BERUSAHA MENDEKATI

1064 Kata
“Apa Nak Bian memiliki perusahaan sendiri?” tanya Kartika. Bian langsung mengangguk dan tersenyum. “Iya, Bu. Salah satu perusahaan saya bekerja sama dengan perusahaan milik Pak Ethan,” jelas Bian. Kartika hanya ber’ oh’ panjang. Dulu, ayahnya memiliki perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor. Tetapi karena sang ayah sakit, perusahaan itu bangkrut begitu saja sehingga menyebabkan ayahnya meninggal dunia. Mereka pun berbincang-bincang dengan santai dan setelah selesai makan, Bian ngotot membayar tagihan makanan yang tidak bisa ditolak oleh Zalina. Ia juga ngotot mengantarkan mereka pulang karena hari sudah malam dan belanjaan Zalina juga Kartika lumayan banyak. “Aku nggak tega membiarkan kalian berdua naik taksi online. Nggak apa-apa dong kalau aku antar,” kata Bian memaksa. Dan Zalina pun terpaksa mengiyakan. Kartika yang merasa senang kepada Bian meminta pemuda itu untuk mampir bahkan ia sengaja membuatkan teh hangat untuknya. “Maaf, di sini hanya ada teh hangat dan cemilan seadanya,” kata Kartika. Bian yang sejak awal memang sudah jatuh hati kepada Zalina mengangguk dengan sopan dan langsung menyesap teh hangat itu. “Terima kasih banyak atas jamuannya, Bu. Ini saja sudah cukup untuk saya. Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu. Hari sudah malam, kapan-kapan saya pasti akan mampir lagi. Itu pun jika diizinkan,” kata Bian. Tentu saja Kartika merasa sangat senang mendengar perkataan Bian. “Tentu saja, Nak. Kamu boleh mampir ke sini kapan saja.” Bian tersenyum penuh kemenangan sementara Zalina hanya bisa tersenyum salah tingkah. “Saya pulang dulu, Zalina. Permisi, Bu,” pamit Bian. Kartika dan Zalina pun mengangguk dan mengantarkan Bian hingga mobilnya menghilang dari pandangan. “Bian itu tidak kalah tampan dengan Ethan. Dia juga kelihatan sangat sopan dan pasti berpendidikan tinggi,” kata Kartika memuji. “Hmm ... ya tentu saja pendidikannya tinggi, Bu. Pak Bian itu memiliki perusahaan yang besar. Tidak kalah dengan perusahaan milik Pak Ethan,” jawab Zalina. Kartika tampak mengerutkan dahinya, “Ethan itu kan perusahaan kosmetik, bagaimana bisa bekerja sama dengan Bian? Apakah Bian itu memiliki perusahaan kosmetik juga?” tanya Kartika. Zalina menggelengkan kepalanya,”Nggak, Bu. Pak Bian itu supplier bahan-bahan untuk kosmetik yang diproduksi oleh pak Ethan. Selain itu, Pak Bian juga memiliki bisnis property dan kalau tidak salah beliau juga memiliki pabrik sawit yang cukup besar di kota Jambi.” Kartika membelalakkan matanya, “Wah, hebat sekali dia. Masih muda tapi sudah sangat sukses memiliki usaha besar sana sini,” komentar Kartika. “Doakan saja Zalina nanti bisa menabung lalu membuat usaha kecil-kecilan juga, Bu,” kata Zalina. Kartika tertawa kecil, “Ibu mendoakanmu supaya kamu bisa menikah dengan lelaki yang mapan juga mencintaimu dengan sepenuh hati dan juga bisa menjadikanmu ratu di rumahnya. “ Zalina hanya tersenyum menanggapi perkataan sang ibu. Ia sudah menangkap makna tersirat yang diucapkan Kartika. Ia pasti menyukai Bian dan ... ah, Zalina tidak berani membayangkan. Keesokan harinya, seperti biasa Pak Soleh, supir Ethan sudah menjemput Zalina. Sebetulnya Zalina merasa risih. Tetapi, ia bisa apa? Semua yang Ethan katakan adalah perintah. “Pagi, Mbak Zalina,” sapa pak Soleh ramah. Zalina tersenyum manis dan mengangguk. “Pagi, Pak. Bapak sudah sarapan?” tanya Zalina. Pak Soleh mengangguk sambil memperlihatkan sebuah kotak bekal di sampingnya. “Ada nasi goreng spesial buatan istri tercinta, Mbak,” jawabnya membuat Zalina tersenyum. “Istri Bapak baik sekali,” komentar Zalina. Melihat Pak Soleh yang selalu bercerita tentang anak istrinya kadang membuat Zalina merasa sangat iri. Sejak kecil, bahkan sejak bayi ia tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ayah. Tahu siapa ayahnya pun tidak. Sampai detik ini Zalina tidak pernah tahu siapa ayahnya. Ia sangat yakin jika Kartika tahu dengan pasti ayah biologisnya.Dulu, mami Karla pernah bercerita jika Kartika tidak sembarangan melayani lelaki yang datang ke tempat hiburan miliknya. Jadi, bisa dipastikan secara logika bahwa Kartika tentu tidak banyak berhubungan dengan lelaki hidung belang. Wajah Kartika yang cantik tentu aja membuat daya tarik sendiri. Bahkan menurut cerita mami Karla, setelah ia lahir Kartika meminta untuk bekerja sebagai waiters saja. Dan karena memang merasa iba kepada Kartika mami Karla pun mengizinkannya. Melihat wajah mendung Zalina, pak Soleh pun mengerutkan dahinya. “Mbak Zalina kenapa?” tanyanya. Zalina hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. “Nggak apa-apa, Pak. Saya kadang seringkali merasa iri jika ada anak yang dibesarkan oleh keluarga yang lengkap. Ada ayah dan ibu, memiliki adik atau kakak. Sementara saya? Bahkan wajah ayah saja saya tidak pernah tahu, apa lagi merasakan kasih sayang seorang ayah,” kata Zalina. Pak Soleh langsung terdiam, ia sama sekali tidak menyangka jawaban yang keluar dari bibir gadis muda itu. “Maafkan jika ada perkataan saya yang membuat Mbak sedih,” kata pak Soleh lagi. Zalina menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Bapak nggak salah, hanya saja mood saya saja pagi ini yang sedikit kurang baik,” jawab Zalina. Pak Soleh pun memilih untuk tidak mengatakan apa pun lagi. Ia merasa sedikit iba dengan nasib gadis yang duduk di kursi belakang mobil itu. Pak Soleh sudah lama bekerja kepada keluarga Ethan. Sejak Daniel baru menikah dengan Rania. Sejak saat itu, Soleh mengabdi kepada keluarga Romano. Bahkan Soleh menikah dengan salah satu asisten rumah tangga Rania dan Daniel. Rania dan Daniel memperlakukannya dengan sangat baik. Tak terasa mereka pun sampai ke kantor. Zalina pun segera turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Soleh. Ia segera menuju ke atas dan seperti biasa menyiapkan sarapan untuk Ethan. Moodnya yang pagi ini kurang begitu bagus membuat ia malas menyiapkan menu yang susah. Jadi, ia hanya membuatkan roti bakar coklat dan juga secangkir kopi untuk Ethan. Betapa terkejutnya Zalina saat ia masuk ke dalam ruangan ternyata Ethan sudah ada di dalam ruangannya. “Pa-pagi, Pak,” sapa Zalina gugup. Ethan yang sedang fokus dengan laptopnya langsung mengangkat wajahnya. “Pagi, Zalina. Kau bawa apa untuk sarapan pagi saya hari ini?” tanyanya. Alih-alih menjawab, Zalina langsung meletakkan kopi dan juga rotinya di atas meja. “Zalina, kau marah?” tanya Ethan lagi. Sejak kemarin gadis itu memang tidak terlalu banyak bicara kepadanya. Bahkan terlihat seperti orang yang ketakutan. Zalina menghela napas panjang, lalu membalikkan tubuhnya sambil menatap Ethan. “Apa yang terjadi kemarin, lupakan saja, Pak. Sa-saya juga salah. Seharusnya malam itu saya tidak minum. Saya sudah mengecewakan ibu saya, dan saya tidak mau beliau semakin kecewa,” jawab Zalina. Ethan menghela napas panjang. “Apa meluluhkan hatimu sesulit itu, Lin?Padahal saya sudah berharap jika kau mau menjadi kekasihku yang sebenarnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN