Chapter 5 - Si Medusa

1963 Kata
Happy Reading ***** Dengan perasaan yang masih tak karuan, Noah memilih kembali ke department kepolisian untuk menunggu hasil lebih lanjut, kasus ini sengaja di ambil alih oleh pihak lain dengan alasan Noah akan berbuat tak semestinya pada pelaku jika tetap Noah yang menyelidiki. Memang sialan orang-orang itu, apalagi si tua bangka Romi. Noah jengah dengan orang itu yang malah makin memanas-manasi keadaan. Sebenarnya Noah tak apa jika tak menanganinya, ia hanya tak terima pelaku berbuat keji kepada korban, dan ingatan pembunuhannya benar-benar masih terekam jelas di otaknya. Noah pastikan tetap akan bersitatap langsung dan menghajar pria b******k itu nanti, ia tidak perduli jika dirinya akan mendapat sanksi atau apalah itu setelahnya. Aisshh, kenapa pula pria b******k itu memilih mencoba bunuh diri dengan menyuntikan banyak bahan adiktif sekaligus, dari pada di tangkap polisi, kalau saja pria itu tak sekarat ia sudah melayangkan banyak pukulan tadi. "Aisshhh.." desis Noah dengan tangan yang mengacak rambutnya kasar. Aben yang melihat kelakuan teman se-timnya itu hanya bisa menggeleng pelan, Noah selalu seperti ini, bukannya malah bagus jika dia tak banyak pekerjaan yang harus di urus? "Makan saja makananmu," ucap Aben sambil memakan makanan favorit yang dia pesan _tinggal beberapa suap itu_. Saat ini mereka _Noah dan Aben_ memang tengah menyantap makan siang yang sudah di rangkap menjadi sore, di sebuah tempat makan depan departemen kepolisian mereka. "Jika kau tak nafsu makan, aku sih tak masalah," Aben tersenyum culas melihat makanan penuh tak tersentuh milik Noah, jadi tangan kanannya dengan lihai mulai bergerak hendak mengambil beberapa daging yang nampak menggiurkan di matanya itu. Takk.. Sebelum Aben berhasil mendapat apa yang ia inginkan, nyatanya sendok Noah memang lebih dulu bergerak untuk mengetuk tangan tidak tau diri Aben cukup keras. "Ishh.. Sakit." Aben meringis kesakitan, seraya menarik tangan kanannya untuk di tiup agar sedikit mengurangi rasa sakit. "Jangan harap bisa menikmatinya." Noah menatap tajam Aben, mood-nya sedang buruk, tapi pria di depannya ini malah berani-beraninya hendak mencuri makanan kesukaannya. Nyatanya meski Noah se-kesal dan marah apapun saat ini ia tetap membutuhkan makanan untuk mengisi perutnya yang sedari pagi belum terisi apapun kecuali air putih itu. "Cih, padahal kau sendiri yang tak berniat memakannya," cibir Aben melihat Noah yang mulai menyendok kan sesendok penuh makanan lengkap dengan lauk pauk ke delam mulut. Jari telunjuk Noah terangkat ke depan, memberi intrupsi Aben agar menutup mulutnya yang sepertinya bergerak-gerak terus mencibir. "Tak bisakah kau mengatakan pelan-pelan tanpa harus memukul tanganku?" Dengan mulut yang penuh makanan dan kepala tertunduk Noah menggeleng menjawab pertanyaan Aben. "Aishh, kau ini. Harusnya kau memberi kompensasi atas rasa sakit di tanganku ini, sepiring nasi ayam atau nasi daging begitu," ucap Aben mencoba memberi kode keras kepada Noah agar mentraktirnya, saat ini Aben memang merasa cukup lapar jadi sepiring makanan yang ia santap tadi terasa hanya menyentuh sudut lambungnya. Tapi karena ia sedang berhemat demi membayar cicilan mobil barunya ia harus menahan nafsu makannya. Dengan mulut penuh makanan pandangan Noah terangkat, ia mulai berucap meski sedikit tidak jelas sebab mulutnya terisi penuh, "Jwangan mhemerhasku." Noah tau jika ketukannya di tangan Aben tidak sekeras itu, pria itu saja yang lebai-nya keterlaluan. "Aku tak memerasmu cih, percaya diri sekali kau ini. Aku tak mau tau kau harus mentraktirku, tanganku sakit sakit sekali awsss." Aben kembali meniup tangannya kembali yang memang sedikit memerah itu. Noah hanya membalas Aben dengan sebuah dengusan pelan, sekali lagi tanpa mengangkat kepalanya dari atas mangkok. Noah tengah meluapkan kekesalannya kepada makanan yang hanya tersisa setengah itu. Aben sendiri yang hanya mendapat respon dengusan tentu saja matanya berbinar terang. Aben tau betul dengan Noah, jika pria itu tak menolak dengan kata-kata berarti dia sudah mengiyakan, Noah itu bergengsi tinggi jadi jangan harap mendengar kata 'ya' secara langsung, paling-paling pria itu mengiyakan sambil mengejek tak karuan. "Waw tak ku sangka kau akan begini. Baiklah aku akan memesan lagi, emm ...," Aben bangkit dari tempatnya cepat, lalu melanjutkan ucapannya lagi, "dengan tambahan dua potong ayam, okay." Suara Aben memang memelan tapi telinga Noah masih sangat-sangat normal sehingga ia dapat mendengarnya dengan jelas. "Heiii.." Teriakan Noah sama sekali tak terdengar di pendengaran Aben si tak tau diri, karena memang Aben sudah melesat menjauh hendak memesan makanan. "Cih, dasar. Sudah tau miskin tetap saja membeli mobil-mobil tak berguna seperti itu." Walaupun ejekan Noah terdengar sangat kasar dan akan menyakitkan jika sampai Aben tau, tapi nyatanya itu sudah menjadi hal lumrah di antara mereka, Noah selalu mengatakan Aben miskin meski tapi memiliki rumah bagus dan mobil sport bermacam-macam, memang kalau Aben sudah memiliki tujuan pria itu sering kali memepet-mepetnya untuk mentraktir atau apa. Tapi jangan salah, Aben tidak se-tak tau diri itu sebagai teman yang hanya memanfaatkan, Aben juga sering berbalik untuk mentraktir Noah jika memiliki uang lebih. Tuk.. Tuk.. Tuk.. Suara langkah kaki yang timbul sebab ketukan antara hak sepatu dengan lantai keramik berhasil mengalihkan fokus Noah dari makanan dan gerutuan-nya pada Aben menjadi ke arah si pembuat suara. Noah jelas sudah sangat familiar dengan suara itu, makanya ia langsung hilang fokus saat mendengarnya. Tuk.. Tuk.. Tuk.. Langkah kaki itu sepertinya sudah makin mendekat saja seiring dengan suara yang makin terdengar keras di sana. Jika suara itu berasal dari 'dia', Noah benar-benar tak siap bertemu, mood nya sekarang bisa dibilang tengah hancur-hancurnya, jadi ia tak mampu jika harus di perburuk oleh kedatangan dia. Tuk.. Tuk.. Tuk.. Noah yang membelakangi pintu sengaja tak mau bergerak menoleh mengecek, ia takut jika ternyata dugaannya benar, dia datang, dan Noah tak ingin di ejek hanya karena menoleh penasaran. Langkah kaki itu tiba-tiba berhenti, namun seolah berhenti tepat di belakang tempat duduk Noah. Noah yang tak tahan sebab penasaran pun hendak menolehkan kepala untuk mengecek keadaan, hanya saja sebuah suara yang terdengar sama familiarnya dengan ketukkan langkah kaki membuatnya mengurungkan niat. "Waw, sama sekali tak berubah." Nada ucapan memang terdengar riang dan kagum, hanya saja Noah jelas tau jika itu bermaksud bermaksud ejekan yang sengaja di lontarkan kepadanya. Noah memegang sendok di tangan kanannya erat-erat, darahnya mulai mendidih hanya karena mendengar suara saja. Tuk.. Tuk.. Tuk.. Awalnya Noah bersyukur suara langkah kaki yang kembali terdengar ia kira menandakan jika dia memutuskan pergi, tapi ternyata Noah salah besar, dia malah berjalan makin mendekatinya dan dengan tanpa persetujuan Noah, dia duduk begitu saja di tempat yang tadi sempat di duduki Aben. Dia duduk dengan gaya anggun macam medusa tepat di depan Noah, bibirnya yang tersenyum culas membuat Noah berdecak muak. Orang ini, wanita ular yang selalu menjadi orang pertama alasan Noah marah tanpa sebab. "Pergi!" "Ei, aku baru saja duduk, dan kau mengusirku? Ck, ck, ck, pria yang tak gentle bagi wanita cantik sepertiku." Senyum miringnya malah makin lebar melihat wajah Noah yang memerah. "Rilla!" Noah tak tahan, tapi ia hanya mendesis dengan suara rendah yang menusuk. "Apa?" Wanita yang tak ada takut-takutnya dengan kemarahan Noah yang siap meledak itu sengaja bertanya penuh ejekan di raut wajahnya. Wanita itu, Rilla, memang musuh bebuyutan Noah sejak lama, bisa dibilang sudah menjadi konsumsi publik jika Rilla adalah rival nomor 1 Noah. Dan semua persaingan antar keduanya beberapa tahun ini hanya berlandaskan masalah sepele yang hanya mereka berdua saja yang tau. Rilla itu wanita cantik dan elegan namun siapa sangka jika dia adalah seorang detektif handal, bisa di bilang sebelas dua belas dengan Noah. Rilla itu sangat-sangat jahat hanya kepada Noah, sisi medusa-nya hanya ia tunjukan kepada Noah dan para pelaku kejahatan yang tidak tau diri. Dan beberapa minggu terakhir Noah baru merasakan hidupnya sedikit lebih tenang dan tentram karena wanita medusa ini di pindah tugaskan sementara di distrik lain, akan tetapi Noah tak menyangka jika dia kembali begitu cepatnya, rasanya Noah ingin mengusir wajah menyebalkan itu sekarang juga. "Ku dengar kau tetap memukul mereka? Hm." Dengan tanpa permisi Rilla mengambil minuman Noah yang sudah tersisa setengah itu lalu meminumnya sedikit menggunakan sedotan yang tentu saja bekas Noah. Sudah dipastikan Noah shock dengan kelakuan lancang Rilla, tapi ia harusnya ingat jika Rilla 100% medusa. Jadi Noah harus mengalah dan tetap diam berusaha tak tersulut. "Kau, lebih baik kau pergi!" Noah kembali berucap pelan masih dengan suara rendah. Mencoba menyampaikan kepada medusa ini kalau kemarahannya sudah hampir menyentuh ujung. "Aku hanya menyapa, kenapa kau begitu sensi. Ah, aku tau, apa karena kau tak memukul pelaku hari ini, ck,ck, ck, Detektif Roni tak seharusnya mengambil alih tugas mu." Jangan salah sangka, Rilla sama sekali tak turut berbelas kasih terhadap Noah, lagi-lagi wanita itu sebenarnya tengah mengejek. Genggaman kedua tangan Noah makin mengerat dengan satu di antaranya memegang sendok. "Apa tujuanmu kemari?" Cukup, Noah benar-benar muak. "Aku? Hm sudah ku bilang menyapa. Setelah hampir lima minggu tak bertemu, ku kira kau akan sedikit berubah, tapi melihat kekacauan sejak pagi sudah membuktikan kalau kau tetap sama saja, pria dungu." Rilla sedikit tertawa di akhir kalimatnya, membuat Noah kesulitan meredam kemarahan. "Kau," "Ups, sorry aku tak bermaksud berkata jujur. haha." Sekarang wanita itu malah tertawa terang-terangan di depan wajah Noah. "Pergi!" Noah tak main-main, ia takut lepas kendali terhadap medusa ini jika terus memancing dan berada di hadapannya. "Stt, santai sedikit dong, aku akan pergi, tenang saja. Aku pergi dan mengambil alih semua tugas, dan dengan begitu lencana tahun ini akan menjadi milikku lagi." Rilla menunjukkan smirk-nya saat Noah menatapnya tajam, Rilla suka melihat wajah Noah memerah padam seperti itu, menggemaskan, macam boneka chucky. "Si*l." umpat Noah dengan batas kesabaran yang tersisa sedikit. "Ck, Baiklah, aku sudah cukup, aku pergi." Rilla benar-benar bangkit dari tempatnya, tapi wanita itu tak langsung pergi begitu saja dan malah terdiam seraya melihat Noah yang masih menatapnya tajam. "Ah tunggu sebentar." Gumam Rilla yang tak bisa dikatakan pelan itu sehingga Noah dapat mendengarnya. Deg.. Jantung Noah secara tiba-tiba sontak berpacu lebih cepat, tepat ketika wanita medusa ini malah mencondongkan badannya ke depan mendekat pada Noah. Kedua mata Noah membulat sempurna, nafasnya bahkan seolah berhenti saat jemari lenting Rilla terangkat dan menyentuh sudut bibir Noah perlahan. Noah meneguk ludahnya susah payah, tak dapat bergerak maupun mengeluarkan sepatah katapun. Apa-apaan wanita ini? Saking shock-nya dengan kelakuan random Rilla, Noah sampai tak sadar jika wanita itu sudah memundurkan diri sehingga tak sedekat itu lagi dengannya. "Ini," Rilla meletakkan satu biji nasi di atas meja, rupanya wanita itu mendekat tadi untuk mengambil sebiji nasi yang tersisa di samping sudut bibir Noah. "Aku baik bukan mengambilkannya untukmu," ucapnya dengan di akhiri senyum set*n. "Aku pergi." Setelahnya Rilla pun benar-benar pergi dari sana, tak lupa dia juga memberikan satu kedipan mata centil nan mengejek kepada Noah yang masih setia mematung dengan keringat dingin yang bermunculan. "Sampai jumpa." Beberapa saat berlalu, dan wanita medusa itu sudah benar-benar menghilang dari hadapannya itu pun, membuat Noah langsung mengepalkan kedua tangan makin erat saja. "Ada apa?" tanya Aben yang baru saja tiba dari kamar mandi, ia tadi tak hanya memesan makanan tapi memang hendak pergi kemar mandi. Tapi anehnya sekarang, suasana di sekeliling Noah nampak berbeda, seolah lebih hitam pekat dari sebelum ia tinggal. "Kenapa kau__" Brakkk.. "Tutup mulut baumu itu!" Noah menggebrak meja cukup keras secara tiba-tiba, yang mana hal itu sontak membuat Aben melongo. Bukan hanya karena terkejut dengan gebrakan meja, tapi juga karena ucapan pedas Noah. Heh! Mulut siapa yang bau? Ingin sekali Aben membalasnya, tapi sebisa mungkin ia menahan, sebab ia tau betul jika mood buruk Noah akan makin menjadi. "Noah__" "Diam!" "Apa kesalahanku?" tanya Aben sangat pelan kepada dirinya sendiri. Ia menyesal membuka mulutnya kepada Noah. Saat Aben hendak duduk kembali di tempatnya tadi, tiba-tiba Noah malah bangkit berdiri dan pergi begitu saja dari sana. "Noah, Hya Noah." panggilan Aben sudah tak di gubris, Noah telah melangkah hampir sampai di depan pintu masuk. "Aishh, ada apa dengan tempramen si kunyuk itu." Aben jadi frustasi sendiri menghadapi macam mengamuk seperti itu. Eh, tunggu ..., Kalau Noah pergi, lalu siapa yang akan membayar makanan yang sudah ia pesan dan makanan yang Noah makan ini? "Aishh, sial!" Bukan untung tapi malah buntung, Ck. ***** TBC . . . . . Kim Taeya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN