Bab 10. Bukan Suami yang Baik dan Bukan Ayah yang Baik

1057 Kata
"Tuan," lemah Bunga mencoba untuk melepaskan diri, tapi hasilnya sia-sia karena pergelangan tangan Aska melingkar kuat di pinggangnya. "Lo itu polos dan bodoh, Bunga. Lo percaya begitu saja apa yang gue katakan tadi? Coba lo pikir, kalau ada kucing disuguhkan ikan segar, apa dia akan diam aja tanpa memakan ikan tersebut?" tanya Aska menatap permukaan bibir Bunga yang terlihat mulai gemetar. "Tapi Tuan udah janji gak bakalan nyentuh aku tadi. Tuan pembohong ternyata, omongan Tuan gak bisa dipegang, padahal laki-laki sejati itu yang dipegang omongannya lho," decak Bunga sinis. Aska sontak melepaskan lingkaran tangannya seraya mendengus kesal. "Gue laki-laki sejati, siapa bilang gue bukan laki-laki sejati? Enak aja," keluhnya kesal. Bunga seketika menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan, gadis itu pun hendak berdiri tegak. "Mau kemana lo? Temenin gue di sini bentaran doang," pinta Aska membuat Bunga sontak mengurungkan niatnya. "Aku masih banyak kerjaan, Tuan. Lagian, kalau aku di sini nanti ada setan lewat lho. Tadi aja hampir aja tuh setan lewat," jawab Bunga seraya menghela napas kasar. "Gak akan, setannya udah gue usir." "Hah? Hahahaha! Tuan ada-ada aja, kalo gitu Tuan temannya setan dong?" Bunga tertawa nyaring. Aska seketika tertegun seraya menatap wajah Bunga dari arah samping. Bukan hanya parasnya saja yang terlihat cantik alami tanpa polesan make sedikit pun, tapi senyuman gadis ini pun terlihat begitu manis. Aska benar-benar terpesona, hingga tanpa sadar tersenyum sendiri seraya menatap lekat wajah asisten rumah tangganya itu. "Udah akh! Aku harus kerja, nanti aku diomelin sama Nyonya besar lagi," decak Bunga kembali berdiri tegak. Belum sempat kedua kaki Bunga melangkah, suara ketukan tiba-tiba saja terdengar membuat Bunga seketika merasa terkejut. "Aska! Kamu di dalam? Mami masuk ya?" tanya Anita di luar sana dengan nada suara lantang. "Astaga, Mami lagi," decak Aska setengah berbisik, sontak turun dari atas ranjang "Aku gimana, Tuan? Apa aku harus sembunyi lagi kayak kemarin?" tanya Bunga seketika merasa gugup seraya berjalan ke arah lemari pakaian. "Lo mau ngapain?" Aska mengerutkan kening. "Sembunyi, Tuan." "Jangan sembunyi di situ, Bunga. Lo mau pingsan lagi kayak kemarin?" "Terus aku sembunyi di mana?" "Bawah ranjang, cepet!" Tanpa basa basi lagi, Bunga segera berjongkok lalu bersembunyi di bawah ranjang super besar milik sang Tuan dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika Nyonya besarnya sampai tahu bahwa dirinya tengah berada di kamar Askara, sudah dapat dipastikan ia akan dituduh merayu majikannya sendiri dan dirinya pasti akan dipecat dari pekerjaannya. "Ya Tuhan, jangan sampai Nyonya tau aku sembunyi di sini," gumam Bunga meringkuk dengan memeluk kedua lututnya. Sementara itu, Aska segera berjalan ke arah pintu lalu memutar kunci dan membukanya kemudian. Anita segera masuk ke dalam kamar seraya menatap sayu wajah sang putra lalu berdiri tepat di pinggir ranjang di mana Bunga tengah bersembunyi di bawahnya. "Apa kamu baik-baik aja, Aska? Tadi Mami lihat bibir kamu sampe berdarah lho," tanya Anita seraya menyentuh ujung bibir sang putra. Aska sontak memundurkan kepalanya. "Saya gak apa-apa, Mam. Mami gak usah khawatir," jawabnya dingin. "Seharusnya kamu gak usah mancing emosi Daddy-mu, Aska. Kenapa kalian gak pernah akur? Kalian selalu aja bertengkar! Kamu gak mikirin perasaan Mami," lirih Anita seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kenapa Mami masih bertahan dengan suami kayak Daddy?" "Apa maksud kamu, Aska? Dia itu suami Mami, mana mungkin Mami ninggalin dia?" "Tapi Daddy itu berkali-kali selingkuh dari Mami, dia juga bukan suami yang baik buat Mami bahkan bukan Ayah yang baik buat saya." "Apa kamu ingin Mami keluar dari rumah ini dan jadi gelandangan?" Aska seketika memejamkan kedua matanya seraya mendengus kesal. "Jadi karena harta Mami masih bertahan hidup sama suami kayak Daddy? Mami takut miskin?" "Sekarang Mami tanya sama kamu, apa kamu bisa hidup tanpa harta dari Daddy kamu? Apa kamu bisa hidup tanpa uang bulanan yang diberikan sama Daddy kamu yang kaya raya itu, hah?" Aska diam seribu bahasa seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Nggak, 'kan? Usia kamu aja udah 25 tahun, kamu gak punya pekerjaan dan uang yang kamu habiskan setiap hari itu pemberian dari Daddy kamu, Aska!" Askara Wijaya masih bergeming tanpa sepatah katapun. "Kalau kita keluar dari rumah ini, apa kamu bisa hidup tanpa uang dari Daddy-mu? Meskipun kamu punya gelar Sarjana, tapi tak mudah mencari pekerjaan di jaman sekarang ini, Aska." Aska masih diam membisu tanpa menimpali ucapan sang ibu. Ya, semua yang diucapkan oleh ibunya ini benar adanya. Uang yang ia habiskan setiap hari adalah uang bulanan yang diberikan oleh ayahnya. Koleksi mobil mewah yang berjejer di garasi rumahnya pun ia beli dengan uang sang ayah. Apa dirinya sanggup meninggalkan semua itu dan hidup tanpa harta seorang Hartawan Kertarajasa ayahnya sendiri? Aska seketika mendengus kesal, memikirkannya saja membuat kepalanya terasa pusing tujuh keliling. "Sudahlah, kamu jangan terlalu mikirin perasaan Mami. Yang terpenting itu, hidup kamu terjamin. Kalau Daddy-mu meminta kamu buat mulai bekerja di kantornya, ya ... lakukan aja. Emangnya sampai kapan kamu mau hidup kayak gini, Askara? Lagian, kamu ini calon pewaris tunggal perusahaan timah ayah kamu, kamu harus mulai belajar dari sekarang." "Ya ... ya ... ya ... saya akan memikirkannya nanti, saya lelah, Mam. Saya mau istirahat," jawab Aska dingin. "Yakin luka kamu udah gak sakit? Apa perlu kita ke Rumah Sakit?" Aska tersenyum miring. "Astaga, Mami. Buat apa kita ke Rumah Sakit? Emangnya saya anak kecil apa, luka sedikit aja langsung ke Rumah Sakit? Lagian, udah diobati juga tadi." "Diobati? Maksudnya, udah kamu obati sendiri?" Aska memutar bola matanya ke kiri dan ke kanan lalu menatap ke arah bawah ranjang di mana Bunga tengah bersembunyi di bawah sana. "Ya ... ya iyalah sendiri, udah saya obati sendiri tadi. Beneran deh!" "Hmm! Baiklah, Mami keluar dulu kalau gitu. Kalau Daddy pulang nanti, minta maaflah sama dia. Walah bagaimanapun dia itu tetap Ayah kamu." Aska hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan sang ibu. Sedangkan Anita berjalan ke arah pintu lalu keluar dari dalam kamar. Aska segera menutup pintu lalu menguncinya kemudian. Pemuda itu pun berjalan ke arah ranjang lalu berdiri tepat di sampingnya. "Keluar, Mami udah gak ada," pinta Aska dingin. Bunga perlahan mulai berangsur keluar dari bawah ranjang lalu berdiri tegak. Gadis itu terlihat gugup dan merasa tidak enak karena sudah mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar. "Eu ... saya keluar dulu, Tuan," ucap Bunga hendak melangkah. "Tunggu, Bunga," pinta Askara membuat Bunga sontak menghentikan langkahnya. "Eu ... apa lo mau nemenin gue jalan-jalan malam ini? Gue bakalan ajak lo keliling kota Jakarta." Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN