“Jadi kau sudah menikah yah?”Ucap Dimas dengan nada kecewa. Aku tersenyum, dia orang yang menyenangkan. Beberapa saat yang lalu aku keluar ke balkon dan ada dia yang tersenyum manis ke arahku. Aku fikir tidak ada yang salah dengan berteman dengannya, toh aku sudah punya perjanjian dengan adrian mengenai status kami. Jujur saja aku sedikit lega dengan itu.
“Kau masih sendiri?” Ucapku balik bertanya. Dia tersenyum dan mengangguk. Dimas orang yang tampan menurutku, baik dan menyenangkan. Aku yakin di luar sana banyak sekali perempuan yang menyukainya.
“Aku yakin kau akan mendapatkan yang terbaik.” Ucapku yang ditanggapi dengan senyum manisnya.
“Suamimu bekerja?” Lagi-lagi aku mengangguk. Dia mengerutkan dahinya sambil menatapku.
“Kita bersebelahan tapi aku tidak pernah melihatnya yah?”
“Dia kadang berangkat sangat pagi dan pulang larut malam.” Adrian memang seperti menghindariku, dia hanya pulang untuk tidur selebihnya dia berada diluar entah dimana.
“Oh, Sayang sekali istri secantik kamu malah ditinggal sendirian.” Aku tertawa mendengar gombalannya.
“Kamu tidak bekerja?” Tanyanya kemudian, aku menghentikan gerakanku yang sedang mengangkat jemuran dan memandang ke arahnya.
“Sebenarnya aku sedang mencari kerja, hanya belum dapat. Mungkin besok aku akan mencari lowongan.” Ujarku jujur. Dia tersenyum lebar kearahku, membuatku menatapnya heran.
“Kebetulan sekali, kantorku sedang membutuhkan staf bagian keuangan. Kalau kau mau, aku bisa mengusulkan kamu bekerja disana.” Seperti mendapatkan air di tengah gurun pasir, perkataan Dimas membuatku tersenyum riang sambil menatapnya takjub. Sekarang aku percaya istilah, banyak teman banyak rezeki. Aku menyesal, dari kemarin aku mengabaikannya.
“Iyah aku bisa, kebelulan aku lulusan Akutansi. Tolong bantu aku Dimas aku mohon! Aku butuh sekali pekerjaan itu.” Ucapku memohon. Dia tertawa geli melihat ekspresiku.
“Kalau ingat betapa juteknya kamu padaku kemarin, dan melihat ekspresimu sekarang membuatku ingin tertawa.” Aku mengatupkan bibirku sambil menahan senyum malu.
“Maafkan aku! Aku memang agak sedikit sulit bergaul.” Dia malah tertawa mendengar permintaan maafku.
“Aku hanya menggodamu Lisa, tidak perlu minta maaf!” Aku tersenyum.
“Baiklah, siapkan berkasmu! Kapan kamu bisa ikut aku kekantor?” Aku menjerit girang.
“Besok aku bisa!” Ucapku bersemangat. Dia terkekeh melihatku terlalu bersemangat.
Brakk! Suara pintu depan dibuka dengan keras.
“Spertinya suami ku pulang, aku masuk dulu.” Dimas mengangguk sambil tersenyum manis. Begitu aku masuk, bukan hanya ada Adrian tapi ada mamah juga, ibu mertuaku. Dilihat dari raut wajah adrian, sepertinya dia sedang kesal.
“Lisaaa mamah kangen.” Beliau menghampiriku sambil merentangkan kedua tangannya memberiku pelukan hangat. Jujur saja, aku merasa sangat senang dengan perlakuan mamah terhadapku. Aku seperti mendapatkan seorang ibu yang sudah lama tidak aku miliki.
“Mamah habis darimana?” Ucapku pelan, beliau tiba-tiba saja merubah raut wajahnya menjadi kesal.
“Habis menyelamatkan suami kamu dari ular berbisa.” Aku mengernyit tidak mengerti, sedangkan Adrian tampak sedang menghembuskan nafasnya pelan.
“Mah, harus berapa kali Rian bilang, Nancy gak kaya yang mamah Fikir.” Mamah berbalik dan memandang kesal ke arah Adrian.
“Kamu tahu apa tentang dia Adrian? Kamu hanya laki-laki yang terlalu dibutakan oleh cinta. Dan Kamu Lisa, kenapa kamu biarkan suamimu pergi bersama wanita ular itu menggunakan dengan dasi berwarna serasi pula? Atau jangan-jangan kamu tidak tahu kalau suamimu pergi bersamanya?” Aku menatap Adrian dan dia mengalihkan pandangannya malas. Jadi mereka baru pergi bersama dan ketahuan sama mamah.
“Tahu mah, tadi Adrian bilang akan pergi ketempat amal. Aku yakin mereka tidak pergi bersama, mungkin mereka bertemu disana mah. Dan dasi yang Adrian pakai itu, Lisa yang belikan, mungkin kebetulan saja mereka menggunakan warna yang sama.” Ucapku lembut. Mamah menatapku sedikit ragu, tapi setelah aku tersenyum dia sedikit terlihat lega. Syukurlah tebakanku benar mereka kentempat amal, aku bersahabat cukup lama dengan Nancy jadi aku tahu kemana dia suka pergi. Dia suka menjadi panitia pencari donatur karena bayaran yang dia dapat lumayan.
“Ya sudah, pokoknya intinya mamah tidak suka kamu masih berhubungan dengan wanita itu Adrian!” Adrian mengangguk lesu sambil beranjak menuju kamarnya. Entah kenapa aku sempat melihatnya memandangku beberapa saat setelah aku membelanya di depan ibunya tadi. Tapi aku tidak mau berbesar hati, mengingat bagaimana hubungan kami sekarang.
“Wah, kelihatannya enak Lisa, mamah makan disini boleh yah?” Aku tersenyum senang.
“Tentu saja boleh mah, sebentar Lisa ambilkan piring dan nasinya. Mamah duduk saja!”
“Adrian cepat, ayok kita makan siang!” Aku berbalik dan melihat suamiku sudah berpakaian santai menghampiri kami dan duduk di meja makan. Sedikit gugup mengingat dia pernah mengatakan tidak suka dengan bau masakanku. Aku mengambilkan makanan untuk suamiku untuk pertama kalinya setelah kami menikah. Ada sedikit rasa berdebar di hati.
Kami makan dalam diam. Sesekali aku melirik adrian yang memakan dengan lahap masakanku. Tanpa mereka sadari aku tersenyum, sangaat tipis. Senang sekali melihat suamiku memakan masakanku.
"Rian, kapan kalian pindah ke rumah? Apartemen tidak baik untuk orang sudah menikah. Bagaimana kalau kalian punya anak nanti? Lingkungan disini tidak baik untuk pertumbuhan anak.” Kami sedang duduk santai di depan ruang TV setelah selesai makan siang tadi. Sepertinya hari ini Adrian libur bekerja melihat dia tampak santai.
"Nanti aja mah, Rian lagi nyari rumah yang pas dulu.” Aku sangat tahu dia tidak bersungguh-sungguh dengan itu.
“Iya mah, disini menyenangkan Lisa betah. Mamah tidak usah terlalu memikirkannya, kami akan pindah dari sini ketika sudah tidak merasa nyaman.” mamah tersenyum lembut ke arahku.
“Baiklah, kalau begitu mamah pulang dulu sudah mau sore.”
“Biar Rian antar mah!”
“Tidak usah, kamu dirumah saja. Mamah naik taksi saja.” Ucap beliau keras kepala.
***
Adrian pov
Aku tidak menyangka Lisa akan mau membantuku menghadapi kekesalan ibuku. Atau mungkin dia memang tidak seburuk yang aku fikir?
Kami sudah duduk berdua membicarakan perjanjian yang tadi siang kami bahas. Kutatap wajahnya yang sedang serius membaca poin-poin perjanjian yang aku buat. Terkadang dahinya berkerut seperti berfikir begitu berat, kadang dia terlihat seperti ragu. Namun yang membuatku betah berlama-lama memandangnya adalah bulu mata lentiknya yang bergerak-gerak lucu seiiring dengan kedipan matanya.
“Baiklah, aku setuju.” ucapnya menyadarkan dari fikiranku tentangnya. Apa yang baru saja aku fikirkan? Bulu matanya lucu? Yang benar saja?
“Dimana aku harus tanda tangan?” Ucapnya. Aku menunjukan tempatnya bertanda tangan, selanjutnya aku menandatangani bagianku.
“Aku sudah mendapatkan pekerjaan dan aku akan mencicilnya setiap bulan padamu mulai bulan depan.” ucapnya mengagetkanku. Cepat sekali dia dapat pekerjaan?
“Kau bekerja dimana?” Tanyaku penasaran.
“Di kantor temanku , aku baru akan kesana besok. Kamu tenang saja jika aku tidak diterima disana, temanku yang lain juga menawariku bekerja dibutiknya.” Ucapnya meyakinkan.
“Baiklah sudah malam, aku pergi ke kamarku.” Aku beranjak meninggalkannya. Kami memang tidur terpisah, mengingat pernikahan kami yang terpaksa.
***