Tubuh Bunga seketika gemetar setelah mendengar kalimat terakhir yang baru saja diucapkan oleh Askara Wijaya. Dia harus melayani pemuda itu malam ini? Sekujur tubuh Bunga terasa merinding, membayangkan tubuhnya di jamah dan di sentuh oleh seorang laki-laki membuat keringatnya pun seketika bercucuran membasahi pelipis wajahnya.
"Kenapa lo diem aja, Bunga?" tanya Aska menatap bibir Bunga yang terlihat gemetar. "lo udah berani ngebohongi gue, itu artinya lo udah berani menantang gue, Askara Wijaya!"
Aska diam-diam menahan senyuman di bibirnya. Lagi dan lagi, wajah Bunga terlihat begitu menggemaskan. Dia menatap setiap detail wajah gadis itu lekat, kecantikan alami yang terpancar dari wajahnya semakin membuat hati seorang Askara semakin terpikat.
"Maafkan aku, Tuan. Aku gak bermaksud buat ngebohongi Tuan," ujar Bunga lemah dan bergetar.
"Gak berniat gimana, jelas-jelas lo emang udah niat mau nipu gue. Lo pikir dengan lo ngebohongi gue, lo bisa lepas dari gue, hah?"
Bunga seketika mengigit bibir bawahnya keras, bahkan sangat keras hingga permukaan bibirnya terlihat memerah dan semakin menggemaskan di mata Askara Wijaya. Pria itu pun seketika memejamkan kedua matanya seraya memundurkan langkah kakinya sehingga terciptalah jarak di antara mereka. Bunga yang sempat menahan napasnya selama beberapa menit terakhir seketika menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Hingga suara hembusan napasnya terdengar samar-samar.
"Eu ... aku janji bakalan bayar hutang aku sama Tuan, tapi aku mohon jangan minta aku buat ngelayani Tuan," ucap Bunga lemah.
Aska tersenyum miring seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Sampai kapan gue harus nunggu uang lo kekumpul, Bunga? Butuh waktu yang nggak sebentar buat lo bayar utang itu!" sahut Aska kembali menatap wajah Bunga. "Lagian, apa si artinya sebuah kehormatan? Banyak ko wanita-wanita di luaran sana yang udah gak perawan di usia mereka yang bahkan lebih muda dari lo."
Bunga seketika tersenyum simpul. "Tuan mau tau arti sebuah kesucian bagi seorang wanita?" Bunga tegas dan penuh penekanan. "Entah wanita mana yang Tuan maksudkan tadi, mereka menganggap kesucian hal yang biasa bahkan tidak segan memberikannya kepada laki-laki tanpa berpikir panjang, tapi bagiku, kesucian adalah mahkota, kehormatan dan harga diri seorang wanita. Hanya satu orang yang berhak menurunkan mahkota itu, yaitu suamiku kelak."
Aska diam seribu bahasa seraya menatap lekat wajah Bunga. Sebegitu gigihnya wanita ini mempertahankan kesuciannya hingga dia berani membohongi dirinya malam tadi? Hal tersebut berbanding terbalik dengan mantan kekasihnya di luaran sana yang dengan suka rela menyerahkan apa yang disebut oleh gadis ini sebagai mahkota, kehormatan dan harga diri sebagai seorang wanita.
"Sekeras apapun Tuan berusaha untuk memintaku melayani Tuan, maka sekeras itu juga aku akan berusaha untuk menolak. Kecuali--" Bunga menahan ucapannya balas menatap wajah Aska.
"Kecuali apa?" Aska seketika dilanda rasa penasaran.
"Kecuali kalau Tuan jadi suamiku, maka aku akan menyerahkan segenap jiwa ragaku, bukan hanya kesucianku saja yang akan aku serahkan secara cuma-cuma, tapi hidupku pun akan menjadi milik Tuan, tapi ..." Bunga kembali menahan ucapannya sejenak. "Hal itu mustahil terjadi, sangat-sangat-sangat mustahil karena aku dan Tuan adalah dua manusia yang terlahir berbeda. Kita itu seperti bumi dan langit!" tegasnya lalu berjalan melintasi Aska begitu saja.
"Kenapa mustahil? Gak ada yang mustahil di dunia ini," tanya Aska mengikuti Bunga dari arah belakang.
Gadis itu sama sekali tidak menanggapi pertanyaan majikannya yang terlihat begitu penasaran. Pernyataan demi pernyataan yang baru saja diucapkan dengan begitu jelas dan gamblangnya tidak pernah dia rencanakan sebelumnya. Semua itu terjadi begitu saja.
"Tunggu gue, Bunga. Jawab dulu pertanyaan gue." Aska terlihat begitu penasaran terus saja mengejar. "Woy! Gak ada mustahil di dunia ini, termasuk--" Aska seketika menahan ucapannya karena Bunga yang berjalan tepat di depannya tiba-tiba saja berhenti lalu berbalik.
"Termasuk apa? Termasuk aku dan Tuan? Kenapa Tuan jadi penasaran kayak gini?" tanya Bunga tersenyum cengengesan. "Apa jangan-jangan Tuan menganggap serius apa yang aku katakan tadi?"
Aska diam seribu bahasa seketika merasa gugup.
"Ucapan aku itu jangan di anggap serius, Tuan. Astaga! Tuan orangnya geeran ternyata," decak Bunga lalu melanjutkan langkahnya.
"Gue kegeeran sama pembokat kayak dia?" Gumam Aska seraya menatap punggung Bunga yang perlahan mulai menghilang di balik tembok. "Akh! Bener-bener keterlaluan si Bunga itu? Dia pikir gue suka gitu sama dia? Hahahaha! Mana mungkin seorang Askara Wijaya menyukai seorang pembantu? Ada-ada aja," decaknya seraya menggeleng-gelengkan kepala mencoba untuk menyangkal perasaan aneh yang sebenarnya mulai mengusik ketenangan jiwa seorang Askara.
Sementara itu, Bunga semakin mempercepat langkah kakinya hingga dia tiba di dapur. Gadis itu pun menoleh ke arah belakang dengan napas yang tersengal-sengal.
"Syukurlah Tuan Aska gak ngikutin aku," gumamnya seketika menarik napas lega. "Bisa berabe kalau aku terus diikuti sama dia. Jantung aku bisa copot nanti."
Bunga meletakan keranjang yang sempat ia bawa di atas lantai. Gadis itu pun meraih gelas kosong lalu mengisinya dengan air putih dan meneguknya kemudian.
"Woy, Bunga Bangkai," sahut Aska tiba-tiba saja sudah berada di belakang Bunga.
Bunga sontak memuntahkan minuman yang belum sempat ia telan dengan bola mata yang membulat sempurna merasa terkejut.
"Tuan apaan sih!" decaknya seketika mengusap ujung bibirnya yang benar-benar basah, begitupun dengan pakaian yang ia kenakan.
"Lo kalau ngomong jangan sembarangan ya, siapa bilang gue ke geeran sama lo, hah?" ketus Aska menatap sinis wajah Bunga.
"Astaga, Tuan. Itu lagi yang dibahas. Aku cuma bercanda, Tuan. Jangan di ambil hati, juskiding, Tuan. Juskiding!" jawab Bunga dengan logat khasnya.
"Hah? Hahahaha! Juskiding? Jus jambu kali!" seru Aska seketika tertawa nyaring. "Eh ... orang kampung kayak lo gak pantas ngomong bahasa Inggris."
"Ya gak apa-apa, biar aku orang kampung, tapi aku ngerti bahasa English, Tuan," protes Bunga seraya meletakan gelas di atas meja. "Udah akh, aku mau kerja, Tuan. Jangan ngikutin aku terus, nanti Tuan suka lho sama aku!"
Kedua mata Aska seketika membulat sempurna saat mendengar kalimat terakhir yang baru saja diucapkan oleh Bunga. Telapak tangannya pun seketika bergerak menoyor kening Bunga seraya menatap wajahnya sinis.
"Enak aja, lo itu bukan tipe gue, Bunga Bangkai. Sadar diri dong cuma pembokat rendahan juga."
Bunga seketika menghela napas kasar. Ucapan terlahir Aska benar-benar terdengar pedas juga menyakitkan. Apa yang salah dengan pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga? Pekerjaan tersebut lebih baik dibandingkan dengan mencuri atau menipu. Batin Bunga merutuki sang majikan.
"Sekarang buatin gue jus jambu terus bawa ke kamar gue," pinta Aska sinis.
"Hah? Ke kamar? Kenapa gak di minum di sini aja, Tuan?" tanya Bunga kesal, dirinya merasa risih jika harus kembali memasuki kamar sang majikan.
"Gue pengen minum jus di kamar dengan ditemani sama lo," sahut Aska penuh penekanan. "Lo gak lupa 'kan sama hutang lo sama gue? Inget, 35 juta atau layani gue di atas ranjang."
Bersambung