Delapan

1968 Kata
Setelah urusanku dengan Kai selesai, segera aku turun dan masuk kekamar mas Radja. Dia belum tidur, duduk bersandar papan ranjang dengan pandangan menerawang. “Mas....” Sapaku dengan kikuk. Untuk pertama kalinya aku bermalam dikamarnya. Masa’ iya aku langsung nylonong rebahin tubuh disampingnya, kan lucu. Aku juga bawa selimut sendiri, tapi nggak bawa bantal. Dia menatapku, lalu menepuk kasur disampingnya. “Kesini, agar kamu bisa mendengar ceritaku dengan mudah.” Cerita? Baiklah, dia memang sedang membutuhkan pendengar. Aku akan mendengarkannya. “Apa aku bikin kopi dulu mas?” usulku, karna sepertinya kita butuh ini. Dia ngangguk, dan aku segera kedapur untuk membuat kopi. Kembali dengan dua gelas kopi hitam dan ikutan duduk bersandar papan ranjang. Mas Radja memegang album foto, sepertinya itu foto pernikahan. Aku hanya diam tak banyak tanya. Kusesap kopiku, lalu kembali kutaruh diatas nakas. 15 manit, 30 menit, 1 jam kami hanya saling diam. Akupun bingung, mau mulai tidur nggak enak juga, karna dia nggak juga tidur. Dia asik membolak-balikkan album foto itu. “Mau lihat,” tawarnya sambil menyodorkan album besar yang sedari tadi dia nikmati. Aku meraihnya, terlihat jelas sampul depan, foto mas Radja bersama seorang wanita dengan balutan gaun mewah berwarna putih yang mengespos kulit punggungnya. Dia sangat cantik, umurnya lebih tua dari aku. Matanya bulat dan senyumnya sangat manis. “Cantik,” tanpa sadar aku mengungkapkan pujianku pada wanita ini. Mas Radja tersenyum kecil. “Dia wanita paling cantik dihidupku setelah mami.” “Ini almarhum istrimu mas?” tanyaku dengan penasaran. Walau aku sudah tau jawabannya. Dia ngangguk. “Namanya Raya, Soraya Ferani. Kami berpacaran lima tahun, papi sempat menentang hubungan kami. Dia menyetujui setelah aku mengatakan jika Raya tengah hamil anakku.” Aku menatapnya tak percaya. Jadi, mas Radja melakukan itu sebelum mereka menikah. Bahkan hamil diluar nikah. “Kami terpaksa melakukan itu agar bisa tetap menikah. Dan hari ini, adalah malam pertama kami. Tepat disatu tahun pernikahan kami. Tak menyangka, takdir kejam membawa mereka pergi meninggalkanku sendirian. Aku sangat menyayangkan karna aku selamat. Kenapa saat itu aku tak ikut hanyut dan mati bersama mereka? Mungkin kita akan menjadi keluarga bahagia disurga sana.” Aku tetap diam mendengarkannya. Aku tau dia tak butuh tanggapan atau nasehat, dia hanya butuh pendengar untuk saat ini. “Maafkan aku sudah memaksamu menikah denganku, tapi aku sungguh membutuhkan seseorang disampingku.” Dia tertunduk, menekan kedua matanya. “Aku sangat kesepian, dan kehadiranmu mampu membuatku kembali merasa ramai.” Kuelus punggungnya, berharap dia kuat ngadapi kenyataan jika istri kesayangannya udah meninggal. “Sabar ya mas. Semoga mbak Raya tenang disana.” “Makasih Na.” Untuk pertama kalinya dia manggil namaku. Aku pun tersenyum. “Tiduk yuk mas, ini udah jam 2 dini hari. Kamu besok bisa telat kerja.” “Iya.” Kita melorot kebawah dan narik selimut masing-masing. Mulai merem. ~~ Pov author Pukul 5.00am Radja udah membuka matanya. Semalam dia nggak bisa tidur, bayangan Raya selalu saja muncul dikepalanya. Iseng perhatiin Yana yang tidur miring menghadap kearahnya. Cantik, Batinnya, dulu saat menikah dia nggak sempat liat wajah Yana secara detail. Baru akhir-akhir ini dia sering diam-diam melirik Yana yang sedang fokus sama aktifitasnya. Tanpa sadar, ujung bibirnya terangkat sedikit membuat sebuah senyuman manis. “Makasih udah hadir dihidupku. Aku akan belajar mencintaimu.” Ucapnya dengan terus menatap wajah Yana yang masih pulas tidur. Dia duduk, meraih tongkat dan mulai melangkah pelan masuk ke kamar mandi. Cukup lama membersihkan diri. Saat keluar kamar mandi, Yana masih tidur seperti semula. Radja membenarkan selimut Yana dan berlalu keluar kamar meninggalkannya. Duduk disofa depan tv dan mulai membuka laptopnya. Sekitar setengah jam berkulat dengan laptop, mbok Esti meletakkan teh hangat diatas meja samping laptopnya. “Diminum dulu mas.” Ucap mbok Esti. “Iya mbok, nanti aku minum. Makasih.” Jawabnya tanpa berpaling dari layar. Mbok Esti memilih pergi melanjutkan pekerjaannya. Kai turun sudah dengan setelan kemeja. Bertepatan dengan Yana yang membuka pintu kamar Radja dengan menenteng selimut dan menutupi mulut dengan satu tangan karna menguap. Muka bantal masih jelas terlihat, matanya masih pengen merem karna semalam begadang. Yana ngeloyor masuk ke kamar, bahkan dia nggak sadar jika Kai dan Radja memperhatikannya dari tadi. Kai menatap Radja dengan penuh cemburu. “Ini mas Kai sudah saya buatkan teh hangat.” Mbok Esti meletakkan teh hangat di atas meja makan dekat tangga. “Iya. Makasih.” Kai mendekati kakaknya, duduk disamping Radja. “Kakak semalam begadang ya?” Radja hanya nganggu tanpa menatap Kai. Kai menghempaskan badannya disofa dengan kasar. Tentu pikirannya udah mengarah kesana. Dia ngebayangin Yana yang mungkin melakukan hubungan suami istri dengan kakaknya. Kaya’nya aku nggak bisa kek gini terus. Apalagi nanti aku harus pergi ke Palembang dan lama nggak ketemu mbak Yana. Baiknya ngomong jujur sama Kak Radja aja kalo aku dan mbak Yana itu pacaran. Batinnya. Kai kembali menegakkan tubuhnya, menatap Radja lekat. “Kak,” panggilnya pelan. “Hhmm,” Radja masih aja nggak natap Kai. “Aku mau ngomong penting.” Radja mulai menekan tombol enter dan tersenyum lega. “Alkhamdulilah selesai.” Dia tutup laptopnya dan mulai menatap adiknya. “Ngomong apa?” “Sebenarnya aku dan....” “Wooii!! Tumben kamu udah rapi Kai.” Panji datang memotong kata-kata Kai. Kai menghembuskan nafas kesalnya, menutup mata untuk mengatur perasaannya. “Kebiasaan, datang tanpa salam. Nyelonong aja!!” Radja menatap Panji dengan kesal. Berganti menatap Kai lagi. “Tadi mau ngomong apa?” “Besok aja kak.” Kai berdiri dan mulai duduk dimeja makan. Panji dan Radja ikutan gabung di meja makan. Tak begitu lama Yana keluar dari kamarnya, tatapannya tertuju pada ketiga pria yang duduk dimeja makan memperhatikannya. Dia hanya senyum dan menundukkan sedikit badannya lalu pergi kedapur membantu mbok Esti menyiapkan sarapan pagi. “Istri cantik gitu kamu anggurin Dja?” ucap Panji yang langsung dapat tatapan sinis dari Kai. “Siapa yang anggurin?” balas Radja. “Jadi sekarang udah mulai nerima dia?” tanya Panji dengan antusias. Radja hanya mencibir. “Kepo.” Panji tersenyum kecil mendengar jawaban Radja yang nggak memuaskan. Wajah Kai makin terlihat nggak enak dipandang. Panji yang menyadari itu, merangkul pundak Kai. “Hey, kamu lagi berantem sama pacar ya? Kok muram banget?” Yana datang membawa piring besar berisi 8 potong sandwick, disusul mbok Esti yang membawa teko besar berisi s**u dan beberapa gelas kosong. “Kita sarapan dulu.” Ajak Radja. Dia menarik lengan Yana yang akan kembali kedapur. “Duduk, sarapan dulu. Nanti kerja lagi.” “Aku sarapan didapur aja mas, bareng mbok Esti kaya’ biasanya.” Tolaknya. “Enggak. Disini aja. Duduk.” Perintah Radja dengan tegas. Yana nggak bisa nolak kalau Radja udah begini. Dia duduk disamping Radja. Panji dan Kai menjadi penikmat obrolan Yana dan Radja. Mereka berempat sarapan bareng dengan diam. “nanti berangkat jam berapa?” tanya Radja setelah selesai makan. Yana menuangkan s**u untuk suaminya. Kai menatap tak suka pada perlakuan Yana. Tapi Yana tetap diam, bahkan nggak menyadari itu. “pesawatnya jam 10.” Panji yang jawab. “Aku nggak usah ikut aja ya.” Kata kai menyela obrolan kedua kakaknya. Panji langsung nonyor kepala Kai. “Katanya udah punya pacar? Harus rajin kerja biar cepat bisa minang mbak pacar.” “iisshh,” desisnya. “Kamu harus serius Kai, mumpung belum masuk kuliah.” Sahut radja. “Iya, iya.” Jawab kai dengan malas. Yana memberesi piring kotor dan membawanya kedapur. Ketiga pria itu mulai keluar rumah untuk berangkat kekantor. Radja dan Panji sudah masuk kedalam mobil. “Eh, bentar ya, ponselku ketinggal di kamar.” Kai berlari kembali masuk kedalam rumah. Langsung masuk kedapur. Dilihatnya Yana sedang berdiri didepan wastafle mencuci gelas. Tanpa aba-aba Kai memeluk Yana dari belakang, melingkarkan kedua tangan diperut Yana. “Astaga Kai, bikin jantungan.” Yana menjingkat kaget, bahkan gelas ditangannya hampir saja jatuh. “Jangan gini, nanti ada yang lihat.” “Mbak, kita nggak akan ketemu lama. Gimana kalo aku kangen?” “Iihh Kai kamu apaan sih. Besok kamu juga balik lagi kan.” “Semalam kamu nggak ngapa-ngapain kan sama kak Radja?” tanyanya penuh selidik. Yana membalikkan badannya hingga mereka saling berhadapan. “Kita nggak ngapa-ngapain sayang. Aku Cuma dengerin mas Radja cerita tentang mantan istrinya aja.” “Syukur deh. Aku nggak mau kamu dijebol sama kak Radja. Aku nggak rela mbak.” Kai menggenggam erat tangan Yana. “Iya, nggak akan Kai.” “Jaga buat aku aja ya mbak.” “Kai,” mata Yana membulat, dia tak percaya Kai akan mengatakan hal ini. “Tapi sekalipun kamu udah nggak perawan karna kak Radja, aku tetap mencintaimu.” Perlahan bibir mereka menyatu. Kai mencium lembut bibir Yana, memegang leher Yana dengan kedua tangannya dan tangan Yana menempel dibagian d**a Kai. “Kai cepetan!!!” teriakan Panji dari depan mengusik kenikmatan mereka berdua. Kai melepaskan pagutannya. Mengelap bibir Yana yang basah. “Aku pergi ya mbak. Jaga diri baik-baik, tetap cinta sama aku ya.” Lalu mengecup kening Yana lembut. Kai mulai melangkah meninggalkan Yana, tapi tangannya ditarik kembali. Yana langsung memeluk Kai. “Aku sayang sama kamu Kai.” Kai tersenyum dan mengelus kepala Yana dengan perasaan yang begitu bahagia. “Aku juga mbak.” Prrakkk Dua manusia yang sedang menikmati moment romantis ini terkejut dengan suara ember jatuh mengenai lantai. Mbok Esti berdiri dipintu samping dapur dengan mulut membulat dan mata melotot. “Aku pamit ya mbok, jagain pacarku.” Ucap Kai tanpa dosa, dia kembali mencium kening Yana dan berlalu pergi. Tak dia pedulikan wajah Yana yang memucat karna ketahuan selingkuh dan mbok Esti yang terkejut setengah mati mengetahui adegan beberapa menit serta obrolan ringan majikannya. Tinggallah Yana dengan sejuta rasa khawatirnya,rasa takut jika nanti mbok Esti akan menceritakan kejadian ini pada suaminya. Yana mendekati mbok Esti dan mengajaknya duduk berhadapan dikursi dapur. Sebelumnya Yana mengambilkan segelas minum dan menyuruh mbok Esti minum lebih dulu. “Non, benar apa yang tadi mas Kai bilang?” tanyanya setelah tenang. “yang mana mbok?” tanya Yana pura-pura bodoh. “Non Yana sama Mas Kai pacaran?” Yana diam, dia masih khawatir. Tapi semua juga sudah dilihat oleh pembantunya ini. Akhirnya Yana hanya mengangguk. “Maaf non, sejak kapan kalian bermain dibelakang mas Radja?” “Mbok, aku mohon jangan ceritakan ini sama mas Radja ya. Aku nggak mau dia marah sama Kai. Kalau pun dia mengusirku dan marah padaku, aku nggak masalah. Tapi aku nggak mau dia marah sama Kai.” Pinta Yana dengan sungguh-sungguh. Mbok Esti sibuk mengatur nafasnya yang hampir berhenti. “Tapi ini salah non.” “Aku sudah pacaran sama Kai sebelum menikah dengan mas Radja mbok. Kami kenal saat Kai masih sekolah. Aku sendiri nggak nyangka kalau kita jadi saudara ipar.” Yana tersenyum getir mengingat semuanya. Bahkan dia pun tak menyangka jika takdir akan mempertemukan cintanya dengan kenyataan seperti ini. “sehari sebelum menikah aku sudah memutuskan hubunganku dengan Kai, aku mengganti nomor telfon hingga Kai tak bisa lagi menghubungiku. Baru beberapa hari yang lalu kami dipertemukan kembali. Aku sudah menolaknya, tapi Kai tetap seperti itu. Dia selalu mengatakan jika tak pernah menganggap aku kakak iparnya. Menurut mbok Esti, aku harus gimana?” Yana menerawang, mengusap bulir yang hampir menetes dipipinya. Dia tau ini salah, tapi dia juga nggak bisa munafik. Hatinya tertinggal di Kai. Terlebih Radja tidak pernah perhatian padanya, lebih tepatnya tidak mencintainya. Salahkan jika perasaannya makin bertambah untuk Kai? Mbok Esti menyentuh pundak Yana. Dia menghembuskan nafas kasarnya berkali-kali. “Saya yang merawat mas Kai dari kecil, dia bukan orang yang mudah jatuh cinta. Dari dulu dia belum pernah pacaran. Baru kali ini saya melihatnya dekat dengan wanita, dan itu......non Yana, kakak iparnya sendiri.” Mbok Esti memberi jeda, terlihat banyak kegundahan diwajahnya. “Saya juga bingung non harus nasehati gimana. Karna sejujurnya saya sangat berharap non Yana bisa mengisi kekosongan hati mas Radja. Dan saya lihat, mas Radja mulai membuka hatinya untuk non Yana.” Yana menatap mbok Esti mencari kebenaran dari kata-katanya itu. “Tapi....bagaimana dengan mas Kai nanti,” lanjutnya dengan resah. Mbok Esti menyayangi dua lelaki kakak beradik itu layaknya anak sendiri. Dia sangat memikirkan kebahagiaan tuannya. ° Obrolannya dengan mbok Esti tadi pagi cukup membuat pikiran Yana gelisah. Awalnya dia enjoy dan ingin menjalaninya seperti air yang mengalir saja. Tapi mengingat perasaan Radja yang katanya mulai merespon kehadirannya, itu membuatnya jadi kepikiran. Ddrrtt....ddrrttt Lamunannya buyar ketika ponselnya bergetar, sebuah telfon masuk dari Kai. Segera dia men-dial tombol warna hijau. “Hallo Kai,” sapanya. “Mbak, lagi apa?” suara Kai dari sebrang sana. “Ini lagi duduk ditaman sambil lihat ikan.” “Kangen mbak,” ucapnya manja. Yana tersenyum mendengar pengakuan Kai. “Belum ada sehari kan,” “Pengenku sih dekat terus mbak.” “HahHhh...” yana tertawa kecil. “Na,” panggilan dari seseorang yang sudah berdiri dibelakang mengagetkan Yana. Radja sudah berdiri dengan bantuan tongkat. “Lagi telfon siapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN