"Aku cuma mau bilang itu aja. Nanti aku datang ya ke rumah kamu. Kata Ummi aku sih ingin mulai menjalin silaturahmi baik antar besan. Assalamualaikum..." Kemudian pria itu segera menutup panggilan telepon sepihak karena tak ingin kembali mendengar teriakan Qiran yang tak ada habisnya.
"Rayza... Heh... Jangan ditutup teleponnya... Rayza!!!" Teriak Qiran kesal.
****
Qiran pun membanting handphone nya dengan lembut ke atas ranjang yang empuk. Biar bagaimanapun dia sangat menyayangi handphone itu. Jadi walau kesal, Qiran tak akan rela jika handphone nya rusak. Sungguh tak rela.
"Nyebelin banget sih tuh cowo. Ahhh... Mana mau pergi ke sini sama ortunya lagi. Gila kali ya tuh orang. Nyebelin... Nyebelin... Nyebelin..." Teriak Qiran kesal.
Dan saat dia diam, gadis itu baru sadar kalau pikiran otaknya tak sejalan dengan jantungnya yang berdebar kencang. Sungguh dia membenci jantungnya yang sulit diatur. Hanya jantung yang selalu berkhianat terhadap tubuhnya. Reaksinya selalu berlebihan setiap kali merasakan hal apapun yang berhubungan dengan pria bernama Rayza.
Kini Qiran meraba dadanya perlahan. Benar saja. Debaran yang menggila itu sangat terasa menyentuh kulit telapak tangannya.
"Ih... Kok Lo berdebar sih Qiran?" Ucap Qiran heran pada reaksi tubuhnya sendiri. Lalu sesaat kemudian dia menggelengkan kepalanya dengan kuat.
"Enggak... Enggak... Enggak mungkin kan gue jatuh cinta ma cowok kaya Rayza? Cowok ga jelas yang udah kepalang tuwir? Gila... Selera gue masa cowok macam gitu? Lo benar-benar keterlaluan Qiran... Masa sekalinya Lo jatuh cinta, malah sama cowok yang udah berumur. Gila benar... Gila..." Ucap Qiran memarahi dirinya sendiri.
TOK... TOK... TOK...
Kini Qiran menoleh ke arah sumber suara dimana pintunya diketuk seseorang.
"Qiran? Kamu kenapa Nak?" Tanya Martin. Rupanya ayahnya mendengar gerutuan Qiran yang begitu keras.
"Qiran ga apa-apa Pi." Teriak Qiran dari dalam kamarnya.
"Buka pintunya Qiran. Papi benar-benar khawatir." Ucap Martin.
"Qiran benar-benar ga apa-apa Pi. Papi ga usah khawatir." Ucap Qiran kembali berteriak dari dalam kamarnya. Lalu sesaat kemudian Qiran mendengar langkah kaki menjauh dari kamarnya. Qiran pun menghela nafas lega karena papinya telah percaya.
Tapi sayang...
Sungguh sayang...
Setelah beberapa waktu kemudian, pintu kamarnya justru terbuka dan menampakkan sang Papi yang berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. Rupanya kepergian sang Papi justru untuk mengambil kunci cadangan.
Martin pun segera berlari ke arah Qiran membuat Qiran bingung. Entah angin apa yang membuat sang papi seperti melihat sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya. Pria itu justru langsung memeluk tubuh Qiran erat.
"Sayang kamu baik-baik saja kan?" Tanya Martin menangkup wajah putrinya dengan kedua telapak tangannya.
"Aku baik-baik saja kok Pi." Ucap Qiran masih tenggelam dalam rasa bingungnya.
"Kok wajah kamu memerah begitu?" Tanya Martin tidak percaya begitu saja.
Sedangkan Qiran malah panik saat mendengar wajahnya memerah. Pasti karena pikirannya beberapa waktu yang lalu. Qiran pun menepuk kedua pipinya yang semakin memanas.
"Sial... Gara-gara Rayza nih." Qiran membatin.
"Qiran ga kenapa-kenapa kok Pi. Memangnya wajah Qiran memerah ya?" Tanya Qiran panik.
"Iya merah banget. Kamu pusing? Badan kamu rasanya ga enak? Mual? Apanya yang sakit? Bilang sama Papi. Tapi ga demam kok?" Ucap Martin perhatian sambil menyentuh kening putrinya. Dan saat menyadari suhu tubuh Qiran normal. Entah mengapa hatinya berdesir bahagia. Dia menebak sepertinya Qiran sedang dalam sindrom jatuh cinta. Martin pun segera memeluk erat tubuh Qiran. Dan benar dugaannya. Jantung Qiran berdegup tidak normal.
"Hahahaha..." Pria itu tertawa bahagia membuat putrinya mengernyitkan keningnya karena bingung.
"Papi kenapa?" Tanya Qiran. Bukannya menjawab papinya justru mengucapkan pertanyaan lain.
"Kamu sedang jatuh cinta?" Tanya Martin penasaran. Netra hitamnya menelisik netra coklat gadis cantik kesayangannya. Putri kecilnya yang sudah mulai melangkahkan kakinya menuju tangga kedewasaan. Dia sungguh bahagia. Putri semata wayangnya sudah beranjak dewasa dan mulai berkenalan dengan rasa cinta.
"Apaan sih Pi. Aku ga jatuh cinta. Lagian nih ya ga mungkin aku jatuh cinta sama si Rayza. Dokter aneh yang sesuka hatinya sama Qiran. Dokter ga jelas yang udah tua. Dokter yang katanya ganteng padahal cuma sok kegantengan aja. Ih... Ga mungkin lah Pi." Ucap Qiran kesal.
"Lho kok kamu jawabannya gitu? Kan Papi cuma nanya. Kamu lagi jatuh cinta?" Ucap Martin mengulang pertanyaannya.
"Ya enggak lah Pi. Masa iya aku jatuh cinta sama si Rayza." Ucap Qiran kembali menaikkan suaranya.
"Papi enggak sebut merek lho. Kalo kamu sebut merek. Papi malah jadi mikir... Kalo... Kamu emang suka sama dia." Ucap Martin menebak.
"Apaan sih Pi... Ughh... Papi nyebelin banget sih. Udah ah... Qiran malas bercanda sama Papi." Ucap Qiran memanyunkan bibirnya.
"Kamu jatuh cinta sama dia juga ga apa-apa kok. Papi setuju malah." Ucap Martin semakin bahagia menggoda putrinya yang tampak lucu dan kekanakan.
"Apaan sih Pi... Udah ah... Aku sebel sama Papi. Papi keluar sana. Bikin mood aku tambah buruk. Nyebut nama dia lagi. Ih sana ah..." Ucap Qiran mendorong tubuh Martin agar keluar dari kamarnya. Tapi Martin malah tertawa bahagia.
"Papi lihat dia baik dan perhatian sama kamu. Padahal kamu keras kepala." Ucap Martin.
"Papi!!!! Bukannya memuji anak sendiri. Malah memuji anak orang. Emang anak Papi dia? Bukan aku?" Ucap Qiran kesal.
"Hahaha... Kamu kok ngambekan gini sih?" Ucap Martin.
"Udah tau anaknya ngambekan. Udah ah... Males ah sama Papi." Qiran masih terus berusaha mendorong tubuh papinya.
TING NONG...
TING NONG...
Dan kini tenaga Qiran seolah terkuras habis. Dia segera menghentikan tingkah konyolnya yang mendorong tubuh papinya. Sungguh Qiran berdebar. Jantungnya semakin menggila. Bahkan dia bisa merasakan rasa panas menjalar ke arah wajahnya.
"Hah? Secepat ini Rayza datang? Dia beneran nih ajak ortunya? Hah... Gila banget... Aaa... Bisa gila nih gue...." Qiran kembali membatin.
"Kok bengong? Kayaknya pangeran udah datang tuh. Jangan-jangan bawa calon besan Papi juga?" Ucap Martin masih tidak bosan menggoda putrinya.
"Ihhh... Papi apa-apaan sih?" Ucap Qiran semakin kesal karena terus digoda. Rasanya wajahnya semakin mendidih. Qiran yakin wajahnya semakin memerah. Karena kini dia sedang membayangkan bahwa Rayza benar-benar datang bersama orang tuanya.
"Kalau suka ga usah gengsi deh." Ucap Martin masih sibuk menggoda putrinya.
Sejenak Qiran terdiam. Ya... Dia sadar, mungkin dia memang menyukai pria itu. Hanya saja rasa gengsi membuatnya enggan mengakui. Buktinya, jantungnya selalu berdesir tiap kala terkait pria itu. Tapi sesaat kemudian Qiran menggeleng kuat.
"Enggak mungkin." Ucap Qiran tegas.
"Udah ah becanda nya. Papi turun duluan ya? Mau sambut calon besan." Ucap Martin mengedipkan sebelah matanya.
"Papi tau dari mana kalo Rayza datang sama orang tuanya?" Tanya Qiran curiga. Jujur pertanyaan Qiran membuatnya gelisah. Tidak mungkin kan dia mengatakan kalau Rayza sudah menghubungi dirinya lebih dahulu.
"Jadi beneran Rayza datang sama orang tuanya? Papi cuma asal ngomong lho. Wah kalo begitu sih papi harus ganti penampilan supaya kelihatan lebih rapi." Ucap marti. Mengalihkan pembicaraan.
"Papi apa-apaan sih? Ngeselin deh. Ga usah nemuin dia. Aku aja yang turun. Biar sekalian aku usir." Ucap Qiran segera melompat dari ranjang dan berlari ke luar kamar untuk membuka pintu utama.
Sedangkan Martin hanya tersenyum melihat tingkah putrinya yang masih kekanakan. Sangat jauh dari kata dewasa. Mungkin Rayza memang pria yang cocok untuk Qiran. Martin yakin Rayza akan bisa menyayangi Qiran dan menerima sikap kekanakannya.
Qiran dengan cepat melangkahkan kakinya menuju pintu. Dan dia mulai membuka pintu itu dengan sangat kasar. Tapi sesaat kemudian dia malah terpaksa untuk harus tersenyum.
Bagaimana tidak?
Qiran tidak mungkin langsung melabrak pria yang menyebalkan sedangkan di samping pria itu ada wanita yang beberapa jam lalu dia temui. Wanita itu terlihat begitu anggun dengan balutan gamis panjang bernuansa ungu muda. Sangat serasi dengan kulit putihnya yang masih menawan di usia menjelang senja. Bahkan senyuman yang teduh itu seperti air yang dengan suksesnya memadamkan amarah Qiran pada putranya.
"Assalamualaikum Qiran..." Ucap Zahra menyapa Qiran ramah.
"Waalaikum salam Ummi." Ucap Qiran menjawab salam Zahra sambil tersenyum. Jika saja tak ada Zahra mungkin saat ini Qiran sudah langsung menerjang Rayza dengan pukulan.
"Assalamualaikum." Ucap pria di samping Zahra. Sosok pria yang tampak seperti Rayza. Mungkin bisa dikatakan postur dan wajah pria itu akan menjadi cermin Rayza di usia senja.
"Waalaikum salam." Ucap Qiran berusaha ramah.
"Assalamualaikum calon istri." Ucap Rayza kemudian, langsung membuat mood Qiran anjlok seketika. Tapi jantungnya kembali berkhianat karena baper.
lagi-lagi baper.