"Papi yakin ga akan maksa Qiran dalam hal apapun?" Tanya Qiran penasaran.
"Iya Sayang..." Jawab Martin.
"Serius?" Tanya Qiran memastikan kembali.
"Beriburius Sayang." Jawab Martin mantap.
"Termasuk menjodohkan aku? Papi ga jadi menjodohkan aku dong?" Tanya Qiran kembali. Sungguh hati Qiran mengembang bahagia. Tidak salah dia memilih pulang ke rumah. Karena mimpi buruk menikah dengan pria tua pun sirna. Sungguh Qiran bersyukur kali ini.
"Em... Kalau urusan itu..." Ucap Martin berpikir.
???
Qiran menunggu jawaban Papinya dengan gemetar. Sungguh dia tak ingin kembali di jodohkan. Pasti akan sulit bagi Qiran menata hatinya. Di saat dia ingin melupakan Rayza, malah harus berhadapan dengan pria yang akan dijodohkan dengannya.
Di sisi lain Martin sang papi memiliki pola pikir yang berbeda dengan Qiran. Sepertinya menghentikan perjodohan akan lebih baik.
"Iya Papi ga akan maksa kamu untuk menikah dengan pria itu. Kamu yang akan menentukan masa depan mu sendiri. Semua demi kebahagiaan kamu Qiran." Ucap Martin mengusap lembut pipi putri semata wayangnya.
"Toh kalian sudah memiliki hubungan yang sangat dekat. Jadi Papi rasa tanpa perjodohan pun kalian akan tetap berjodoh." Ucap Martin membatin. Pola pikir bahagia membuat garis bibirnya melengkung ke atas.
Dan Qiran melonjak bahagia saat mendengar ungkapan Papinya. Sungguh dia tak menyangka keinginannya di kabulkan oleh papinya. Padahal awalnya dia begitu takut pulang ke rumah. Dia benar-benar tak ingin dijodohkan dengan pria yang bahkan tak pernah dia lihat wujudnya.
"Muach... Muach... Makasih Papi." Ucap Qiran mengecup kedua pipi tirus sang Papi. Mendapatkan perlakuan manis dari putrinya membuat jantung Martin berdesir hebat. Sungguh dia menyesal. Mengapa tidak dari dulu dia menjalin hubungan harmonis yang membahagiakan dengan putrinya. Sungguh saat itu dia terlalu sibuk dengan perasaannya yang hancur karena ditinggalkan istri tercintanya. Dengan erat Martin memeluk tubuh putrinya.
"Iya Sayang... Papi ingin menjalin hubungan yang lebih baik diantara kita. Papi ingin menjalin hubungan yang harmonis selayaknya orang tua dengan anaknya. Maafkan Papi yang egois. Maaf Nak..." Ucap Martin mengecup puncak kepala putrinya.
"Iya Papi... Qiran juga minta maaf. Qiran ga nyangka di tahun ini Qiran mendapatkan kado terindah." Ucap Qiran mulai terisak.
Martin pun melepas pelukannya. Dia benar-benar terkejut dan merasa telah menjadi orang tua yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin dia melupakan bahwa hari ini adalah hari ulang tahun putrinya sendiri.
"Astagfirullah hal adzim... Maaf... Papi benar-benar tidak ingat." Ucap Martin penuh rasa bersalah.
"Tidak apa-apa Papi. Santai aja. Qiran udah terbiasa Papi lupa hari ulang tahun Qiran." Ucap Qiran membuat Martin semakin merasa bersalah.
Flashback...
Gadis kecil dengan wajah gembil yang lucu sedang duduk termenung di bawah pohon yang rindang. Sungguh wajahnya murung. Bahkan sesekali netra coklat yang menawan itu menciptakan bulir air mata. Hanya saja belum sempat meng-anak sungai di pipi sudah di usap dengan tangan mungilnya sendiri.
Hati bocah berusia 7 tahun itu begitu gersang. Berbanding terbalik dengan taman yang sedang dia kunjungi. Taman bunga yang indah dan menawan. Bagaimana tidak gersang. Di hari ulang tahunnya. Dia sama sekali tidak mendapatkan kado terindah dari orang terdekatnya. Jangankan sebuah kado, ucapan selamat ulang tahun pun tidak.
"Hiks... Hiks... Papi jahat... Mami jahat... Ga ada yang ingat hati ulang tahun aku... Hiks..." Ucap bocah itu menangis.
"Non cantik jangan nangis dong... Nanti cantiknya hilang." Ucap Bi Inah merayu Qiran. Wanita itu berjongkok di hadapan Qiran kecil sambil mengusap air mata sang gadis kecil.
"Biarin Qiran jelek... Qiran cantik juga percuma... Ga ada yang sayang sama Qiran. Hiks... Hiks..." Gadis kecil itu mulai terisak. Jiwanya sungguh haus akan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Bahkan gadis itu tak pernah menyentuh dan merasakan indahnya kasih sayang dari seorang ibu. Ibunya telah pergi meninggalkan Qiran sejak Qiran dilahirkan. Sedangkan dia hanya dititipkan kepada baby sister karena ayahnya sibuk bekerja.
"Eh... Jangan ngomong gitu dong Non cantik... Papi kan sayang sama Qiran. Mami juga sayang. Apalagi Bibi. Bibi sayang banget sama Non cantik." Ucap wanita yang mengurus Qiran sejak lahir dengan penuh kasih sayang. Bi Inah pun mengangkat tubuh Qiran dan mendudukkan Qiran di pangkuannya. Dengan penuh kasih sayang Bi Inah memeluk tubuh Qiran dari belakang. Membuat Qiran berusaha mencari kenyamanan dalam kehangatan pelukan Bi Inah.
Tanpa terasa Inah pun ikut menangis mendengar curahan hati bocah kecil tak berdosa itu. Bocah yang harusnya mendapatkan segudang kasih sayang dari orang tuanya, tapi malah diabaikan karena keegoisan orang dewasa. Inah mulai mengecup puncak kepala gadis kecil di pangkuannya dengan penuh kasih sayang.
"Papi Qiran kan kerja. Mungkin kerjaan Papi Qiran sangat banyak, jadi Papi Qiran ga sempat ketemu Qiran. Saat Papi Qiran berangkat kerja, kan Qiran masih bobo. Kalo pulang, Qiran sudah bobo. Jadi ga ketemu deh sama Qiran. Papi Qiran sayang kok sama Qiran..." Ucap Inah berusaha menenangkan Qiran.
Untuk sejenak Qiran terdiam karena setuju dengan kata-kata dari satu-satunya orang yang menyayanginya. Tapi sesaat kemudian bocah itu kembali menangis, mengingat tak pernah tahu seperti apa rupa ibu kandungnya. Jangankan melihat langsung, melalui sebuah foto pun tak pernah.
"Kalo Mami sayang kenapa Mami ga pernah nemuin Qiran. Emang ga kangen sama Qiran? Itu kan artinya Mami ga sayang." Ucap gadis polos itu masih terus terisak. Hiks... Jangankan datang menemui Qiran, Qiran lihat foto Mami aja ga pernah. Mami masih hidup atau mati Qiran juga ga tau. Itu kan artinya Mami juga ga sayang sama Qiran... Hiks..." Gadis kecil itu bicara sambil terisak pilu.
"Mami Qiran masih sibuk... Qiran pulang yuk... Bobo siang. Nanti bangun bobo, Mami udah di rumah nemuin Qiran." Ucap Bi Inah mencoba merayu.
"Bibi mah selalu bilang begitu. Nyatanya Mami ga pernah pulang tuh. Bibi bohong... Hiks... Hiks..." Tangis Qiran semakin pecah.
"Sudah jangan nangis lagi dong... Bibi yakin kok suatu saat nanti Qiran akan ketemu sama Mami Qiran. Cup cup cup jangan nangis lagi ya..." Ucap Inah.
"Gimana mau ketemu. Mami kaya gimana aja Qiran ga tau. Ga ada yang sayang sama Qiran Bi... Qiran sedih... Hiks..." Tangis Qiran semakin pecah saat mengatakan tidak ada yang sayang padanya.
Kini Inah sudah tak bisa bercakap apapun lagi. Dia sendiri bingung harus menenangkan Qiran dengan cara apa.
"Yang jelas Bibi sayang sama Qiran. Qiran percaya kan kalo Bibi sayang sama Qiran?" Tanya Inah sambil mengecup puncak kepala gadis kecil di pangkuannya. Qiran pun mengangguk. Tapi tangisan tak pernah lepas dari mata cantik bernetra coklat tersebut.
"Hiks... Hiks... Qiran ingin seperti teman-teman Qiran Bi... Qiran ingin merasakan gimana bahagianya dikasih kado ulang tahun. Jangankan pesta ulang tahun kaya Citra temen Qiran. Dapat kado aja ga pernah. Ga ada yang ingat kalo hari ini, hari ulang tahun Qiran... Hiks... Hiks... Hiks..." Nafas Qiran semakin tercekat karena tangisannya membuat Inah semakin tak tega padanya. Inah pun mengangkat tubuh mungil Qiran agar duduk di kursi taman lagi. Kemudian wanita itu pergi.
"Em... Qiran tunggu Bibi di sini ya... Bibi akan kembali sebentar lagi. Oke?" Tanya Inah kepada bocah yang sejak bayi diasuh olehnya. Hingga rasa kasih dan sayang yang dia rasakan kepada Qiran selayaknya putri sendiri.
Qiran pun mengangguk dan kembali menunduk sedih. Mengabaikan kepergian pengasuhnya yang entah ke mana. Hingga akhirnya...
"Selamat ulang tahun Non cantik..." Ucap seorang wanita yang sangat dia kenal suaranya.
Netra coklat bocah itu segera berbinar menatap sebuah gula kapas dan balon karakter hello Kitty yang dibawa oleh pengasuhnya. Bocah itu segera melompat dari kursi taman dan berloncatan bahagia.
"Horeee... Horeee... Makasih Bi... Ini kado terindah Qiran." Teriak bocah itu karena terlalu bahagia. Kado pertamanya adalah kado terindah baginya.
Flashback end...
Melihat air mata yang mengalir di pipi Qiran membuat Martin semakin khawatir.
"Maafkan Papi... Papi tidak pernah mengucapkan selamat hari lahir padamu Nak... Maafkan Papi... Selamat ulang tahun ya Sayang. Tidak terasa putri Papi sudah berusia 20 tahun hari ini." Ucap Martin kemudian mengecup kening putrinya.
"Iya Papi... Terima kasih." Ucap Qiran kembali meneteskan air mata. Dan kali ini adalah air mata haru karena terlalu bahagia.
"Kamu ingin kado apa dari Papi. Akan Papi belikan. Apa pun itu. Handphone baru? Atau mobil impian kamu?" Tanya Martin antusias.
"Papi... Aku ga butuh apa pun pemberian Papi. Aku hanya butuh kasih sayang Papi. Dan hari ini adalah hari yang paling bahagia untuk Qiran. Papi sudah memberikan perhatian Papi pada Qiran. Dan itu adalah kado terindah buat Qiran." Ucap Qiran membuat Martin mengecup kedua punggung tangan putrinya dengan bergantian.
"Maaf ya Sayang... Papi akan selalu mencurahkan segenap kasih sayang Papi untuk Qiran. Papi harap bisa menebus kesalahan Papi saat Qiran kecil." Ucap Martin meneteskan air mata.
"Terima kasih Papi." Ucap Qiran kembali menangis.
"Jangan berterima kasih. Qiran membuat Papi semakin merasa bersalah. Karena memang seharusnya Papi memberikan perhatian untuk putri Papi yang cantik ini." Ucap Martin membuat Qiran memeluk ayahnya dengan erat.
Hari terindah di mana sebuah kebahagiaan yang diimpikan telah menjadi kenyataan.
Kado terindah kini sudah bukan harapan.
Penantian panjang telah usai.
Qiran merasa ini adalah hari bahagianya.