Bab 9. Pagi yang mendebarkan 2

1122 Kata
Mata keduanya saling berpaku satu sama lain. Terjebak dalam pandangan yang sulit di artikan oleh kata-kata. Tak ada sepatah kata yang terucap. Keduanya sama-sama membisu. Terpaku pada bahasa mata yang seolah mengisyaratkan sebuah kalimat yang terangkai. Tatapan lembut Mike, mampu menghipnotis Rea. Terlebih lagi, posisi mereka saat ini begitu dekat. Membuat Rea yang tak pernah bersentuhan dengan awan jenis pun tak bisa berpikiran jernih. Otaknya seolah blank. Rea hanya bisa membeku. Tak berani untuk bergerak sedikit pun. Matanya terus terkunci akan sorot mata indah milik Mike. Bola mata berwarna coklatnya seakan sanggup membuat Rea terhenyak sesaat. Di tambah dengan senyum manisnya yang amat menawan hati. Tak ada yang bisa Rea lakukan selain diam. Jantungnya berdetak tak sesuai aturannya. Tidak seperti biasanya. Jantung ini berdetak dengan ritme yang berbeda. Perlahan, Mike mulai mengikis jarak yang masih tersisa antara dirinya dan Rea. Karena memang, Mike menahan tubuhnya dengan sebelah tangannya. Sementara tangannya yang lain menahan kepala Rea agar tidak terbentur lantai. Dengan sangat pelan, Mike mulai memajukan wajahnya. Membuat napas Rea semakin tercekat. Sebelumnya, ia tak pernah sedekat ini dengan seorang laki-laki. Bahkan papanya sekalipun. Tak ada kedekatan yang normal antara Rea dan sang papa. Bahkan dengan teman-temannya semasa sekolah dan kuliah. Rea selalu bisa menjaga dirinya. Membatasi kedekatan dengan mereka yang ingin lebih dekat mengenalnya lagi lebih dalam. Wajah Mike telah berada tepat di depannya. Bahkan hidung mereka bersentuhan ujungnya. Mike berhenti untuk lebih dekat lagi. Menunggu respon Rea yang ia kira sangatlah polos. Lihatlah bagaimana wajah cantiknya yang kini berkulit putih, bisa memerah sempurna. Hanya karena ia mendekatinya seperti ini. Mike tersenyum puas. Ia sangat yakin sekali. Jika Rea tak pernah berciuman sebelumnya. Dan ia akan membuktikan hal itu saat ini. Melihat tak ada penolakan yang Rea berikan. Mike akan menganggap bahwa Rea juga menginginkannya. Bermodalkan hal itu. Mike berani lebih mendekatkan wajahnya. Tatapan matanya kini tak lagi tertuju pada bola mata berwarna hitam pekat milik Rea. Akan tetapi berpindah ke arah bibirnya. Cup Hanya satu kecupan ringan yang Mike lakukan. Setelahnya ia menjauh. Mengamati ekspresi wajah Rea yang lucu menurutnya. Kaget, tentu saja itu yang Rea rasakan saat ini. Ia tak menyangka jika Mike akan berani menciumnya. Ah, salah. Itu bukan ciuman kan? Itu hanya sebuah kecupan singkat dan sialnya. Itu adalah ciuman pertamanya selama ini. Rea memukul d**a Mike kesal. “Dasar bego! Itu first kiss gue, ish, dasar nyebelin banget,” teriak Rea yang memukuli d**a Mike bertubi-tubi dengan kesal. Membuat Mike mengaduh kesakitan dan segera bangkit dari atas tubuh Rea. Tapi dengan tawa yang meledak. Setelah menyadari bahwa kemarahan Rea disebabkan oleh dirinya yang mencuri ciuman pertamanya. Itu berarti Rea selama ini tidak pernah berpacaran. Dan ia benar-benar menjaga tubuhnya. Termasuk ciumannya. Entah kenapa, Mike bisa sesenang itu bisa menjadi laki-laki beruntung tersebut. Mendapatkan ciuman pertama dari seorang gadis galak, jutek selalu ketus. Tapi di luar dugaan. Ia sama sekali belum pernah berciuman. Sungguh aneh bagi Mike. Mengingat jika Mike telah bertemu dengan berbagai jenis perempuan yang selalu menghangatkan ranjangnya. “Wah, beruntung banget yah, gue. Bisa jadi laki-laki pertama yang cium Lo,” ejeknya yang langsung saja pergi dari dapur. Meninggalkan Rea yang telah duduk di lantai dengan wajah merah padamnya. Menatap nyalang Mike yang berjalan pelan-pelan meninggalkan dapur. Rea berteriak keras penuh amarah. “Dasar Mike b******k! Keluar Lo dari rumah gue. Jangan tinggal disini lagi, gue benci sama Lo!” teriak Rea penuh emosi yang memuncak. Ia sangat kesal sekali pada laki-laki yang ia tolong tersebut. Sesungguhnya bukan karena Mike menciumnya. Akan tetapi lebih ke.....malu. Rea malu Mike mengiranya nggak laku. Hingga sampai saat ini belum pernah berciuman. Rea bangkit berdiri dan segera membuka kulkas. Mencari air dingin untuk meredam emosinya yang menggebu-gebu saat ini. “Hahh, awas saja. Gue pasti balas dendam ke dia. Awas saja!” geram Rea sambil tersenyum menyeringai kala membayangkan balasan apa yang cukup pantas untuk membuat Mike kesal. Dalam benaknya, Rea telah merancang sebuah rencana untuk membalas dendam kepada Mike yang telah berani menggodanya bahkan mengambil ciuman pertamanya. “Awas saja. Pembalasanku akan lebih menyakitkan. Lihat saja nanti!” geram Rea sambil melanjutkan kegiatannya mencuci piring kotor sembari menggerutu, dengan hujatan yang tertuju pada Mike. Mike yang rupanya belum benar-benar pergi dari dapur, terkekeh geli mendengar ocehan Rea yang berisikan cacian dan hinaan untuknya. Mike masih berdiri di sebelah pintu dapur dan mendengar semua kemarahan Rea. Setelahnya ia benar-benar pergi dari sana. ### Rea berangkat bekerja dengan hati yang dongkol. Tadi, sebelum ia keluar dari pintu rumahnya. Mike yang duduk di ruang tamu, menggodanya dengan mengingatkannya tentang ciuman mereka di dapur. Supaya Rea tidak teringat terus dengan adegan kiss pagi tadi. Tentu saja Rea kesal. Niatnya yang ingin membalas semua perlakuan Mike semakin meningkat. Rea pastikan jika Mike akan menderita nantinya. Rea memang jalan kaki dari rumahnya ke minimarket tempatnya bekerja. Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di sana. Sebelum sampai di depan minimarket. Rea seperti melihat seseorang yang sangat ia kenali. Untuk itu, Rea segera bersembunyi di balik tembok toko milik orang lain yang terletak tepat di sebelah minimarket. Mengintai dari jarak yang cukup jauh. Namun masih tetap bisa melihat apa yang terjadi di depan minimarket. Sepertinya orang tersebut tengah sibuk menelepon seseorang di seberang sana. Entah siapa. Rea juga tak peduli. Rea menatap wajah orang tersebut dengan tatapan sendu. Meski ada kebencian yang terlihat jelas. Tapi juga terselip rindu. Bagaimana pun orang itu berarti bagi hidupnya. Lama Rea memandanginya dari jauh. Setelah selesai menelepon. Orang tersebut masuk ke dalam mobil mewah yang terparkir di depannya. Sepertinya ia memang hanya mampir untuk membeli minuman di minimarket. Selepas kepergian orang tersebut. Rea bisa bernapas lega. Entah mengapa, Rea merasa bersyukur ia datang sedikit terlambat dari biasanya. Jika tidak, ia pasti akan tertangkap. Rea menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak. Gue nggak akan kembali ke neraka itu lagi!” gumamnya sambil menggelengkan kepalanya pelan. Rea melihat jam tangannya. “Aduh, hampir telat,” serunya yang segera berlari menuju ke minimarket tempatnya bekerja. Ia tidak boleh terlambat. Jika masih ingin bekerja di sana. Tepat saat Rea masuk ke dalam minimarket. Seseorang yang sedang duduk di belakang kursi pengemudi, menoleh ke arah minimarket. Merasa familiar dengan seorang gadis yang baru saja berlari kecil masuk ke dalamnya. Meskipun wajahnya tak terlihat jelas. Namun, sang pria masih mengingat jelas topi yang gadis itu pakai malam itu. Sama persis dengan yang sedang dikenakan oleh gadis tadi. “Mungkin hanya sama,” gumamnya yang kembali memandang ke arah depan. “Ada apa, Tuan? Apa anda butuh sesuatu?” tanya pak supir yang melihat majikannya menoleh ke arah samping. Entah apa yang dilihatnya. “Tidak. Hanya melihat seseorang yang sepertinya saya kenal, Pak. Bisa lebih cepat, Pak? Saya sudah hampir terlambat untuk meeting,” pintanya seraya melihat jam tangan mahalnya, bahkan saking mahalnya bisa untuk membeli sebuah mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN