun lagi. Sungguh menyebalkan karena hal itu terjadi berulang-ulang kali.
Lagi pula manusia waras mana yang bisa tidur dengan tenang ketika tahu dirinya sedang dikurung di dalam rumah? Hanya orang gila yang bisa.
Tangan Karinka terangkat, mengusap perut keroncongannya dari balik pakaian yang masih sama seperti kemarin. Tidak ada pakaian atau apapun yang bisa dikenakan oleh gadis itu sebagai baju ganti. Meskipun begitu, setidaknya masih ada air bersih untuk membersihkan dirinya.
Karinka melangkah menuruni anak tangga menuju lantai bawah kemudian masuk ke area dapur. Tujuan utamanya adalah mencari makanan di sana. Namun, mengingat keadaan rumah tersebut, gadis itu pun pesimis. Jelas sudah kulkas yang ada di dapur tidak ada isinya.
Benar saja. Hanya kulkas kosong dengan sedikit bau tidak sedap yang merasuki indra penciuman Karinka ketika tangannya membuka pintu kulkas. Entah apa yang membuat benda itu mengeluarkan bau tidak sedap, padahal tidak ada apapun di dalamnya. Kemungkinan besar karena sudah lama tidak dipakai.
Indra penglihatan Karinka meneliti setiap sudut dapur, mencari apapun yang sekiranya dapat digunakan untuk mengisi perut kosongnya. Beruntung ada gelas plastik yang teronggok tak berdaya di dalam kabinet lemari. Tangan gadis itu meraih benda tersebut kemudian membilasnya sekali dengan air mengalir sebelum mengisi air keran hingga setengah dan menandaskannya hingga habis.
Nggak ada air minum, air keran pun jadilah, batin Karinka di dalam hati. "Setidaknya minum air keran lebih baik daripada mati kehausan," gumam gadis itu sembari meletakkan gelas plastik di tangannya ke dalam bak pencucian piring.
Tubuh Karinka berjengkit kaget ketika mendengar suara deritan yang berasal dari pintu utama. Gadis itu buru-buru berjalan keluar dari area dapur untuk melihat sosok yang baru saja masuk ke dalam rumah tersebut. Takut-takut kalau itu adalah orang jahat.
Oh, pantas. Ternyata memang benar orang jahat. Ini dia manusia paling jahat di muka bumi, batin Karinka di dalam hati ketika indra penglihatannya melihat sosok itu, Ravel.
Karinka baru saja hendak membalikkan tubuh dan kembali ke kamarnya di lantai atas ketika suara baritone Ravel sudah lebih dulu memberi titah padanya. "Mau kabur ke mana kamu?! Sini!" hardik pria itu.
Mau tak mau, Karinka berjalan mendekat ke arah Ravel yang berdiri di tengah ruang tamu. Gadis itu belum sempat bersuara ketika tangan Ravel melempar sebuah map ke atas meja. Ulah pria itu sukses menimbulkan kerutan di kening Karinka.
"Apa ini, Mas?" tanya Karinka dengan sebelah alis yang terangkat. Bingung. Namun, bukannya menjawab, Ravel malah keluar dari rumah, meninggalkan Karinka yang masih kebingungan seorang diri di sana.