Qiran sudah tak sanggup lagi menjadi pembantu Rayza. Sungguh dia merasa terus dipermainkan. Rayza benar-benar semena-mena terhadap dirinya. Rayza selalu memaksa segala sesuatu yang menjadi kehendaknya, termasuk mengatakan pada ibunya bahwa Qiran calon istrinya. Jujur saja ucapan Rayza yang tulus mengatakan ingin menikahinya telah berhasil membuat hatinya seperti musim semi. Indah dan berbunga.
Katakanlah Qiran seorang wanita yang munafik. Dia mengatakan tak ingin menikah dengan Rayza. Tak siap menikah. Tapi sejujurnya alasan Qiran adalah tak ingin memulai semuanya dengan sebuah kebohongan. Kebohongan Rayza yang menutupi fakta bahwa dia adalah pembantu rumah tangga nya. Dan kebohongan dirinya sendiri yang menutupi identitas aslinya. Dan Qiran berpikir, melupakan Rayza adalah jalan terbaik baginya. Sebelum dia benar-benar terperosok lebih dalam mencintai pria itu.
Qiran terus mengayunkan kakinya dengan cepat. Mengabaikan peluh yang membasahi tubuhnya karena terus berlari. Sungguh Qiran ingin memulai harinya dengan baik. Tanpa kebohongan dan tanpa menyakiti orang lain. Qiran ingin pulang. Dia rindu papinya. Sungguh dia merasa bersalah kepada ayah yang sudah membesarkan dirinya selama ini sendirian. Tanpa ada istri yang mendampinginya.
Setelah sampai di jalan utama. Beruntung ada sebuah taksi yang menurunkan penumpang. Dan Qiran pun segera menaiki taksi tersebut.
"Pak ke alamat ini ya." Ucap Qiran menunjukkan KTP nya. Sungguh dia tak ingin banyak bicara. Sekali saja dia bicara, rasanya air mata selalu ingin tumpah. Hatinya begitu sakit. Mengapa rasa cinta harus datang di saat semuanya diawali dengan banyak kesalahan. Dan akhirnya harus berakhir karena tak ingin terus terjerumus dalam kebohongan.
Sang supir pun segera mengarahkan kendaraannya menuju alamat yang di tuju. Sesampainya di sebuah rumah mewah, Qiran menemui petugas keamanan yang menjaga rumahnya.
"Pak Amar. Aku pinjam uang dong." Ucap Qiran kepada petugas keamanan di rumahnya. Kalimat pinjam uang membuat Pak Amar terbengong-bengong. Bagaimana mungkin anak majikannya meminjam uang padanya.
"Nanti minta gantinya sama Papi ya. Aku pinjam 100 ribu untuk bayar taksi." Ucap Qiran kembali.
"Owh... Iya Non. Ini uangnya." Ucap Amar memberikan uang pada Qiran dengan tergesa karena gugup.
"Makasih ya." Ucap Qiran kembali berlari ke arah taksi.
"Ini Pak. Kembaliannya buat Bapak saja." Ucap Qiran kemudian hendak berlari masuk ke rumah. Tapi sayang langkah kakinya tertahan saat melihat sebuah mobil sedan berlogo lingkaran biru dan putih berhenti tepat di depan gerbang. Bukan karena terpesona akan kemewahan yang tergambar jelas dari mobil itu, tapi karena Qiran tahu betul siapa yang ada di dalamnya.
"Papi..." Ucap Qiran saat seorang pria turun dari mobil mewah itu.
Martin yang melihat kedatangan Qiran pun segera berlari meraih tubuh Qiran untuk masuk ke dalam pelukannya. Baru kali ini dia merasakan rindu yang teramat sangat pada anak gadisnya.
Sedangkan Qiran hanya mematung tanpa membalas pelukan Martin. Dia tak menyangka akan disambut dengan pelukan hangat sang ayah. Karena biasanya, Martin akan mengamuk setiap kali Qiran pulang setelah pergi dari rumah berhari-hari. Tanpa sadar Qiran pun menangis. Sebuah tangisan bahagia karena menyadari kerinduan sang ayah padanya.
"Qiran kangen Papi... Hiks..." Tangisnya manja. Bahkan tanpa tahu malu Qiran mengusap wajahnya di jas mahal sang ayah.
"Jangan ngelap ingus di jas Papi dong." Ucap Martin mengacak puncak kepala putrinya. Membuat Qiran memanyunkan wajahnya dengan manja. Sungguh entah sudah berapa lama Qiran tak pernah bermanja-manja kepada ayahnya. Bahkan dia lupa kalau rasanya sebahagia ini. Martin pun mengajak Qiran masuk ke rumah.
"Kamu ingin makan apa? Ingin minum apa?" Tanya Martin perhatian. Sedangkan Qiran menatap ayahnya dengan tatapan tak percaya. Dia tak menyangka ayahnya bisa bersikap sehangat ini padanya. Percuma saja sepanjang jalan Qiran habiskan waktu dengan menangisi nasibnya yang mungkin akan langsung di nikah paksa dengan orang yang akan dijodohkan dengannya.
"Malah bengong anak Papi." Ucap Martin mencubit pipi gembok putrinya.
"Papi aku ga mimpi kan?" Ucap Qiran menepuk kedua pipinya dengan telapak tangan.
"Ini nyata Sayang... Memangnya kenapa bertanya seperti itu?" Ucap Martin bingung menatap putri semata wayangnya. Putri yang mewarisi kecantikan wajah wanita yang sangat dicintainya.
"Hiks... Hiks... Papiiii.... Hiks..." Bukan jawaban yang diterima oleh Martin melainkan sebuah tangisan kuat dari putrinya. Bahkan saat ini Qiran memeluk erat tubuh ayahnya. Sungguh Qiran merasa terharu mendapatkan perlakuan manis ini dari ayahnya. Bertahun-tahun dia menunggu waktu di mana sang ayah akan menyayangi nya. Dan saat ini pun akhirnya tiba. Qiran berjanji dia akan menjadi anak yang baik mulai saat ini.
Sedangkan Martin, hatinya bergetar bahagia. Baru kali ini dia menikmati kedekatannya dengan Qiran. Sungguh dia menyesal selama ini menyia-nyiakan Qiran. Walau dia memenuhi kebutuhan materi anak gadisnya, tapi tak pernah sekalipun memberikan kasih sayang dan perhatian.Bahkan pada Qiran kecil pun tidak. Semua itu dia lakukan karena kemarahannya kepada seseorang. Seseorang yang meninggalkan dirinya bersama bayi yang baru saja dilahirkan yakni putrinya sendiri.
Dan kini Martin benar-benar merasa bersalah.Martin mulai mengeratkan pelukannya. Mengalirkan semua kerinduan kepada Qiran. Pria itu mengecup puncak kepala putrinya berkali-kali.
"Maafkan Papi... Selama ini Papi selalu mengabaikan kamu. Maafkan Papi Nak..." Ucap Martin mengusap punggung Qiran yang bergetar karena Isak tangisnya. Sedangkan Qiran hanya bisa mengangguk.
"Qiran sayang Papi... Sayang banget sama Papi... Maafkan Qiran juga, karena selama ini Qiran selalu membangkang sama Papi... Hiks..." Ucap Qiran terus mengalirkan air matanya.
"Papi juga sangat menyayangi mu Nak. Berhari-hari kau tak pulang membuat Papi merasa sangat kesepian. Jangan pernah pergi lagi dari rumah ya?" Ucap Martin mengusap air mata di pipi putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Iya... Papi... hiks... Kenapa Papi pulang siang? Tumben?" Tanya Qiran penasaran. Karena selama ini dia mengenal ayahnya adalah sosok yang gila kerja. Jangankan pulang malam, tak pulang berhari-hari demi pekerjaan pun sering. Sungguh Qiran selalu merasa diabaikan selama ini.
Pertanyaan Qiran kali ini membuat Martin termenung. Betapa kejamnya dia menjadi seorang ayah yang tak pernah mempedulikan perasaan putrinya. Putri yang seharusnya mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya. Tapi gadis ini malah sudah ditinggalkan ibunya sejak lahir. Dan sebagai seorang ayah seharusnya dia menyayangi Qiran. Tapi dia malah menjadikan Qiran sebagai pelampiasan amarahnya terhadap sang istri yang meninggalkan dirinya demi pria lain. Padahal di sini Qiran lah yang paling menderita.
"Mungkin karena ikatan batin seorang ayah terhadap putrinya. Entah mengapa Papi merasa ingin pulang siang. Papi yakin kamu akan pulang." Ucap Martin mengusap lembut pipi putrinya. Dan ucapan Martin membuat Qiran terharu.
"Hiks... Papi... Ucapan Papi malah membuat Qiran merasa bersalah. Qiran pikir Papi sudah tak peduli Qiran pulang atau tidak. Qiran pikir Papi bahagia Qiran pergi dari rumah... Hiks... Maafkan Qiran Papi... Hiks..." Ucap Qiran kembali menangis.
"Iya Sayang... Papi juga minta maaf... selama ini Papi selalu mengabaikan kamu. Di saat kamu butuh kasih sayang, Papi malah selalu sibuk. Bahkan Papi sering kali marah-marah padamu. Kita mulai semuanya dari awal ya? Papi ga akan memaksa kamu dalam hal apapun. Papi ingin yang terbaik untuk Qiran... Papi sayang Qiran..." Ucap Martin menangkup pipi putrinya kemudian menyatukan kening mereka. Mereka pun tersenyum. Dan Qiran menjauhkan wajahnya karena teringat sesuatu.
"Papi yakin ga akan maksa Qiran dalam hal apapun?" Tanya Qiran penasaran.
"Iya Sayang..." Jawab Martin.
"Serius?" Tanya Qiran memastikan kembali.
"Beriburius Sayang." Jawab Martin mantap.
"Termasuk menjodohkan aku? Papi ga jadi menjodohkan aku dong?" Tanya Qiran kembali. Sungguh hati Qiran mengembang bahagia. Tidak salah dia memilih pulang ke rumah. Karena mimpi buruk menikah dengan pria tua pun sirna. Sungguh Qiran bersyukur kali ini.
"Em... Kalau urusan itu..." Ucap Martin berpikir.