BAB 5

2517 Kata
Lisa pov     Sengatan Matahari tidak menyurutkan sedikitpun semangatku untuk mencari pekerjaan.  Siang ini aku sudah berada di ruang HRD Mega Jaya Corporation.  Perusahan tempat Dimas bekerja.  Rasanya hampir saja aku melompat girang,  ketika mengetahui aku diterima kerja sebagai staf  keuangan di perusahaan sebesar ini. Pokoknya aku harus mentlaktir Dimas nanti kalau sudah mendapatkan gaji pertama.     “Baiklah, Alisa selamat datang di MJC semoga betah dan mohon kerjasamanya.” Aku membalas jabat tangan pak manager yang aku ketahui namanya pak Handi.  Kemudian aku membungkuk sopan sambil berpamitan. Menjelang sore hari aku sampai di apartemen dan sedikit kaget melihat Adrian ada dirumah sedang menonton TV.     “Darimana?” Ucapnya tanpa melihatku.     “Habis wawancara kerja, kamu udah makan?”     “Belum, buatkan aku nasi goreng seperti tadi pagi.”  Dia masih tidak menatapku.     “Iyah.” Aku meletakan tas di kamar lalu melangkah menuju dapur.     “Wawancara kerja dimana?”  aku sedikit kaget karena suaranya tiba-tiba dekat. Ternyata dia sedang mengambil minum di kulkas, mungkin tadi aku sedikit melamun.     “Mega Jaya corporation.” Ujarku singkat. Adrian memang tidak terlalu suka berbicara denganku,  jadi aku hanya menjawab sewajarnya saja.     “Diterima?” Aku memandang ke arahnya yang sedang bersandar di pinggiran meja dapur dengan minuman bersoda di tangannya. Aku hanya mengangguk, sedikit heran mendapati dia mengajak aku mengobrol seperti ini. Kemudian mengangguk antusias dengan perasaan bangga. Rasanya memang membanggakan diterima di perusahaan sebesar itu. Dia tersenyum sambil mengangguk dengan pandangan yang sukses membuatku panas dingin.     “Btw terimakasih sudah membantuku kemarin di depan mamah. " Aku mengerutkan kening,  kemudian teringat perdebatan ibu dan anak itu tentang dasi berwarna merah. Aku tersenyum tulus.     “Nancy gadis yang baik,  aku mengenalnya cukup lama. Mungkin mamah belum terlalu mengenalnya saja, atau kamu yang tidak berusaha mengenalkannya.” Adrian tampak tertegun mendengarku mengatakan itu. Membuatku sedikit salah tingkah.  Apa aku mengucapkan kata yang salah?     “A-aku tidak bermaksud meng-”     “Tidak papa Lisa,  kau benar mungkin memang selama ini aku tidak berusaha mengenalkan Nancy lebih dekat dengan mamah.” Reflek aku menghembuskan nafas lega. Entah kenapa aku masih sedikit trauma menghadapi kemarahan suamiku. Aku tersenyum canggung sambil menuangkan nasi goreng buatanku kedalam piring dan memberikannya kepada Adrian.      “Aku mungkin akan sering makan dirumah,  masakanmu enak.” Dia beranjak membawa nasi goreng buatanku dengan berbinar. Aku mematung, sedikit mengkhawatirkan kondisi jantungku, rasanya berdentam-dentam di dalam sana. Tiba-tiba aku terlonjak merasakan getaran di saku celanaku.  Buru-buru aku mengambil ponsel dan memeriksanya. Ternyata Dika yang memanggil.     “Halo Assalamu'alaikum Dik,  ada apa?” Ada sedikit perasaan kawatir saat menerima telpon dari adikku yang satu ini.     “Wa'alaikumsalam mbak,  kapan mbak ke sini? Reka kangen katanya.” Aku tersenyum membayangkan wajah merajuk adiku.     “Nanti hari minggu yah,  mbak mampir kesitu. Reka sama kamu mau dibawain apa?”     “Gak usah bawa apa-apa mbak, Reka juga gak minta apa-apa kok. Oh iya, mas Adrian ikut kan? Reka pengen kenalan katanya, waktu nikahan kan gak bisa dateng.”     Deg! Jantungku seperti diremas.     “Mas Adriannya kayaknya belum bisa ikut dik,  soalnya lagi banyak kerjaan mungkin lain waktu.” Ujarku berbohong .     “Yah,  gak seru! Dika kan pengen kenalan lebih dekat mbak.” Ada nada kecewa dalam setiap kata yang diucapkannya.     “Nanti klo udah gak sibuk pasti mbak ajak ketemu kalian kok tenang aja.” Ku dengar Dika mendesah pelan.     “Yaudah deh,  mbak jaga kesehatan yah!”     “Iya adiku yang bawel.” Dika terkekeh.     “Yaudah yah mbak, Dika lagi banyak tugas. Assalamu'alaikum.”     “Wa’alaikumsalam, jaga adik kamu yah dik!”     “Siap mbak.” Setelah itu bunyi sambungan terputus. Aku menaruh kembali ponsel di saku,  kemudian beranjak ingin ke kamar mandi. Badan rasanya lengket setelah seharian kepanasan kesana sini.  Tapi Aku hampir terjungkal saking kagetnya,  melihat Adrian ada di dekatku. Sedang memandang ke arahku penuh arti.     “Siapa yang bilang aku banyak kerjaan? Sok tahu. Siapa tadi yang telpon dan pengen ketemu aku?” Jantungku hampir lompat rasanya, ternyata dia mendengar percakapan ku dengan Dika.  Apa yang harus aku katakan sekarang?     “Um- itu, tadi adikku. Dia bertanya apa aku bisa datang menemui dia bersamamu. Tentu saja aku harus bilang kamu sibuk,  memangnya aku harus menggunakan alasan apalagi?” Dia tampak berfikir. Aku sungguh kesal dengan mulutku yang sulit sekali berbohong.     “Hari minggu aku tidak sibuk, tidak ada acara juga. Baiklah, aku antar ketemu adik kamu.” Aku melotot tidak percaya. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa dia tiba-tiba berubah jadi baik seperti ini? Apa ini efek dari kepercayaan yang didadasari oleh perjanjian tertulis itu?  *** Adrian pov     Pagi ini diawali dengan gerimis yang sedikit deras.  Aku sudah terjaga sekitar 15 menit yang lalu tapi masih enggan untuk beranjak. Suasana dingin dipadukan dengan suara rintik hujan adalah perpaduan sempurna untuk bermalas-malasan. Lisa sepertinya sudah bangun dan sedang memasak sesuatu. Bau harum semerbak membuat perutku bergejolak minta diisi. Menguar dengan sempurna di setiap sudut kamarku. Sejak kemarin aku dipaksa makan siang bersamanya, aku tahu satu hal. Dia pandai memasak ternyata.      Aku bangkit dan mengambil ponsel di nakas. Mengecek notifikasi penting yang mungkin masuk ketika aku tidur. Tak kuasa aku menyembunyikan senyumku, ketika notif dari Nancy ada di barisan paling atas.  Segera aku buka,  tidak sabar untuk membacanya. Baby,  kayaknya hari ini kita batal makan siang bareng deh,  soalnya aku ada meeting penting sama klien. Sorry yahh. Morning baby,  jangan lupa sarapanmu.  I love you.     Aku mendesah kecewa,  tapi tidak masalah pekerjaannya juga penting. Aku bergegas turun dan menyelesaikan ritual pagiku kemudian bergegas menuju dapur.  Benar saja, di ruang makan sudah tersaji sepiring nasi goreng. Tunggu! Ko cuma sepiring? Aku mengernyit heran.     “Lisa,  ko nasi gorengnya cuma satu?” Dia sedikit terlonjak kaget kemudian berbalik menatapku.     “Oh, kamu mau? Aku fikir kamu mau langsung berangkat kaya biasanya.” Aku mengangguk antusias. Dia tersenyum dengan cantik.     “Yasudah makan yang itu saja aku ambil lagi disini.” Dia menunjuk penggorengan berisi nasi goreng yang sama di sebelah kanannya.     Aku langsung melahapnya dengan cepat. Tidak salah lagi, masakannya memang benar-benar enak. Aku sedikit menyesal mengabaikan makanan seenak ini dari kemarin-marin. Setelah selesai dengan sarapan,  ku lihat dia tampak sibuk dengan pakaian formal yang rapih. Sepertinya dia ada wawancara kerja hari ini.     “Mau kopi atau teh?” Tawarnya. Aku menggeleng.     “Aku ada meeting pagi ini,  jadi harus berangkat lebih awal.” Aku melihat jam di pergelangan tanganku dan beranjak mengambil tas kantorku.     “Lisa aku berangkat.” Dia tampak sedikit kaget mendengarku berpamitan. Biasanya aku jarang bicara padanya, tapi setelah aku pikir lagi dia tidak seburuk yang aku kira. Jadi aku memutuskan mungkin kita bisa berteman.     “Oh iya,  hati-hati!” Ucapnya lembut. Benar saja sesampainya di kantor sekertarisku sudah tampak sangat sibuk.  Pagi ini memang ada meeting penting dengan salah satu investor.      “Pagi pak.” Ucap Lina sekertarisku sambil mengangguk sopan. Kubalas dengan anggukan sambil tersenyum kemudian beranjak ke ruanganku. Baru beberapa menit aku duduk di kursiku, sudah terdengar keributan diluar sana.     “Ada apa Lina?  Kenap- Nancy? Kamu kok ada disini?” Ternyata Nancy ada disana dan sedang sedikit berdebat dengan Lina karena menghalanginya masuk. Aku memang belum pernah mengenalkan Nancy di  kantor sehingga belum ada yang mengenalnya.     “Jadi aku gak boleh kesini?” Ucapnya sedikit kesal. Aku tersenyum manis melihatnya merajuk seperti itu.  Nancy adalah wanita yang sangat dewasa,  selama bersamanya dia jarang berkelakuan seperti anak kecil, contohnya seperti merajuk. Jadi saat dia melakukannya terlihat sangat menggemaskan.     “Lina, dia temanku. Lain kali biarkan dia masuk.”Lina tampak mengangguk meminta maaf. Nancy melotot meminta penjelasan karena aku menyebutnya sebagai teman.     “Jadi aku temanmu, tuan Adrian?” Aku terkekeh,  dia benar-benar menggemaskan.     “Aku tidak mungkin mengenalkanmu sebagai pacarku, seluruh orang dikantor ini sudah tahu aku  menikah dengan Lisa.” Dia mencebikan bibirnya kesal tapi tidak lagi mendebatku.     “Aku merasa sedang menjadi orang ketiga disini.” Ucapnya lagi.     “Kamu tahu bagaimana posisiku kan?” Dia mengangguk pasrah.” Jadi ada apa sayang kamu kok gak ngabarin mau kesini?” Dia akhirnya tersenyum.     “Minggu ini temani aku ke Bali yuk? Aku ada sedikit pekerjaan disana tapi tidak terlalu padat jadi kita bisa sekalian jalan-jalan.” Ucapnya antusias. Aku tersenyum.     “Oke,  tapi gak bisa nginep. Kamu tahu kan aku lagi sibuk-sibuknya.” Dia bersorak senang.     “Ya udah aku cuma mau bilang itu doang,  kamu udah sarapan kan? “ Aku sedikit heran dia sampai datang kesini hanya untuk membicarakan itu,  padahal dia bisa menelponku.      “Udah kok.”     “Aku pergi ya sayang?” Aku tersenyum,  tak lupa dia mengecup pipiku dan beranjak. Setelah meeting yang benar-benar menguras otak dan emosiku akhirnya aku putuskan untuk mengajak Lina makan siang bersama. Kebetulan Nancy sedang sibuk, dari pada aku makan sendirian. Lina kebetulan sudah menikah.  Aku kenal baik dengan suami dan anaknya yang menggemaskan. Dia adalah temanku sejak SMA jadi aku sudah sangat akrab dengannya.     “Gue lagi males makan makanan Indonesia,  kalau lo mau ke restoran langganan lo turunin gue disini!” aku menyukai sikapnya yang santai di luar kantor seperti ini.     “Baiklah,  ibu hamil memang banyak maunya.”Dia tersenyum cuek.      “Jadi kita mau makan dimana?” Dia tampak berfikir.     “Restoran Jepang yang waktu itu di rekomend sama laki gue,  kalo gak salah tempatnya gak jauh dari sini.” Aku sepertinya tahu tempat itu, dan langsung melajukan mobilku menuju kesana.     “Siap bos,  kita meluncur kesana.” Dia terkekeh. Aku akui tempat ini memang nyaman dan menyenangkan. Lain kali aku harus ajak Nancy ke sini, dia pecinta makanan Jepang juga. Dia pasti suka. Ditambah lagi, ada skat di setiap mejanya. Menambah kesan privasi pada setiap pengunjungnya. Ku lihat ibu hamil di depanku tampak antusias memilih makanan.  Aku hanya geleng-geleng kepala. Setelah beberapa menit akhirnya makanan yang kami pesan datang.      “Kayaknya itu temen lo yang tadi pagi deh,  pantesan gue kaya pernah liat ternyata dia pacarnya Dino.” Aku mengikuti arah pandang Lina dan hatiku seperti ditusuk ribuan duri melihat Nancy bergelayut manja di lengan laki-laki yang bernama Dino itu.  Ya,  aku ingat sekarang! pantas saja aku seperti pernah melihat Dino. Dia kebetulan adalah sepupu Lina. Kami pernah bertemu di pernikahan Lina dulu.     Aku menghalangi Lina yang hendak beranjak dan menyapa sepupunya itu. Dia tampak bingung tapi tidak membantah. Kebetulan sekali mereka duduk tepat dibelakang meja kami.     “Jadi gimana? Apa dia setuju ikut kamu ke Bali?” Tampak Dino memulai percakapan.      “Iya sayang,  memang sejak kapan dia bisa menolak ajakanku.” Aku tahu mereka sedang membicarakanku.     “Bagus sayang,  kita lakukan rencana kita seperti yang kemarin aku bilang, pokoknya buat dia setuju untuk kerjasama dengan perusahaanku. Agar kita mudah untuk menguasai semua hartanya.” Rahangku sudah mengeras, buku-buku jariku sudah memutih karena begitu kerasnya aku menahan tanganku untuk tidak memukul laki-laki itu.     “Kayaknya gue paham jalan cerita lo.” Lina tampak berbisik aku diam saja.     “Iya,  lagian aku udah muak dengan kelakuan ibunya. Setelah menghancurkan keluargaku, dia pikir masih bisa seenaknya memperlakukanku? Lihat saja nanti kalau perlu aku pengen lihat dia mati.” Aku hampir beranjak dan ingin menghajar mereka, tapi Lina menahan.     “Orang licik,  harus lu bales licik Yan. Kalau lo Serang dia membabi buta, cuma bikin lo malu doang.” Ucapan Lina ada benarnya. Aku tidak menyentuh makananku sedikitpun.  Lina tampak prihatin setelah aku menceritakan semua padanya tentang Nancy.      “Gue tahu lo lagi galau,  tapi tetep harus makan! Balas dendam itu butuh tubuh yang kuat Yan.” aku terkekeh. Dia memang selalu bisa menghiburku. Aku benar-benar menyesal tidak pernah menceritakan tentang Nancy padanya.  Aku pasti sudah tahu kebusukannya lebih awal jika itu terjadi.     “Gue mau makan dirumah aja deh.” Ujarku akhirnya.     “Lagian punya istri baik masih aja kurang.” Ujar Lina mengejek.     “Sok tahu.”     “Emang gue tahu,  Lo beruntung dapet Lisa Adrian. Dia itu wanita paling baik yang pernah gue kenal. Sederhana, gak neko-neko dan sayang banget sama adik-adiknya. Gue yakin dia calon ibu yang baik nantinya.” Aku tertegun mendengar penjelasan Lina.     “Lu kenal Lisa?” Lina mengangguk antusias.     “Gue sering datang ke panti asuhan tempatnya tinggal dulu. Lisa oranya agak tertutup dan sulit bergaul, tapi gue tahu banget dia orang yang baik.” Entah kenapa ada suatu perasaan hangat di hatiku mendengar orang yang aku percaya membicarakan kebaikan Lisa.Sesampainya di apartemen, Lisa tidak ada.  Aku kembali mengingat pakaian formalnya tadi pagi. Beberapa menit kemudian terdengar seseorang membuka pintu,  itu pasti Lisa.     “Darimana?” Ucapku masih dengan pandangan ke arah layar TV.     “Habis wawancara kerja, kamu udah makan?” aku sedikit tersenyum mendengar perhatiannya.     “Belum. Buatkan aku nasi goreng seperti tadi pagi!”     “Iyah.” Dia beranjak ke kamar, sepertinya meletakan tasnya kemudian menuju dapur. Terlihat tampak serius memasak, saat aku menuju dapur untuk mengambil minum.     “Wawancara kerja dimana?”  Dia melamun?     “Mega Jaya corporation.”  jawabnya singkat.     “Diterima?” Dia mengangguk sekali, kemudian mengangguk lagi dengan antusias.  Hebat juga dia bisa diterima di perusahaan sebesar itu. Perusahaan itu milik sahabatku, dan biasanya perusahaan itu sangat selektif dalam penerimaan karyawan.     “Btw terimakasih sudah membantuku kemarin di depan mamah.” Dia tersenyum tulus.     “Nancy gadis yang baik,  aku mengenalnya cukup lama.  Mungkin mamah belum terlalu mengenalnya saja,  atau kamu yang tidak berusaha mengenalkannya.” Aku memandangnya lekat, setelah semua yang dilakukan Nancy padanya,  dia masih saja membela wanita jahat itu?  Aku sangat tahu bagaimana Nancy memperlakukan Lisa. Awalnya aku berfikir Lisa jahat, sehingga pantas diperlakukan seperti itu. Tapi sekarang, aku benar-benar seperti melihat malaikat di depan mataku.     “A-aku tidak bermaksud meng-”     “Tidak pa-pa Lisa,  kamu benar mungkin memang selama ini aku tidak berusaha mengenalkan Nancy lebih dekat dengan mamah.” Dia tampak sedikit takut melihatku diam. Mungkin dia kira aku akan marah.     “Aku mungkin akan sering makan dirumah, masakanmu enak.” Aku tersenyum sambil membawa nasi goreng hangat di piringku. Setelah suapanku entah yang keberapa kali aku baru sadar lupa membawa minum.  Aku meletakan piring dan beranjak ke dapur.  Lisa tampak sedang berbicara dengan seseorang di telepon.     “Nanti hari Minggu yah, mbak mampir kesitu Reka sama kamu mau dibawain apa?” Dia berbicara dengan siapa?  Terdengar akrab sekali.  Aku mengurungkan niatku membuka kulkas. Ingin mendengar lebih jauh pembicaraan mereka.     “Mas Adriannya kayaknya belum bisa ikut dik,  soalnya lagi banyak kerjaan mungkin lain waktu.”  Aku melirik tertarik,  mendengar dia menyebut namaku.     “Nanti klo udah gak sibuk pasti mbak ajak ketemu kalian kok tenang aja.” sepertinya seseorang di telponnya ingin bertemu denganku.  Tapi siapa?     “Iya adiku yang bawel.” Ucap Lisa lagi.  Jadi adiknya ingin berkenalan denganku?  Aku jadi teringat cerita Lina yang mengatakan Lisa sangat menyayangi adik-adiknya. Dia mengakhiri sambungannya dan tampak kaget melihatku ada di belakangnya.     “Siapa yang bilang aku banyak kerjaan? Sok tahu. Siapa tadi yang telpon dan pengen ketemu aku?” Sekarang dia terlihat sangat gugup.     “Um- itu, tadi adikku,  dia bertanya apa aku bisa datang menemui dia bersamamu,  tentu saja aku harus bilang kamu sibuk,  memangnya aku harus menggunakan alasan apalagi?”     “Hari Minggu aku tidak sibuk,  tidak ada acara juga. Baiklah aku antar ketemu adik kamu?” Entah kenapa aku jadi penasaran ingin bertemu dengan adik-adiknya.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN