Bab 4. My Brother

1117 Kata
Menghabiskan dua potong pizza keju yang di pesan oleh Mike. Rea merasa kenyang, lalu mengucapkan terima kasih pada Mike dan masuk ke dalam kamarnya. Rea naik ke loteng. Masih ada waktu tersisa untuknya menyaksikan sunset dari sini. Kebiasaannya setiap hari yang selalu saja ia lakukan. Menyandarkan kepalanya ke sisi jendela kecil yang ada di atas sini. Tak ada banyak barang memang. Mengingat jika loteng ini tak begitu luas. Hanya ada sebuah kasur lantai dan meja kecil yang berisi sebuah bingkai foto Rea dengannya. Seseorang yang sangat Rea sayangi. Menatap kosong cahaya jingga yang perlahan mulai memudar dan berganti dengan sinar rembulan yang indah. Kilatan masa lalunya, membuat Rea kembali meneteskan air matanya. Dulu, ia adalah orang pertama yang paling senang kala kehadiran orang tersebut dalam hidupnya yang sepi. Akan tetapi, rupanya semua itu tak bertahan lama. Mungkin Tuhan hanya ingin sedikit saja memberinya seseorang untuknya berbagi. Tanpa bisa menghabiskan waktunya bersama. Untuk itu, Rea memang berusaha untuk ikhlas dan berlapang d**a menerima semua takdir yang telah Tuhan tuliskan kepadanya. Meskipun terkadang, ada rasa sesal dalam hatinya. Kala ia mengingat kejadian buruk tersebut. Hal yang paling kelam baginya. Menyaksikan orang yang paling ia sayangi, menutup matanya untuk selama-lamanya di depannya. Rea menangis tersedu-sedu di atap ini seorang diri. Ia ingin menumpahkan segala keluh kesahnya, kecewanya, kesedihannya, bahkan amarahnya. Hingga lupa, jika ia tak seorang diri di rumahnya. Masih ada seseorang yang saat ini kebingungan mendengar isak tangisnya dari luar kamarnya. “Rea, lo kenapa? Buka pintunya, Re!” gedoran di pintu yang di iringi dengan teriakan Mike perlahan membuat Rea sadar bahwa ia tak sendirian saat ini. Suara Mike yang terdengar khawatir berhasil menghentikan tangisan Rea. Gadis itu hanya tidak ingin Mike banyak bertanya tentangnya. “Gue nggak apa-apa kok. Ini cuman gara-gara film aja!” balas Rea yang juga berteriak. Hening. Setelahnya hanya terdengar helaan napas lega dari balik pintu kamarnya. Mike tak lagi bersuara. Terdengar laki-laki tersebut telah berbaring kembali ke sofa. “Bisa nggak sih, lo pura-pura tuli aja,” gumam Rea menghembuskan napasnya lelah. Sementara di luar. Mike masih menaruh curiga, jika Rea hanya menangis karena menonton film. Rasanya mustahil sekali. Sebab, Mike bisa seolah ikut merasakan kesedihan yang Rea rasakan lewat isak tangisnya. Lelah menangis, Rea tertidur di atap. Hingga selang satu jam kemudian. Ponselnya berbunyi, Nico memanggilnya. Dengan mata yang sembab dan suara yang parau. Rea menjawab panggilannya. “Hallo?” sapanya pelan. Sembari mengumpulkan nyawanya yang masih menghilang entah kemana saat ini. “Re, kamu sakit? Kok lemes gitu?” tanya Nico khawatir. Rea mengubah posisinya menjadi duduk. Setelahnya ia mencoba untuk turun dari loteng dengan tangga yang ada di dalam kamarnya. “Nggak kok. Gue bangun tidur aja. Ada lo telepn gue? Tumbenan banget,” Rea masuk ke dalam kamar mandinya. Masih membawa ponselnya. “Aku kira kamu kenapa. Soalnya sudah jam segini kamu belum datang. Padahal biasanya kamu nggak pernah telat. Syukurlah kalau kamu hanya ketiduran.” Jelas Nico yang tak bisa menyembunyikan kelegaannya saat ini. Rea tersenyum tipis. Ia senang, setidaknya Nico masih mengkhawatirkan dirinya. Meskipun Nico bukan siapa-siapanya. Hanya orang asing yang tanpa sengaja bertemu dan berteman. Just it. “Iya, maaf pak bos. Sebentar lagi gue berangkat. Ini mau mandi dulu.” Jelas Rea yang masih menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. “Aku jemput sekalian. Soalnya aku lagi ada di luar. Habis ketemu klien di sekitar rumah kamu. Sepuluh menit lagi aku sampai. Kita sama-sama ke club, oke. See you,” Nico langsung saja memutuskan panggilannya tanpa mau menunggu jawaban Rea. Karena tahu jika adik angkatnya itu pasti akan menolaknya. Rea memandang ponselnya sembari menghela napasnya pelan. Paham akan sikap Nico yang terkadang tak ingin di bantah. Tak ingin terlalu pusing memikirkan Nico. Rea segera memulai ritual bersih-bersihnya dan bersiap untuk berangkat bekerja. Rea tak ingin jika Nico nantinya akan bertemu dengan Mike hingga berpikiran macam-macam tentangnya yang tiba-tiba saja menampung seorang laki-laki asing di dalam rumahnya. Club yang kata orang adalah tempatnya mencari hiburan dari beragam masalah di luar sana. Tempat yang ramai dengan berbagai jenis orang. Dengan satu tujuan, menghilangkan penatnya otak dari berbagai pikiran tentang masalahnya masing-masing. Walaupun masalah tak akan bisa selesai hanya dengan menghabiskan banyak alkohol. Tapi dengan cara menyelesaikannya dan menghadapinya dengan berani. Rea telah siap dengan pakaiannya. Ia keluar dari kamarnya tampak sudah fresh dan memasang wajah palsunya di depan orang-orang bahwa dia adalah orang yang tidak pernah memiliki masalah sama sekali dalam hidupnya. Mike yang melihatnya mengalihkan pandangannya dari TV ke arah Rea. “Lo mau kemana? Rapi banget. Masa mau kencan, sih? Tapi kok bajunya bukan gaun seksi,” cibir Mike sembari tersenyum mengejek. Rea hanya menghembuskan napasnya. Tak ingin menanggapi perkataan Mike yang selalu saja membuatnya kesal. Rea berjalan ke depan untuk menunggu Nico di teras depan. Maka pria tersebut tidak akan masuk ke dalam rumahnya dan bertemu dengan Mike. Rea masih tidak mau Nico bertanya banyak hal tentang Mike padanya. Tin...tin...tin.... Rea yang tadinya duduk di depan rumahnya, sontak mendongak. Melihat sosok pria yang ia tunggu sejak tadi sedang tersenyum di dalam mobilnya. Rea segera bangkit berdiri dan masuk kedalam mobil Nico. Karena dirinya memang sudah terlambat untuk bekerja. “Tumbenan banget kamu ketiduran? Lagi banyak masalah, yah?” tanya Nico sambil menoleh ke arah Rea dan jalanan di depannya. “Iya kayaknya kecapekan, nih. Soalnya tadi di minimarket lagi banyak barang datang. Makanya terlambat pulangnya.” Jelas Rea. “Kak, maaf yah. Aku sudah telat banget hari ini. Kakak potong gajiku aja nggak apa-apa kok.” Ujar Rea yang merasa bersalah. Nico hanya tertawa kecil menanggapinya. Pria itu tak pernah sekalipun memperhitungkannya. Malah ia selalu saja melebihkan gaji Rea di club’. Tentunya dengan alasan jika Rea adalah adiknya. Jika Rea menolaknya. “Kamu apaan, sih! Lucu banget. Kapan kakak pernah marah sama kamu? Sudah nggak apa-apa kalau memang kamu kecapekan terus ketiduran. Karena itu memang wajar bagi kakak. Kamu saja yang selalu ngeyel kalau dibilangin. Biar kakak aja yang tanggung biaya kehidupan kamu sehari-hari. Tapi kamu selalu menolaknya. Kalau kamu sakit, nanti aku juga yang repot. Dibilangin kok keras kepala banget.” Omel Nico yang malah membuat Rea terharu hingga meneteskan air matanya di sudut matanya. “Iya kak. Terima kasih atas kekhawatirannya. Aku nggak apa-apa kok. Beneran deh,” tukas Rea meyakinkan Nico. Bahwa ia masih sanggup untuk mencari uang untuk kehidupannya sendiri. “Ya, terserah kamulah. Intinya kalau ada apa-apa cepat kasih tahu kakak. Apa pun yang terjadi, kamu adalah adikku. Mengerti gadis pembangkang?” canda Nico sembari tersenyum kecil. Keduanya tertawa bersama. Merasa memiliki satu sama lain sebagai seorang saudara. Meskipun tak ada darah yang sama dalam diri mereka. Tak ada ikatan apa pun. Namun mereka bisa saling melengkapi satu sama lainnya. Saling membantu dan mendukung antar yang lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN