8: Tahap 2: Aku Harus Diet!

1053 Kata
Bagian baju sudah. Tinggal nanti yang perlu dipermak akan kubawa ke tukang jahit untuk diperbaiki. Lalu para pelayan yang kuminta untuk memilih skin care dan make up kadaluarsa juga sudah. Bahkan ada beberapa bedak yang remuk tapi masih saja disimpan. Tiff ... Tiff .... Bukannya mau body shamming, tapi kalau dia memakai semua peralatan yang tidak layak pakai ini, pantas saja wajahnya berjerawat. Aku hanya bisa menggelengkan kepala saat mengetahui tak ada satu pun skin care ataupun make up yang layak digunakan. “Kalau sudah selesai, tolong bantu aku memeriksa aksesoris dan jam tangan ini ya.” Aku meminta pada mereka yang masih membersihkan tempat make up yang sudah kosong. “Oh, ya. Nama kalian siapa?” tanyaku pada mereka. “Saya Anggun, Nyonya.” “Kamu?” Kualihkan pandangan pada yang satunya lagi. “Saya Nira.” “Ouh ....” Aku membulatkan mulut. “Baiklah, kalau begitu mulai sekarang kalian berdua akan kujadikan sebagai pelayan pribadiku. Bagaimana?” Mereka hanya diam, dan aku pun hanya mengedipkan mata. Aduh, Tiffany! Asal saja ngomong, di rumah ini semuanya diatur mamanya Kak Arthur, kenapa aku tiba-tiba ngomong begitu? Bagaimana kalau mama Kak Arthur semakin membenci Tiff? Kuketuk lagi bagian kanan kepalaku menggunakan pangkal telapak tangan. Seraya aku ucapkan kata ‘bodoh’ berulang kali. Mungkin sekarang para pelayan itu melihat istri dari anak majikannya ini aneh. “Anu ... Nyonya Tiff, sebenarnya kamu bersepuluh semuanya pelayan pribadi Nyonya. Namun karena nyonya tak suka dengan hasil pekerjaan kami, sehingga kami tak mengurusi keperluan Anda. Tapi ... Anda juga tidak mau memecat kami, sehingga kami pun bekerja di lantai satu untuk berbagi tugas apa saja yang bisa dikerjakan.” “Uhuk! Uhuk!” Aku tersedak sendiri. “Apa? Sepuluh orang? Aku tidak salah dengar?” tanyaku untuk memastikan. Mereka berdua menggeleng. “Kami sepuluh orang ini diutus oleh Tuan Banu untuk menjadi pelayan pribadi Anda.” “Ah, sepuluh terlalu banyak. Aku hanya butuh kalian berdua. Boleh?” ujarku lagi. Mereka pun tersenyum mengangguk. “Terima kasih, Nyonya.” Keduanya mengucapkan terima kasih, namun ekspresinya terlihat tak suka. Aku bisa melihatnya. Tak lama kemudian, semua sudah selesai dipisahkan. Aku juga turut andil dalam membereskan ruangan ini. Menyapu, mengepel, mengelap kaca dan membersihkan sarang laba-laba di beberapa sudut ruangan ini. Jika dibersihkan, sungguh kelihatan mewahnya. Aku hanya bisa berdecak kagum atas apa yang dimiliki oleh Tiff. “Wow! Ruangan ini benar-benar mewah jika dibersihkan.” Aku bertepuk tangan. “Jadi tugas pertama yang aku berikan pada kalian adalah membersihkan ruangan ini setiap hari, pastikan ruangan ini tetap bersih. Ok!” Mereka berdua mengangguk. “Baik, Nyonya.” Sekarang PR ku adalah tinggal melakukan permak pada baju dan membetulkan aksesoris dan jam tangan yang rusak. Aku tidak tau harus ke mana membersihkan barang seperti ini, karena sepertinya ini barang mahal. Pasti tidak mungkin sembarangan outlet yang bisa memperbaikinya. Memangnya jam tanganku yang cukup diperbaiki oleh kakek-kakek tukang servis jam tengah jalan. Sepertinya tidak. “Sekarang perlu apa lagi, Nyonya?” tanya Nira padaku. Aku menatap pada keranjang baju yang perlu dipermak. “Baju-baju ini! Kalian tahu tukang jahit mana yang bisa memperbaikinya?” Mereka menatap keranjang itu lalu menatapku. “Nyonya? Anda tidak salah?” “Kenapa?” Aku heran, memangnya apa yang salah? “Baju ini buatan butik ternama, apa Anda serius mau mempermaknya di tukang jahit biasa?” * Kenapa mereka semua melihat Tiff seperti ini, memandang seorang Tiff dengan sangat tinggi. Lalu di sisi lain mereka juga takut pada wanita bertubuh bongsor ini. Sering menghindari pandangan, takut untuk diajak bicara, yang tadinya bercanda langsung mendadak serius seketika bila ada aku datang. Maksudnya, aku dalam tubuh Tiff ini datang. Bagaimana selama ini mereka melihat Tiff? Sudah satu minggu berlalu dan aku sudah melalui berbagai macam hal di rumah ini. Mulai dari hinaan tetangga, ucapan sinis dari ibu mertua, sikap dingin dari suami. Bahkan Adrienna, sahabatku ketika aku menjadi Tiffany pun berlagak acuh padaku. Dia tak peduli sama sekali pada kakak iparnya sendiri. Tunggu! Apakah jika pada tubuh asliku, Adrienna akan peduli. Apa dia pernah menjengukku yang sedang koma di rumah sakit? Bagaimana jika aku mengajaknya untuk menjenguk tubuh bersama-sama? Ah, aku penasaran bagaimana dengan arwah Tiff? Apa dia masuk ke tubuhku? Apa dia marah aku menggunakan semua yang ia miliki? Kini aku sedang duduk di kursi makan dan menikmati jus herbal pelangsing milikku. Dulu aku sangat mendambakan bisa rutin meminum ini, tapi apa daya, ini semua harganya satu paket untuk 30 hari mencapai tiga juta. Tapi dengan kartu debit milik Tiff yang nol nya sampai sepuluh buah ini, aku bebas membeli apa saja. Belum kartu kreditnya yang baru aku tau ternyata bisa digunakan tanpa batas. Aku penasaran sebenarnya, Tiff ini sekaya apa orang tuanya? “Ah, jus ini segar sekali.” Tetes terakhir itu biasanya yang paling nikmat. “Ini sarapannya Nyonya Tiff.” Makanan ini tidak dimasak oleh koki di rumah. Melainkan aku mengikuti program diet enak dan sehat di ‘fit and health kitchen’. Mereka akan mengirim makanan yang telah sesuai dengan kalori yang dibutuhkan oleh tubuhku di setiap jam makanku. Beruntungnya Tiff menulis semua pin kartu debit dan kartu kreditnya, sehingga aku bisa mengakses semua uang milik Tiff. Tak apa Tiff, aku menggunakan ini semua juga untuk dirimu. Bukan untukku. Selalu seperti itu yang terlintas dalam otakku ketika aku merasa bersalah telah menghabiskan uang milik Tiff. Dalam satu minggu ini aku telah menghabiskan puluhan juta uang miliknya. Ya, kalau dibanding uang Tiff keseluruhan maka jumlah ini tak ada apa-apanya. Lagipula, Tiff ini terlalu kaya untuk hidup hemat. Seharusnya aku yang jadi kamu Tiff. Aku, kan, boros. Haha. Aku bangga dengan keborosan ini. Saking asyiknya senyum-senyum sendiri, para pelayan menatap aneh padaku. Aku pun melempar senyum pada mereka. Masa bodoh dengan mereka yang menanggapku aneh. Setelah makan, waktunya aku kembali kamar. Sekarang adalah waktunya ... aku menimbang berat badan. Huuuft! Rasanya deg-degan bagai hendak mengikuti ujian masuk universitas. Kemarin malam aku menimbang badan ini dan muncuk angka 119,8 kg. Maka sekarang, aku berharap bisa turun lagi. Ngomong-ngomong, timbangan digitalnya juga ini aku beli loh. Hihi. Tiff mana punya barang seperti ini, padahal ini benda keramat terjujur yang akan membantu proses dietnya. “Dududududu.” Senandung terlantun sambil aku menapakkan kedua kaki di atas timbangan. Aku memejamkan mata dan membukanya sedikit demi sedikit. 119,7 kg. “Horeeeeeeeeee!” “Nyonya Tiff! Nyonya Tiff! Ada apa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN