Rhe bingung.. Apa ia harus menjawab pesan itu? Atau abaikan saja? Ia akhirnya menelepon Inka.
Inka, “Yes..”
Rhe, “Ah, ini gara-gara kamu! Aku ingin cerita dari tadi, tapi seharian aku bersama Damar dan Galang. Tebak aku ketemu siapa?”
Inka, “Siapa?”
Rhe, “BARRA ABRISAM! Ingat dia siapa?”
Inka tertawa, “Oh tidak! Dia mengenalimu?”
Rhe, “Tentu saja! Barusan dia mengirimiku pesan. Dia bilang DETEKTIF ANDA BERHUTANG PENJELASAN PADA SAYA. SAYA TUNGGU. Inkaaaa.. Apa yang harus aku lakukan??”
Inka terus tertawa, “OMG! Apa ya? Kabur? Melarikan diri? Aku ikut.. Rhe aku rasanya jadi takut..”
Rhe ikut tertawa, “Ahh.. Kacau..! Sudah tidak bisa lagi berkelit sis.. Persoalan lain adalah aku mungkin akan sering ketemu dia. Mau tidak mau kita harus jujur apa adanya. Bagaimana?”
Inka, “Deal! Ya sudah, rasanya kita juga harus bersikap dewasa. Apa besok kita ajak ketemu? Bagaimana? Kamu, aku, berdua kita jelaskan padanya. Aku harus ikut bertanggung jawab.”
Rhe, “Ok, aku ajak dia ketemu besok. Jam berapa?”
Inka, “Tanya dia saja.. Kita sesuaikan. Mau bagaimana lagi?”
Rhe, “Ok.”
Ia duduk di pinggir tempat tidur, menarik nafas panjang dan membalas pesan Barra.
Rhea : Saya akan jelaskan. Besok kita ketemu apa bisa?
Barra : Coffee shop, lantai dasar rumah sakit, jam 12 siang.
Rhea : Hmm.. Tidak bertanya apa saya bisa atau tidak?
Barra : Tidak akan bertanya dan harus bisa. Saya hanya bisa pukul segitu.
Rhea : Baiklah..
Ohh, ia rasanya kesal! Lelaki ini terlihat tenang dan kalem, tapi MENYEBALKAN.
Rhe melangkah ke kamar mandi membersihkan tubuhnya dan tidur. Ia ingin melupakan lelaki bernama Barra Abrisam. Emosi! Jauhkan aku dari lelaki yang menyebalkan seperti dia..
***
Barra hanya tersenyum membaca pesan itu. Sepertinya ia berhasil membuat perempuan itu juga kesal padanya.. Satu sama, 1-1!
Ia menyimpan jas dokternya dan mengenakan jaketnya. Pukul 1 dini hari, waktunya pulang. Barra berjalan keluar dari ruangannya.. Saat melangkah, ia terpikirkan untuk berkunjung sebentar ke kamar Clara.
Barra berbalik dan melangkah menuju kamar VIP pasien. Saat memasuki lorong tak jauh dari kamar Clara, seorang lelaki berjalan cepat hingga menabrak tubuhnya. Meski tidak keras, tapi lelaki itu hanya terus berjalan lurus tanpa meminta maaf. Ia berbalik dan memperhatikan lelaki yang mengenakan jaket hitam tersebut. Seorang lelaki bertubuh tinggi tidak beda jauh dengan tinggi tubuhnya. Ia memiliki tinggi 187 cm, sedangkan lelaki itu mungkin sekitar 183 cm. Wajahnya tertutup masker dan hoodie.
Ia hanya geleng-geleng kepala. Sopan santun rasanya semakin tidak ada.. Barra memasuki kamar Clara, tidak ada siapapun di situ. Elvina yang biasanya menjaga Clara pun tidak ada. Barra keluar kamar dan bertanya pada suster, “Ibu Elvina kemana?” Suster melihat ke arahnya, “Oh tadi izin ke kafetaria dok..”
Barra hanya mengangguk. Ia mengecek kondisi vital Clara, tidak ada yang berubah. Dalam hati ia berdoa agar pasien cepat sadar.
***
Pagi itu, Rhe terbangun dengan terburu-buru. Ia kesiangan. Galang meneleponnya berulang kali. Mereka berencana mengunjungi sekretaris Daniel Ravindra.
Akhirnya, Galang menjemputnya di apartemennya. Rhe tergesa-gesa langsung turun ke parkiran.
“Sori.. Kurang tidur.. Telat bangun..” Rhe duduk di sebelahnya. Galang hanya tersenyum, ia memperhatikan rambut Rhe yang berantakan dan kaosnya yang tidak beraturan. Cute, pikirnya.
Ia pun beranjak pergi, mobil mengarah ke kantor RV JEWELLERY. Mereka menuju lantai 17. Sektretaris Eva menerima mereka, “Maaf tapi bapak pergi ke luar kota hari ini. Sedang cek ke factory. Mungkin kembali sore atau malam sekali."
“Kami ingin bicara dengan ibu,” Galang langsung menegaskan. Eva terlihat ragu, “Oh.. Baiklah.. Ada apa?” Rhe memperhatikan ada beberapa orang menatap mereka, lalu mengusulkan untuk bicara di ruang rapat.
“Bagaimana kalau kita bicara di ruang rapat?” Rhe menatap Eva. Sekretaris seksi itu hanya mengangguk, lalu melangkah ke ruang rapat.
Galang mencolek tangan Rhe berulang kali.. Rhe hanya tertawa, ia tahu maksudnya. Perempuan itu mengenakan baju yang sangat pendek berwarna ungu gelap, dengan kemeja yang kancingnya terbuka hingga memperlihatkan belahan asetnya yang terbilang besar. Belum lagi sepatu hak tinggi berwarna hitam mengkilat.
Mereka masuk ke dalam ruangan rapat, “Apa yang bisa saya bantu?” Eva bertanya. “Kami sedang menyelidiki suatu kasus, dan butuh bantuan informasi. Pertama, bisa jelaskan dimana Daniel dua hari lalu, antara pukul 7 malam hingga 10 malam?” Galang mulai bertanya.
“Hmm.. Dua hari lalu, itu jadwal rapat perusahaan. Kita rapat dari pukul 5 sore dan selesai larut malam. Ada rapat dengan para direksi terkait rencana peluncuran produk baru,” Eva menjawabnya. “Apa ibu Eva juga ikut?” Galang kembali bertanya. “Iya tentu saja..” Eva mengangguk.
“Terkait kerjasama dengan Clara Jovanka, apa semua berjalan lancar? Ada masalah yang kita harus tahu?” Rhe memancing pertanyaan lainnya. Eva menggelengkan kepalanya, “Semua baik-baik saja.”
Rhe menatapnya, “Tolong bicara jujur, saya tanya sekali lagi, apa ada permasalahan pekerjaan ataupun pribadi antara Clara dan Daniel?” Eva lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
“Jangan sampai menghambat penyelidikan kepolisian, ada jerat hukum untuk itu. Termasuk jika memberikan keterangan palsu,” Rhe berkata tegas. “Saya minta bicara, hal sekecil apapun..!” Eva terdiam, ia terlihat ragu.. “Apa-pun?” Rhe dan Galang mengangguk.
“Sa-saya tidak tahu ada apa. Ta-pi, sekitar tiga atau empat hari lalu, Clara datang ke kantor dan ekspresinya terlihat aneh. Saya pikir dia marah atau kecewa atau ada yang mengganggunya. Hanya saja, itu bukan urusan saya, jadi tidak saya perhatikan lebih lanjut. Hari itu dia ketemu bapak dan sekitar dua jam bicara di ruangan,” Eva terlihat ragu, “Ini sebaiknya menjadi rahasia, tolong.. Pekerjaan saya bisa terancam kalau ini bapak tahu saya bicara soal ini.”
Rhe menggigit bibirnya, “Mereka tidak terlihat ribut atau ada masalah?” Eva kembali menggeleng, “Sa-ya tidak tahu.. Sungguh.. Seorang sekretaris tidak ikut campur urusan saat pintu tertutup dan saat bapak tidak bicara apapun.”
“Tolong, informasikan pada kami, kalau ada apapun yang diingat. Ini penting!” Rhe kembali menegaskan. Eva hanya mengangguk.
“Satu hal lagi, apa pendapatmu soal Clara?” Rhe bertanya. Eva menatapnya, “Dia ramah dan profesional…” Eva terdiam, “Hanya saja.. Kadang terlihat.. Emosional.. A-tau labil? Saya agak bingung menjabarkannya.”
Rhe dan Galang saling menatap, kadang sosok pemakai memang seperti itu.. Mereka hanya diam. Rhe pun berdiri, “Terima kasih atas kerjasamanya. Kami mungkin akan kembali menghubungi. Selain itu, kalau ada informasi apapun, tolong sampaikan.” Ia pun menyerahkan kartu namanya dan melangkah pergi.
Mereka turun ke basemen dan menaiki mobil. “Memang sepertinya ada yang terjadi. Entah apa, tapi ini bisa menjadi motif. Kalau lihat sekilas, postur tubuh Nehan, Daniel dan Keenan hampir mirip. Ketiganya bisa menjadi suspect sementara,” Galang bicara sambil menyalakan mesin mobil.
Rhe mengangguk, “Aku setuju. Tapi, aku penasaran satu hal, kenapa Keenan tidak mau bicara? Ada apa yang membuatnya membutuhkan pengacara?” Galang mengiyakan, “Itu betul.. Lalu Nehan, kenapa menghilang? Ini teka-teki besar. Apa semua terhubung ke persoalan SHOWMAN?”
“Entahlah.. Penyelidikan kita masih panjang sepertinya..” Rhe menarik nafas panjang. “Oh iya, drop aku di rumah sakit, ada urusan pribadi,” Rhe meminta Galang mengantarnya. “Perlu aku temani?” Galang penasaran. “TI-DAK!” Rhe tersenyum. Galang hanya diam.
***
Rhe tiba lebih awal di rumah sakit, sekarang pukul 11.30 siang. Inka sedang dalam perjalanan. Rhe memesan secangkir kopi dan mencoba menenangkan perasaannya. Semoga tidak ada emosi dalam percakapan mereka, pikirnya.
Tiba-tiba saja, sosok lelaki itu duduk di hadapannya. Tidak ada senyum ataupun sapaan, hanya diam dan menatapnya tajam. Rhe balas menatap wajahnya yang tampan dan terlihat dingin. Ada sedikit rasa tegang merasuk di hatinya.
Barra menatapnya tajam, “Jadi, apa ceritamu? Kamu tentu tahu apa yang kamu lakukan tidak beda jauh dengan pemalsuan identitas bukan? Atau malah mengarah ke penipuan? Aku tidak menyangka seorang polisi bisa bertindak seperti ini?” Rhe merasa kesal dengan gayanya, ini lelaki memang menyebalkan!
Tapi, Rhe tidak ada pilihan lain selain minta maaf, “Maafkan aku.. Ini salah.”