Part 4

709 Kata
Kantin benar-benar ramai. Aiza, Anaz, dan Qilla kesulitan untuk mencari tempat duduk. Hingga ia menemukan meja yang masih kosong yang terletak paling ujung kantin. Aiza dan sahabatnya pun memesan makanan untuk memasuki perutnya yang Sudah bunyi dari tadi. "Ehh.. Kalian tau enggak hari ini pemilik kampus kita bakal datang kesini. Aku dengar-dengar ya dari gosip siswa lain pemiliknya tu masih muda loh. Katanya dia juga ganteng banget kayak orang Arab gitu." Ucap Qilla teriak sambil heboh histeris. "Qil, jangan teriak-teriak! Malu tau, kok aku enggak tau ya!" Ujar Anaz bingung sambil melirik ke samping yang saat ini siswa lain melihat mereka heran. "Loe si Naz kurang update sih, berita ini tuh lagi viral di kampus kita tau." Ujar Qilla sambil cemberut. "Semoga aja ini ya, tuh pemilik kampus bisa jadi milik gue, pasti gue bahagia banget." Ucap Qilla lagi sambil mengayal. "Eumm yaya Aku sama Naz cuma bisa doakan, Tapi jangan pacaran Qil. Dosa tau" Ujar Aiza tegas. "Iya, iya tenang aja sahabat-sahabatku yang palingku sayang pasti aku selalu ingat nasehat kalian." Ucap Qilla sambil tersenyum lebar. Aiza dan Anaz mengulas senyum saat mendengar ucapan Qilla. Cut ShaQilla nama lengkapnya, Sahabat Kami yang paling cerewet dan paling heboh sendiri. Aiza pun kembali menyeruput juice manggonya, baru satu tegukan. Qilla menepuk bahunya keras. Berakhir dengan ia tersedak. "Astagfirullah.” "Za, za, za..." Qilla terus menepuk bahu Aiza. Membuat Aiza harus menjauhkan bahunya dari jangkau tangan Qilla yang bak seorang laki. "Apaan sih?" Qilla menunjuk ke suatu titik, di mana seseorang yang baru saja dibahas ada di depan matanya. "Tuhh... Tuhh!” "Tuhh... Tuhhh apaan si Qill?" Tanya Anaz bingung. "Yah... Yah..." Jari telunjuk Qilla mengikuti seseorang itu yang akan beranjak pergi dari jangkau matanya. "Yah.. apaan sih, maksud kamu Ayah?" Aiza berkata dengan dahi berkerut. "Bu-kan, itu pemilik kampus yang aku bahas tadi.” "Mana?" Anaz menoleh ke belakang, mencari seseorang di maksud Qilla. "Telat lo pada, sudah keburu pergi orangnya!" Qilla menggebrak meja pelan. "Sumpah aslinya lebih ganteng, enggak menyangka gue bisa liat langsung, biasanya cuma bisa lihat di koran!" "Heboh banget sih Qill, memang seganteng apa sih, buat aku penasaran aja!" Aiza bertanya pada Qilla. "Pokoknya genteng banget, kalau lo ketemu bisa klepek-klepek tuh!" Aiza mendelik. "Yee... Gak gitu juga kali!" "Kalian temenin aku ya, ke ruang dosen!" dahi Anaz berkerut halus. "Ngapain?” "Mau bayar SPP!” Qilla memandang Aiza heran. "Kenapa cepat banget, baru juga kita masuk!" Aiza mengangkat bahunya tidak tahu, ia hanya menuruti perintah Umminya. *** Setelah selesai membayar, Aiza keluar dari ruangan itu sendiri. Yah, sahabatnya tidak bisa menemaninya. Mereka tiba-tiba mendapat panggilan alam dan itu bersamaan. Sungguh kompak. Aiza memasuki kertas bukti, kalau ia Sudah membayar, dan tinggal memberikannya pada Ummi. Aiza menatap sekitar, mencari sahabatnya yang tidak muncul juga. Mereka menyuruhnya untuk tunggu disini, tapi mereka belum juga menampakkan batang hidungnya. Naufal melangkahkan kakinya memasuki salah satu ruangan, disaat bersamaan, ia melihat seseorang gadis yang begitu familier. Ingin menyapa tapi hatinya enggan. Kenapa dengan dirinya, biasanya dia tidak suka berdekatan dengan seorang wanita. Tapi ketika melihat gadis itu ada sesuatu yang aneh yang dia rasakan. Tanpa memperdulikan. Naufal memasuki ruangan itu. "Bagus tuh anak cepat banget bayarnya!" Kata seseorang di ruangan itu. “Siapa?” Tanyanya tiba-tiba membuat bapak paruh baya itu terkejut. Bapak Amed terkejut dengan kedatangan pemilik kampus ini. "Oh God, Pak Rektor... Apa kabar?" Naufal memilih duduk di depan Amed. "Alhamdulillah, baik!" Bapak Amed adalah kenalan Papanya jadi dia cukup mengenal orang di depannya ini. "Apa Pak Rektor Sudah menyelesaikan masalahnya?" “Sudah.” Naufal berujar singkat. Amed menghela napas. “Maaf pak, kami tidak becus untuk mengurusnya sendiri dan membuat Bapak harus berturun tangan!” "Tidak apa-apa, saya juga Sudah lama tidak berkunjung kesini!" Amed mengangguk paham. "Oh ya, Bapak belum menjawab pertanyaan saya?" dahi Amed berkerut bingung. "Pertanyaan apa Pak?” "Siapa yang baru saja membayar SPP?" Amed mengangguk paham. "Oh itu siswa baru disini!” "Nama?" "Tunggu Pak, saya cek dulu," Amed pun membuka kembali laporan pendaftaran Mahasiswa baru tahun ini. "Namanya Aiza Munadiah, dia termasuk siswa terpintar juga!" Dirinya seperti ingin lebih tahu tentang nama itu. "Nama orang tuanya?" "Nama orang tua... Nama Ayahnya Kavin Ardana Abiputra, nama ibunya Maira Fitri," Naufal mengangguk paham. Firasatnya benar, dia merasa akan kembali bertemu dengan gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN