KARTIKA MARAH

1078 Kata
“KAMU KE MANA SAJA ZALINA?!” bentak Kartika saat Zalina baru saja masuk ke dalam rumah. Gadis itu menciut dan merasa sangat takut. Selama ini ia belum pernah tidak pulang. Selarut apa pun, Zalina selalu pulang ke rumah. “Maafkan Lina, Bu. Semalam Lina harus menemani Pak Ethan bertemu dengan klien besarnya. Dan ... daan-“ “Dan apa? Apa tidak biisa memberi ibu kabar? Ponselmu juga mati semalaman. Apa kau mau membuat ibu mati berdiri?” pekik Kartika. “Ibu semalaman khawatir, tidak bisa tidur karena anak ibu satu-satunya belum pulang. Sekarang jawab apa yang sudah terjadi sampai kau tidak bisa pulang ke rumah semalam?” tanya Kartika. Zalina menghela napas panjang, ia belum pernah melihat Kartika semarah ini, nyalinya pun sedikit ciut. “Semalam, aku tidak sengaja minum wine. Karena tidak kuat, aku pusing dan Pak Ethan juga mabuk sehingga bu Diana membawaku menginap di rumahnya. Jadi, pagi tadi aku berangkat dari rumah bu Diana. Ini juga pakaian milik bu Diana, Bu. Aku lupa membawa charger sehingga ponselku mati,” dusta Zalina. Ia tidak mungkin jujur kepada sang ibu jika semalam ia menginap di apartemen milik Ethan dan juga sudah menyerahkan kehormatannya. “Kau tidak bohong?” selidik Kartika. Zalina menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Nggak, Bu. Lina nggak bohong,” jawab Zalina lagi. Gadis itu pun menjatuhkan dirinya di hadapan sang ibu dan memeluk kaki Kartika dengan erat. Melihat putrinya tampak ketakutan, Kartika pun menghela napas panjang. “Nak, masa muda ibu sangat kelam. Kau kan tau bagaimana ibu di masa lalu. Ibu hanya tidak mau kau mengalami apa yang dulu ibu alami. Apa kau mau kelak kau memiliki anak lalu anakmu dipanggil anak haram seperti yang kau alami ketika kecil dulu? Kau mau?” tanya Kartika. Zalina menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Nggak, Bu.” “Ibu hanya meminta satu hal, jagalah kepercayaan ibu, Nak. Ibu tidak mau hal seperti ini terulang lagi. Sejak awal ibu tidak mengizinkan kau bekerja di sana karena ibu ....” “Karena ibu?” Kartika mengembuskan napasnya dengan kasar. Hampir saja ia kelepasan bicara. “Lupakan saja. Hanya satu yang ibu minta, jangan pernah mencoba menggoda bosmu. Jika dia tertarik kepadamu pun jangan kau ladeni. Orang kaya itu hanya akan membuatmu susah saja, mengerti?” Zalina menganggukkan kepalanya. Sekali pun ia tidak setuju dengan apa yang Kartika katakan ia tidak mau mendebat sang ibu untuk saat ini. Padahal ia melihat sendiri bagaimana baiknya keluarga Ethan terlebih sang ibu Liliana. “Ya sudah, kau mandi dulu. Pasti kau merasa lelah sekali , kan? Ibu akan menyiapkan makanan untuk makan malam.” Kartika baru saja hendak beranjak tetapi, Zalina dengan cepat menarik tangan sang ibu kembali. “Bu, bagaimana jika malam ini kita makan di luar saja. Hari ini kebetulan aku baru menerima gaji. Jadi, malam ini kita pergi keluar saja. Ibu mau makan apa?” Kartika menatap sang anak dengan tatapan penuh keharuan. “Uangmu kan bisa ditabung, Nak?” “Ya kan nggak semua ditabung juga. Buat apa kerja keras kalo tidak bisa menikmati?” ujar Zalina lagi. Kartika hanya menghela napas panjang dan membelai rambut panjang putrinya itu dengan lembut. “Ya sudah, kalau begitu mari kita bersiap-siap,” kata Kartika yang langsung diangguki oleh Zalina. Malam itu Zalina mengenakan celana lengging hitam yang ia padukan dengan sweater berwarna biru muda kesayangannya. Rambutnya yang panjang ia gerai. Sementara Kartika hanya mengenakan dress lamanya. Zalina sengaja memesan taksi online dan membawa Kartika ke sebuah mall yang besar di kawasan Jakarta selatan. Ia sengaja membawa Kartika karena ingin membelikan ibunya pakaian baru. Kartika selalu mengenakan daster yang lusuh jika di rumah. Maklumlah penghasilan Kartika sebagai tukang bersih-bersih di cafe milik mami Karla tidaklah besar. Sejak Zalina lahir, Kartikan memang tidak mau melayani tamu lagi. Dan mami Karla tidak memaksa. Ia membiarkan Kartika tetap bekerja menjadi waiters. Dan terakhir, Kartika meminta pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih yang bekerja di siang hari. Gajinya tidaklah besar tetapi, dari sana ia bisa menyekolahkan Zalina sampai lulus S1. “Ini buat ibu semua?” tanya Kartika saat Zalina memberikan paper bag berisi pakaian baru. “Iya, ini buat Ibu semua. “ “Lalu, buatmu?” Zalina menggelengkan kepalanya, “Aku kan sudah dibelikan pak Ethan banyak pakaian.Itu potong gaji, loh Bu. Jadi, aku nggak perlu beli pakaian baru,” dusta Zalina. Karena memang sesungguhnya Ethan tidak pernah memotong gaji Zalina. ‘Ah, maafkan Lina lagi –lagi sudah berdusta kepada ibu,’ bisik Zalina dalam hati. Setelah belanja keperluan untuk di dapur, Zalina pun mengajak ibunya masuk ke sebuah restoran all u can eat. Sesekali Zalina ingin mengajak ibunya menikmati makanan yang enak. Kartika yang memang belum pernah makan shabu-shabu dan barbeque tentu saja senang bukan main. Ia makan dengan lahap. Dan melihat sang ibu makan dengan lahap, Zalina pun ikut menikmati makanannya. “Wah, kau makan di sini juga, Lina? Kebetulan sekali kita bertemu.” Zalina mengangkat wajahnya dan ia merasa tenggorokannya langsung terasa seret melihat Bian sudah berdiri di dekat mereka. “Pa-Pak Bian?”ujarnya. “Tadi pagi kau buru-buru sekali sehingga tidak mau menjawab sapaanku dengan ramah. Oya, aku boleh bergabung? Kebetulan sekali aku hanya sendirian.” “Nak Bian ini atasan Zalina?” tanya Kartika. Bian menggeleng lalu tersenyum, “Saya klien dari atasan Zalina, Bu. Ibu ... ibunya Zalina?” “Iya, saya ibunya Zalina. Silakan jika Nak Bian mau bergabung,” kata Kartika mempersilakan. Zalina seketika tampak gugup. “Maafkan saya tadi pagi jika bersikap sedikit ketus kepada Anda. Saya hanya tidak enak kepada bu Diana yang sudah menunggu lama,” kata Zalina membuat Bian sedikit mengerutkan dahi. Namun lelaki itu mengerti jika Zalina tentu menyembunyikan sesuatu dari ibunya. “Ah, ya tidak apa. Saya tau jika Bu Diana memang orang yang sangat tegas sekali, sama seperti Pak Ethan,” jawab Bian. Mendengar apa yang Bian katakan, Kartika merasa sedikit lega. Dalam hati ia merasa jika apa yang Zalin katakan memang benar jika semalam ia menginap di rumah Diana. “Nak Bian sudah lama kenal dengan Zalina?” tanya Kartika. “Saya mengenal putri ibu sejak dia bekerja dengan Pak Ethan, Bu. Tadinya saya ingin sekali Zalina bisa bekerja dengan saya. Tetapi, tampaknya Pak Ethan sangat sayang kepada sekretarisnya.” “Ah, anak saya ini memang rajin bekerja. Sebenarnya saya tidak setuju dia bekerja di La Rue. Tapi, Zalina sudah betah katanya.” “Wah, kalo kamu memang nanti tidak betah lagi bekerja di La Rue kamu bisa beritahu saya. Saya tidak keberatan kamu jadi sekretaris saya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN