“Anggun …!”
Berteriak aku sambil melonjak dan memegang pundaknya. “Ah, sorry.” Baru aku sadar jika gadis di depanku ini tubuhnya jauh lebih kecil dari tubuh Tiff.
“Kenapa, Nyonya? Kenapa?” tanya Nira yang berdiri di samping Anggun.
“Berat badanku ....”
“Iya, kenapa?”
“Berat badanku .... Kalian tahu?”
“Berat badannya Nyonya kenapa?”
“Berat badanku turun 1. Hahahaha!” Ini bagai prestasi yang menakjubkan untukku.
“1 kg maksudnya, Nyonya?” tanya Anggun lagi.
“1 ons, sih,” ralatku.
“Oh, iya. Selamat, ya.”
Aku menyebikkan bibirku. “Iya, aku tau. Satu ons itu belum terlalu signifikan. Tapi kalau aku mengubah kebiasaan dan pola makanku. Maka berat badanku akan semakin berkurang dan aku berhasil memiliki tubuh langsing suatu saat nanti.” Itu yang menjadi cita-citaku.
“Iya, Nyonya Tiff. Kami akan mendukung program diet, Nyonya.” Nira mengacungkan dua jempol untukku. “Sekarang Nyonya sudah banyak berubah. Kami menyukai Nyonya yang sekarang.”
Melongo, memang aku yang dulu seperti apa? Maksudnya, Tiff yang dulu. “Memangnya ... dulu aku bagaimana menurut kalian?”
Mereka berdua saling bertatapan seakan tak berani menjawab pertanyaanku.
“Ah, katakan saja. Aku janji untuk tidak tersinggung.” Aku menunjukkan simbol peace menggunakan dua jariku.
“Jadi ....” Mereka berdua saling menyenggol satu sama lain. “Kau saja, ah!”
“Kau saja.”
“Ah, kalian ini.” Aku menggelengkan kepala. Sepertinya Tiff yang dulu benar-benar memiliki perangai yang buruk serta tak mau mendengar pendapat orang. Hal itu sangat terlihat dari sikap para pelayan kepadaku saat ini. “Katakan saja, ayo Anggun! Mulai dari kamu.”
Kutunjuk salah satu dari mereka. Lalu akhirnya Anggun pun terpaksa membuka mulutnya. “Emmm ... Nyonya Tiff dulu tak pernah terlihat ceria. Nyonya jarang tersenyum dan selalu marah. Nada bicara Nyonya juga ... maaf, agak menyebalkan.”
“Agak menyebalkan apa sangat menyebalkan? Jujur saja.” Aku menuntut pada Anggun untuk mengucapkan sejujurnya.
“Ah, sangat menyebalkan,” celetuk Nira.
“Sssh!” Anggun menyenggol siku kawannya.
“Ah, tidak. Hanya sedikit menyebalkan maksudku, Nyonya Tiff.” Nira pun meralat ucapannya yang membuat aku terkekeh.
“Haha, sudah kubilang jujur saja. Jika aku sangat menyebalkan pada kalian. Aku minta maaf. Aku akan mengucapkan pada semua pelayan juga jika aku minta maaf akan segala perbuatan buruk yang pernah aku lakukan.”
Anggun dan Nira menganga sambil melihatku. Lalu mereka menggelengkan kepala. “Ah, Nyonya Tiff tidak melakukan kesalahan. Kami saja yang terlalu dibawa perasaan.”
“Tidak. Aku tau bagaimana aku dulu seperti apa. Jadi aku akan tetap minta maaf pada kalian. Kalian sudah seminggu bersamaku, kan? Pasti kalian tahu jika aku banyak berubah.”
Tiff, maafkan aku. Sepertinya aku harus mengambil tindakan ini. Demi aku yang bisa hidup nyaman dalam tubuhmu. Maka mau tidak mau, aku harus meminta maaf pada orang-orang yang ada di sini.
Mereka hanya diam tak menanggapi, namun aku melihat ada binar mata haru dari keduanya.
“Jadi kalian mau memaafkan aku?” tanyaku pada mereka berdua.
Lalu sontak Anggun dan Nira menganggukkan kepala mereka hingga akhirnya aku merengkuh mereka berdua dan kami bertiga pun berpelukan.
Tiba-tiba saja, mata ini ingin menangis. Seakan ada rasa haru yang terbersit dalam hati, apakah perasaan bahagia ini milik Tiff?
Selama ini aku tak pernah memiliki seorang teman.
Tunggu!
Sontak aku melepas pelukanku pada mereka berdua.
“Kenapa, Nyonya? Kami minta maaf.”
“Maafkan kami yang sudah lancang.”
Mereka berdua terlihat panik.
Aku pun menggelengkan kepala. “Bukan begitu. Kalian dengar suara lain di telinga kalian?”
Kali ini mereka berdua yang menggeleng.
“Oh, mungkin karena aku terlampau bahagia. Karena, selama ini aku tak pernah memiliki seorang teman.”
Ya, mungkin kalimat itu yang ingin Tiff katakan. Apa arwahnya sedang berada di sekitar sini? Seketika bulu kudukku merinding sambil aku menengok kanan dan kiri.
Suara pintu kamar dibuka, kami bertiga yang sedang mengobrol di ruang walk in closet milik Tiff pun langsung panik.
“Itu Mas Arthur!” Anggun dan Nira menunjuk keluar.
“Memang kenapa? Dia di luar ini.” Aku menanggapinya dengan santai.
“Nanti kalau dia marah karena tahu kita berdua di sini bagaimana, Nyonya?” tanya Nira.
Aku merenung. Iya, juga. Aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau mereka berdua dimarahi karena aku. “Ya, sudah! Kita selesai saja hari ini. Besok jadwalku kuliah, aku gugup sekali.”
“Tapi, Nyonya ....” Mereka terlihat berat untuk melangkahkan kaki.
“Kenapa lagi, Nira?”
“Jadi ... kami takut untuk keluar ruangan ini.” Nira bersembunyi di belakang Anggun.
“Aish, Nira.” Anggun menyenggol lengan kawannya itu.
“Aku yang akan mengantar kalian ke luar.”
Suara orang beraktivitas di luar terdengar. Pasti Kak Arthur sedang melakukan sesuatu di sana.
“Ayo keluar!” ajakku pada mereka berdua.
“Tiff?” Dari luar terdengar suara memanggilku.
“Ah, iya. Sebentar lagi, Kak.” Aku berteriak.
“Ayo!” Aku mengajak keduanya keluar. Perlahan kuputar tuas pintu ini dan terbukalah.
Kak Arthur sudah terlihat menjauh dari pintu, akhirnya aku membawa mereka berdua keluar dari ruang milikku. Sempat sang ketua itu menoleh pada kami, namun segera membawa Anggun dan Nira keluar. Tampak dia tak peduli yang kulakukan.
“Terima kasih untuk hari ini.”
“Ok, Nyonya. Sama-sama.” Tampak menyenangkan karena kini aku mulai akrab dengan mereka berdua.
Aku kembali masuk ke kamar dan melihat Kak Arthur membaca salah satu buku kuliah kami. Ah, itu buku Kimia Organik yang sangat mahal. Kak Arthur memiliki versi original dari buku tersebut.
Biasanya dia memutarkan klip lagu keroncongan tanpa musik jika sedang membaca buku. Tapi setiap ia membaca buku di rumah, Kak Arthur tak pernah menyetel musik apa pun. Apa ia tak suka mendengarkan musik jika di rumah?
“Sedang apa kau?” Kak Arthur bertanya padaku yang sedang mematung di tepi ranjang. Aku sedang menatapnya yang membaca buku sambil bersandar di sofa.
“Aku ... hanya memikirkan sesuatu. Tidak penting.” Segera aku naik ke ranjang dan membuka ponsel milik Tiff. Mencari lagu-lagu kesukaan Kak Arthur yang merupakan ciptaan sang maestro keroncongan Jawa.
“Mau kuputarkan musik?” tawarku padanya.
Pria dengan surai rambut agak panjang itu mengabaikan tawaranku.
“Aku baru saja mengunduh satu lagu yang irama sangat menenangkan untuk didengar. Apa kau tidak keberatan jika aku memutarnya?” tanyaku berbasa-basi. Padahal yang aku unduh adalah musik kesukaannya.
“Terserah kau saja! Berhenti mengajakku bicara.” Jawabannya sungguh dingin. Kak Arthur memang seperti itu, bahkan di organisasi pun dia memiliki julukan sebagai ketua yang sangat irit bicara pada anggotanya.
Namun siapa sangka, pria irit bicara tersebut menyukai lagu yang seperti ini.
Segera kuputar lagu keroncongan kesukaannya, suara dari alat musik gamelan yang membawakan lagu ‘nyidam sari’ pun mengalun. Diawali dengan seruling yang begitu lembut, diikuti dengan suara dari gamelan lain yang begitu padu membentuk irama merdu yang menenangkan hati.
Ketika aku menjadi Tiffany dulu, aku sering mendengar lagu ini. Aku tak begitu tahu arti dari lagu Jawa ini, namun Ketua Arthur saat itu dengan senang hati menerangkannya padaku. Lama kelamaan aku menikmati iramanya dan menyukai lagu ini.
Tiba-tiba saja Kak Arthur menutup bukunya dengan sangat keras. Dia menoleh dan menatap padaku dengan tajam.
“Kau terganggu?” tanyaku. Hal ini tak biasa terjadi. Kak Arthur selalu menikmati lagu keroncongan Jawa.
Namun ternyata bukan karena itu. Dia mendekat padaku.
Aku menelan ludah. Kenapa dia tiba-tiba mendekati aku? Oh, Tuhan. Aku gugup.
Dia melangkah lagi hingga kaki Kak Arthur menempel di tepi ranjang. Apa Kak Arthur menginginkan tidur bersama? Kak Arthur dan Tiff sudah menikah, apa mereka sering melakukan ‘itu’, bagaimana jika Kak Arthut meminta padaku? Oh, tidak! Aku memejamkan mata.
Dapat kurasakan Kak Arthur semakin dekat dengan diri ini.
“Kau!” Telunjuknya berada tepat di depan wajahku. “Apa yang sudah kaulakukan pada Tiffany?”