Bab 6. Dibodohi

1038 Kata
Aska segera membaringkan tubuh Bunga di ranjang besar miliknya. Sepertinya, gadis itu kehabisan oksigen membuatnya tidak sadarkan diri. Beruntung, Aska tidak terlambat membuka lemari. Jika ia terlambat sebentar saja, nyawa seorang Bunga bisa saja melayang. "Bunga bangun, lo kenapa?" tanya Aska seraya menepuk-nepuk kedua sisi wajah Bunga. Gadis itu masih tetap bergeming. Hanya suara helaan napasnya saja yang terdengar beraturan juga agak sedikit lemah. Meskipun begitu, Askara tetap saja dilanda rasa khawatir, dia memeriksa denyut nadi dipergelangan tangan Bunga hanya untuk memastikan bahwa asisten rumah tangganya itu masih bernyawa. "Syukurlah lo masih hidup," gumamnya seraya menarik napas lega. Aska menatap lekat wajah Bunga, kelopak mata gadis itu pun masih terpejam sempurna. Kulit wajahnya nampak putih dengan kedua sisi wajahnya yang tirus. Tatapan mata Aska tertuju kepada bibir merah muda yang sedikit pecah-pecah karena terlalu lama berada di ruangan yang kurang oksigen. Telapak tangan Aska perlahan bergerak menyentuh bibir tersebut seraya tersenyum ringan. "Sayangnya lo lagi datang bulan, kalo nggak, udah gue telen lo bulat-bulat," gumamnya tersenyum sinis. "Oke, malam ini lo selamat, tapi gue pastiin kalau gue bakalan cicipi tubuh lo ini, Bunga Bangkai!" Aska membiarkan Bunga terlelap di ranjang empuknya tanpa membangunkan gadis itu. Wajah Bunga benar-benar terlihat kelelahan. Pemuda itu pun seketika turun dari atas ranjang lalu berjalan ke arah kursi kemudian duduk dengan menyandarkan punggung berikut kepalanya di sandaran kursi. "Sial! Tubuh gue jadi gak enak gini gara-gara gagal belah duren," gumam Aska seketika memejamkan kedua matanya. *** Keesokan harinya tepat pukul 03.00, Bunga merentangkan kedua tangannya dengan mulut yang dibuka lebar. Gadis itu pun mengedipkan pelupuk matanya secara berkali-kali, seolah enggan untuk terbangun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kamar pembantu akan senyaman dan seempuk ini. Namun, gadis itu seketika terperanjat saya kedua matanya terbuka sempurna. "Astaga! Aku di mana?" gumamnya seraya menatap langit-langit kamar di mana lampu LED begitu terang menyilaukan mata. "Ini bukan kamar pembantu!" Bunga seketika bangkit lalu menatap sekeliling dengan perasan berkecamuk. Mengapa dirinya masih berada di kamar sang majikan? Gadis itu pun mengintip ke dalam selimut di mana pakaiannya masih lengkap membalut tubuhnya. "Kenapa aku masih ada di sini? Astaga!" decaknya seketika bangkit lalu duduk tegak. "Apa yang terjadi sama aku? Ya Tuhan, Tuan Aska gak ngapa-ngapain aku, 'kan?" Bunga kembali bergumam seraya menoleh dan menatap wajah Askara Wijaya yang nampak terlelap dalam posisi duduk di sofa. Bunga perlahan mulai turun dari atas ranjang dengan sangat hati-hati, lalu berjalan ke arah pintu dengan berjinjit kaki. Bunga segera membuka pintu lalu keluar dari dalam kamar dengan tubuh yang gemetar. *** Tiga jam kemudian, Aska menggeliat dengan dahi yang dikerutkan. Lehernya benar-benar terasa pegal karena tidur dalam posisi duduk semalaman. Pemuda itu pun mengedipkan pelupuk matanya lalu membukanya pelan dan lemah. "Huaaa! Leher gue sakit banget," gumamnya seketika duduk tegak seraya menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan. "Si Bunga udah bangun ternyata, dasar pembokat sialan. Dari awal ketemu sama dia gue jadi sial terus," gumamnya lalu bangkit dan berdiri tegak. Aska memutar pinggangnya ke kiri dan ke kanan guna melenturkan otot-ototnya yang sempat menegang. Setelah itu, pemuda yang memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter itu pun berjalan ke arah pintu lalu membukanya kemudian. Kebetulan sekali, Bunga melintas tepat di depan pintu kamar dengan membawa keranjang pakaian yang baru selesai ia setrika. Aska tersenyum menyeringai lalu memangilnya dengan nada suara lantang. "Hey, Bunga Bangkai," sahut Aska, tapi sama sekali tidak ditanggapi oleh gadis itu. "Aduh! Kenapa aku harus ketemu sama dia di sini sih?" batin Bunga pura-pura tidak mendengar sahutan Askara Wijaya. Gadis itu semakin mempercepat langkah kakinya. Sementara Askara yang sudah terlanjur kesal pun segera mengejar sang asisten rumah tangga dan segera meraih pergelangan tangannya memaksanya untuk berhenti. "Dasar pembokat gak sopan. Kalau di panggil itu ya jawab," decak Aska menggenggam erat pergelangan tangan Bunga. "Maaf, Tuan. Saya gak denger," jawab Bunga dengan kepala menunduk. "Emangnya telinga lo budek apa, gue ampe teriak lo masih gak denger?" Bunga diam seribu bahasa seraya menggerakkan pergelangan tangannya yang masih digenggam kuat oleh Aska. "Gimana rasanya tidur di kamar gue? Enak? Nyaman?" goda Aska tersenyum sinis. Bunga seketika mengangkat kepalanya lalu menatap wajah Aska dengan tatapan mata sayu. "Tuan gak ngapa-ngapain aku, 'kan?" tanyanya penuh selidik. "Tuan Aska gak nyentuh aku, 'kan?" Bunga mulai curiga. "Menurut lo?" jawab Aska dingin. "Aku tanya sekali lagi sama Tuan, Tuan Aska gak ngapa-ngapain aku, 'kan? Gak pegang-pegang aku, gak colek-colek aku, gak melakukan hal yang tidak senonoh sama aku?" Bunga dengan wajah polosnya. Aska bergeming seraya menatap wajah polos seorang Bunga. Tatapan mata gadis itu terlihat tajam dengan bola matanya yang coklat. Entah mengapa, Bunga yang awalnya terlihat begitu menyebalkan kini terlihat lucu dan menggemaskan, apalagi kepolosan yang ditunjukkan oleh gadis itu membuat jantung seorang Askara seketika berdetak kencang. Aska tersenyum sinis seraya mendekatkan wajahnya ditelinga Bunga lalu berbisik lirih, "Coba lo periksa, apa masih sakit?" godanya membuat kedua mata Bunga seketika membulat sempurna. "Hah?" ujar Bunga, telapak tangannya secara reflek mengusap area pribadinya sendiri. Tidak ada yang aneh di dalam sana, bagian pribadinya pun tidak terasa sakit ataupun menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya baru saja berhubungan intim. Lagi-lagi, dengan wajah polosnya Bunga menjawab pertanyaan Askara. "Gak sakit ko," jawabnya singkat. Aska seketika tertawa nyaring seraya melepaskan genggaman tangannya. Bunga Senja Oktavia benar-benar lucu dan menggemaskan. Namun, suara tawa seorang Askara seketika terhenti tatkala menyadari bahwa dirinya telah dibodohi. "Lo bohong, 'kan?" tanyanya menatap tajam wajah Bunga. "Hah? Bo-bohong soal apa, Tuan?" tanya Bunga terbata-taba juga bergetar. "Lo gak lagi datang bulan, 'kan?" Bunga seketika bergeming. Tubuhnya pun tiba-tiba saja gemetar setelah mendengar pertanyaan sang majikan. Bunga memundurkan langkahnya dengan perasaan ketakutan. "A-aku gak bohong ko, Tuan," jawabnya menatap lekat wajah Aska, rasa takut pun kembali menyelimuti relung hati seorang Bunga. "Bohong, lo bohongin gue, Bunga! Astaga!" Aska menaikan nada suaranya. Kedua kakinya pun perlahan bergerak seiringan dengan langkah kaki Bunga hingga punggung gadis itu bersandar tembok. Tubuh Bunga semakin gemetar karena tubuh kekar seorang Askara benar-benar berada dekat dengannya bahkan hanya menyisakan beberapa senti saja. "Berani-beraninya lo bohongin gue, Bunga Bangkai." Bunga bergeming dengan wajah pucat. "Apa lo tau siapa gue, hah?" Gadis itu masih tidak berani bersuara. "Pokoknya, malam ini lo harus bener-bener ngelayani gue. Kalau nggak, gue bakalan bilang sama Mami kalau lo udah berani ngegoda gue, biar lo di pecat dari sini." Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN