Satu Sama

1122 Kata
"Apa yang kamu lakukan di sini? Enak saja ya kamu, duduk di gazebo ini yang menjadi tempat kesayangan Tuan Muda. Memangnya kamu siapa? Kamu hanya istri ke-4 di sini. Jadi, tahulah sedikit bahwa kamu itu bukan orang yang pantas duduk di gazebo ini." Juliana menunjuk kesal ke arah Widi yang sedang menikmati sarapannya. "Rumah ini punya aturan, kalau sarapan, makan siang, makan malam dan makan sore sekaligus itu harus di meja makan. Bukan di gazebo ini. Kamu tahu tidak kalau apa yang kamu lakukan ini sudah sangat melanggar?" "Kenapa sih ini itu tidak boleh? Apa saya ini tidak berhak? Meskipun saya hanya istri ke-4 tapi saya juga berhak kok, bukan hanya kalian. Jangan sampai saya adukan ini pada Tuan Muda kalian itu." Widi tidak terima tentu saja. Karena menurutnya sah-sah saja kalau dia duduk di sini dan menikmati pemandangan di belakang rumah. Juliana jadi ingin sekali menyingkirkan Widi agar tidak lagi melawannya, karena hanya Widi satu-satunya orang yang selalu melawannya. Sementara Kelly dan Lila tidak pernah melawannya. Juliana sudah kehilangan kesabaran untuk melihat Widi saja tanpa melakukan apa pun. Juliana lalu naik ke atas gazebo dan duduk di hadapan Widi, menatapnya tajam dan meja kecil yang berisi makanannya yang baru sesuap ia makan, langsung di lempar Juliana berhamburan di bawah sana. Dan ... plak. Lagi dan lagi tamparan Juliana mengenai wajahnya yang mulus dan putih itu, sungguh kejam istri pertama dari suaminya itu. Dan ... plak. Widi membalasnya tentu saja. Widi bukan orang yang akan diam jika seseorang memperlakukan dirinya seperti ini, Widi tidak akan terima dan Widi akan membalasnya, jika ditampar dia akan membalas dengan tamparan. "Beraninya kamu." Ketika Juliana hendak menampar Widi, Widi langsung menghadangnya dengan menggenggam pergelangan tangan Juliana begitu kuat, membuat tangan Juliana seolah terkunci dan tidak tahu harus bagaimana. "Lepaskan aku, Jalang." "Apa? Jalang? Jangan berani padaku ya, aku sudah sangat sopan kepadamu dan menghargaimu sebagai istri pertama suamiku dan senior di rumah ini, tapi kalau kamu terus-terusan melakukan ini kepadaku dan menggangguku, aku juga gak akan tinggal diam. Kamu ingat kata pepatah kan? Mata di bayar mata, nyawa di bayar nyawa. Jadi, jangan sampai aku lakukan sesuatu yang lebih dari ini." Widi sebenarnya sudah gemetar, karena ini bukan dirinya, hanya saja karena kesal jadinya seperti ini. Juliana melepaskan genggaman tangan Widi dan tertawa terbahak-bahak. “Oh jadi kamu berani melawanku? Tidak ada seorang pun yang ada di sini berani melakukan ini kepadaku, dan ternyata kamu berani? Lalu kamu pikir aku takut? Aku sudah kebal, bahkan menjadi istri pertama sudah menjadi kebahagiaan tersendiri, lalu masuklah istri kedua, istri ketiga, dan sekarang istri ke-empat? Sebentar lagi pasti akan ada istri ke-enam, ke-tujuh dan seterusnya. Jadi, kamu gak perlu mengancamku dengan kata-kata itu. Mata dibayar mata? Nyawa di bayar nyawa? Lalu bisakah ku lenyapkan saja nyawamu?” “Madam J, jangan melakukan ini,” lirih Ida. “Kenapa, Ida? Kamu mau laporkan aku pada suamiku? Silahkan. Karena, aku akan membunuh wanita ini.” “Silahkan. Aku tidak takut,” tantang Widi. Juliana mengangkat ujung bibirnya dan tertawa terbahak-bahak, ternyata lawannya sekarang adalah istri ke empat suaminya? Sungguh, ini menarik. "Dan, apa tadi kata Mbak J? Oh. Istri ke-lima, ke-enam, ke-tujuh dan seterusnya? Aku tidak perduli, Mbak. Mau dia menikah sampai sepuluh kali pun aku tidak perduli. Karena ini bukan keinginanku. Aku menikah dengan suami Mbak, karena keinginan kedua orangtuaku." "Curhat? Aku tidak butuh curhatanmu." Juliana menyunggingkan senyum lagi dan menggelengkan kepala. Juliana lalu turun dari gazebo dan tertawa lagi, lalu melangkah pergi meninggalkan Widi yang saat ini termenung karena semua makanannya berhamburan. "Miss, nanti saya ambilkan sarapan lagi," kata Ida memberi kode kepada dua wanita lainnya yang mengenakan seragam maid untuk membersihkan semuanya. "Tidak perlu, Ida. Aku tidak suka dengan cara Mbak J kayak gitu sama aku. Dan, aku gak akan pernah terima kalau pun dia berusaha mau menjebakku." Widi menggelengkan kepala dan berusaha menahan emosinya, hampir saja ia menjambak rambut Juliana, hanya saja ia harus berkelas dan tidak boleh terlalu brutal. Karena, itu akan menyakiti seseorang. Widi lalu turun dari gazebo dan mendesah napas halus, ia berusaha tenang dan damaikan hatinya, ia terlalu emosi sehingga ia tidak tahu kenapa bisa tangannya menampar Juliana? Pembalasan? Sungguh, ini bukan Widi yang sebenarnya. Lila datang dan menghampiri Widi yang saat ini duduk di bangku bawah pohon, Widi tak ingin masuk ke dalam rumah karena ia terlalu kesal melihat perlakuan semena-mena Juliana. Lila duduk disebelah Widi dan Lila bertepuk tangan di depan Widi, Widi menautkan alisnya dan bingung kenapa istri ketiga suaminya itu malah bertepuk tangan? Sungguh aneh. “Aku lihat pipi Mbak J itu merah, dan kata maid di sini, kamu menamparnya? Benar?” tanya Lila. “Iya. Memangnya kenapa? Apa ada yang salah? Kamu mau membelanya?” “No. Aku gak akan membelanya. Aku malah seneng kalau kamu melakukan itu, sekali-kali kan Mbak J itu emang harus di beri pelajaran.” “Emangnya kamu di bully juga di sini?” “Iya. Dulu pas aku masuk pertama kali di rumah ini, aku udah mengikuti semua perintah Mbak J. Aku juga pernah di tampar oleh Mbak J, bahkan aku pernah juga membalasnya tapi Mbak J malah mengurungku di kamar mandi dua hari dua malam. Dan, semenjak itu aku gak mau lagi cari masalah sama Mbak J.” “Ha? Separah itu? Kamu gak aduin pada suami kita?” “Gak. Aku gak pernah mau aduin karena aku tahu Mbak J akan melakukan hal yang lebih parah lagi dari sini. Jadi, aku memilih diam aja deh.” Lila menggelengkan kepala. “Wah. Kamu jangan mau diam aja. Itu udah kriminal namanya." "Tapi aku bersyukur banget karena ada yang mau memberikannya pelajaran. Sekali-kali dia harus di tampar juga, 'kan? Jangan hanya tahunya menampar orang." Lila tertawa kecil dan merasa ada yang melindungi. *** "Tuan Muda kenapa? Apa rekaman CCTV ada yang lucu?" tanya Pendri, sang asisten. Yang kini berdiri disampingnya. "Memang ada pertunjukkan lucu. Ketika kamu memperlihatkan rekaman ini. Aku sempat mau pulang dan mendamaikan mereka, bahkan aku akan membuat J untuk minta maaf pada Widi, tapi kayaknya aku salah. Karena, Widi bisa melindungi dirinya sendiri. Dia ternyata wanita yang cukup kuat." Pendri tertawa dan menganggukkan kepala. Pendri juga merasakan hal yang sama, bahwa Widi ternyata bisa melindungi dirinya. Aksi tampar-tamparan itu juga satu sama. Jadi, tidak ada yang perlu di hukum. Pendri lalu meraih tabletnya dan menunggu perintah selanjutnya. "Tuan Muda, ada lagi yang mau di kerjakan?" tanya Pendri. "Kamu beli tiket untuk kembali ke Jakarta." "Baik," jawab Pendri lalu membungkukkan badannya. Sepeninggalan Pendri, Adan tersenyum dan mengelus dagunya. Sesampainya di Jakarta, dia harus melakukan satu hal, dia harus tidur di kamar Widi dan melakukan hubungan suami istri pada umumnya. Karena, bagi Adan., Widi menarik. Adan tersenyum lagi dan senyuman itu begitu tampan dan mampu menyihir semua orang yang melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN