Pagi sudah menjelang. Pukul delapan, saat Satria melihat jam di ponselnya, seharusnya ia bangun dan membantu ibunya di toko, tapi kali ini ia masih di kamarnya, meringkuk di dalam selimut sambil bermain ponsel. Sekujur tubuhnya ia tutup, sementara dari luar terdengar suara ketukan dan teriakan sang ibu. Meski begitu rasa bersalah dan menyesal masih membuat dirinya enggan keluar dari sana. Satria merutuki dirinya sendiri yang selama ini salah sangka pada sang kakak, telat menyadari bahwa tak seharusnya ia berbuat nakal. Jika Satria ingat, ia memang terus merepotkan orangtuanya sejak ayahnya masih hidup. Ia memang tak pandai seperti kakaknya Bambang, yang bisa melakukan apapun, mencari uang sejak sekolah dan pintar. Ia sadar, ia hanya sebuah beban, bahkan semakin menjadikannya beban, karen