Harumi melepas mukenanya perlahan setelah sholat shubuh, perasaannya terasa lebih tenang setelah kemarin kembali emosi karena sikap Gin.
Perlahan Harumi menarik nafas dan menghembuskannya. Tubuhnya terasa sakit dan tak nyaman, yang ia inginkan pagi itu hanyalah segelas air putih hangat untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Perlahan Harumi keluar dari kamar dan berjalan mengendap-ngendap menuju dapur bersih di dalam rumah itu. Suasana di dalam rumah masih gelap walau waktu sudah menunjukan pukul 5.30 pagi. Harumi hanya tak ingin bertemu dengan Gin, karena ia tahu suaminya biasanya selalu bangun pagi dan berolahraga sendiri sebelum beraktivitas ke kantor.
“Ngapain kamu? Jalan kok kaya maling mengendap-endap begitu!” tegur Gin tiba-tiba telah berada di belakang tubuh Harumi.
Harumi tak menyadari bahwa tak hanya dirinya yang tengah gelisah karena pertengkaran dengan suaminya kemarin, tetapi juga Gin yang semalaman tidak bisa tidur nyenyak seolah ada yang mengganjal dihatinya.
Setelah bangun dan sholat subuh Gin memutuskan untuk menghabiskan energinya dengan mengangkat beban di ruangan Gym kecil yang tak jauh dari dapur.
Harumi hampir saja melompat saking kagetnya, ia segera menoleh dan menatap suaminya dengan tatapan tajam karena merasa kesal dikagetkan seperti itu.
“Ck! Aku sengaja jalan pelan-pelan supaya gak ketemu mas Gin!” jawab Harumi dengan nada kesal dan kali ini ia segera menghidupkan lampu agar bisa melihat.
“Ck! Sok iye, tentu saja cepat atau lambat kamu akan selalu bertemu denganku, udah deh gak usah pake cara-cara merajuk seperti itu lagi,” ucap Gin sambil mengernyitkan keningnya tampak tak suka.
Harumi memilih untuk diam, biasanya jika Gin sudah berkata nyinyir seperti itu ia pasti akan segera membalasnya penuh emosi untuk melawan semua tafsiran Gin tentang dirinya. Tapi kali ini ia tidak mau. Harumi segera menyambar gelas dan mengisinya dengan air hangat lalu kembali ke dalam kamar tidurnya.
Ternyata rasa kesalnya pada Gin tak bisa hilang begitu saja. Ia merasa kesal sendiri karena kini ia terpancing emosi walau sudah berusaha untuk meredamnya. Harumi memutuskan untuk pergi mandi untuk mendinginkan kepalanya.
Ia bergegas membuka bajunya dan menyalakan shower dengan kasar. Sambil menunggu air showernya menjadi lebih hangat, Harumi meremas -remas tangannya untuk menghilangkan rasa kesal, tetapi yang ada ia malah semakin kesal.
Melihat ada pajangan terbuat dari tembaga tak jauh dari tempatnya berdiri membuat Harumi segera mengambilnya tanpa berpikir dan membantingnya ke arah kran sambil berteriak tertahan berharap bisa melempar benda kecil yang berat itu kepada Gin. Suara benda dilempar itu terdengar sangat keras menunjukan emosi Harumi yang begitu besar.
Hatinya terasa lebih lega setelah berteriak tanpa suara dan melempar benda dengan penuh kekuatan rasa marah. Perlahan Harumi mulai membasuh tubuhnya dengan air hangat dari ujung rambut sampai ujung kaki sambil berdiam diri sejenak dibawah shower untuk menenangkan hatinya yang kacau.
Harumi tak menyadari bahwa lemparan keras benda yang terbuat dari tembaga itu ternyata merusak kran air sehingga menjadi longgar dan tak lama kemudian kran itu terpental dan sempat mengenai tubuh Harumi sebelum ledakan air dari kran yang terbuka membuat semburan keras dan kuat.
“Ahhhhh!” jerit Harumi ketika merasa sakit didekat pinggangnya karena terkena kran yang terpental. Tetapi rasa sakit itu ia abaikan ketika ia melihat air yang keluar dari kran tanpa henti.
“Masssss! Bu Ipaahhhh!” jerit Harumi histeris mencoba menahan air yang menciprati kamar mandi indah itu menjadi basah dan tergenang air.
“Tolongg! Mass!! Bu Ipahhhhh!” jerit Harumi sekeras mungkin dan mulai menyingkir kepinggir tak bisa menahan air yang terus keluar deras.
Tiba-tiba terdengar dentuman di pintu kamar mandi dan teriakan orang diluar seolah ingin mencoba membuka paksa pintu yang terkunci.
Harumi segera berjalan perlahan agar tak tergelincir untuk membuka pintu kamar mandi yang terkunci.
Terlihat Gin berdiri cemas dan tampak tertegun ketika melihat Harumi berdiri telanjang bulat tak peduli.
“Tolong mas! Tolong matikan mesin air! Krannya meledak!” ucap Harumi panik.
Gin masih terdiam, sampai ia mendengar jeritan Harumi lagi.
“Mas! Kok malah liatin aku?! Kaya gak pernah lihat aku telanjang aja!” ucap Harumi kesal.
“Ck! Aku bosan lihat kamu telanjang 5 tahun ini! Tunggu sebentar!” ucap Gin cepat dan segera berlari meninggalkan Harumi untuk mematikan mesin air.
Setelah mesin air itu mati, Gin kembali ke dalam kamar dan melihat Harumi tengah mencoba mengeringkan lantai dengan Kanebo yang selalu ada di lemari kecil tempat penyimpanan yang ada disetiap kamar mandi.
Gin hanya menggelengkan kepala dan mengalihkan pandangannya ketika melihat Harumi tanpa busana meliuk - liuk berjongkok dilantai mencoba mengeringkan lantai.
“Ngapain sih kamu?! Sudah biar bu ipah saja yang membereskan! Berdiri!” suruh Gin segera mengambil bathrobe dan menarik Harumi lalu segera menutupi tubuh istrinya.
Sepasang suami istri itu saling berpegangan sesaat karena lantai yang biasanya kering kini terasa sangat licin terkena air. Mereka berjalan berdua kembali ke dalam kamar. Harumi segera merapatkan bathrobenya sedangkan Gin kembali mengintip kearah kamar mandi dan menatap heran kran air yang biasanya kuat bisa terlepas dari tempatnya.
“Kamu habis ngapain sih?!” tanya Gin kesal.
Harumi hanya diam dan mencoba mengeringkan tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri sedangkan Gin segera sibuk menghubungi tukang air langganannya agar segera datang kerumah.
Selesai menelpon, Gin segera mencari Harumi yang telah meninggalkan kamar dan terlihat berjalan menuju kamar tamu lainnya.
“Mau kemana kamu?!”
“Aku harus menyelesaikan mandiku mas! Pukul 8 nanti aku sudah harus berangkat dari rumah ini karena pukul 9 aku sudah harus sampai di kantor!” jawab Harumi gusar.
“Sudah, mandi di kamar mandi kita saja!” ucap Gin sambil menarik tangan Harumi untuk mengikutinya naik tangga menuju kamar tidur mereka.
Harumi pun tak bisa menolak, ia segera masuk dan melihat bahwa di lemari pakaian semua pakaiannya masih terpajang dan tersimpan utuh, bahkan kali ini susunannya lebih rapi.
“Lebih baik kamu mengenakan pakaian yang ada di lemari itu sekarang, banyak sekali yang sudah kamu beli tetapi belum pernah kamu pakai sama sekali. Bu Ipah selalu mencicil semua pakaian itu untuk dikirim ke laundry agar tetap bersih, termasuk pakaian dalammu.”
Mendengar ucapan Gin, Harumi hanya diam dan segera melengos tak peduli lalu bergegas menuju kamar mandi. Sesaat Harumi memperhatikan isi kamar mandi yang dulu menjadi miliknya dan Gin. Tak ada sikat gigi lain selain sikat gigi milik Gin, sisanya hanyalah men’s product milik Gin dan skin care milik Harumi yang masih berada ditempat yang sama.
Ada pertanyaan dihati Harumi, apakah Gin tak pernah membawa Bianca ke dalam kamar ini? Tapi pikiran itu segera ia tepis karena itu bukan urusannya jika sang suami berani mengajak selingkuhannya masuk atau menginap sekalipun dikamar itu. Ia sudah tak perlu peduli, toh cepat atau lambat mereka akan berpisah dan Gin mungkin akan segera menikahi Bianca.
Harumi pun segera membersihkan dirinya kembali dan kini mulai terlihat memar kemerahan didekat pinggangnya bekas terkena kran.
“Mas! Aku lagi mandi!” teriak Harumi yang tengah mengosok tubuhnya dengan sabun ketika Gin tiba-tiba masuk dan menuju toilet.
“Aku cuma ingin pipis!” jawab Gin santai lalu segera menuntaskan hajatnya sedangkan Harumi dengan kesal membalik badannya agar Gin tak melihat bagian depan tubuhnya untuk segera ia bilas.
Dulu ia selalu merasa senang jika Gin tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi ketika ia tengah berendam atau sedang mandi. Tapi kini ia merasa sangat canggung, walau tadi ia sampai merasa lupa akan rasa malu dan canggungnya berdiri telanjang kesana kemari dihadapan Gin saat panik ketika kran airnya lepas.
Perlahan Harumi keluar dari kamar mandi dan melihat Gin masih berada di dalam kamar seolah menunggunya. Harumi menahan nafasnya ketika Gin tiba-tiba mendudukan tubuhnya diatas ranjang dan membuka bathrobe cepat.
“Mas kamu mau apa?!” pekik Harumi tampak terkejut dan cemas.
“Diamlah! Aku tak bermaksud apapun padamu, tapi memar itu tampak parah. Aku hanya ingin mengobatinya, setelah ini kalau ada waktu kamu lebih baik ke dokter untuk memeriksakannya,” ucap Gin sambil mendorong Harumi perlahan dan menyemprotkan pereda rasa nyeri dibagian memar di dekat pinggang Harumi tanpa memandang bagian tubuh lainnya.
Harumi hanya diam, ia tak bisa memungkiri bahwa perhatian Gin yang seperti ini yang dulu membuatnya jatuh cinta. Setelah diobati, melihat suaminya tampak tak peduli akan tubuhnya yang terbuka membuat Harumi merasa tenang. Ia segera berdiri dan berjalan menuju lemari pakaian dalamnya, melempar bathrobe basah ke lantai dan dengan santainya memakai pakaian dalam tanpa peduli pada Gin yang masih ada di dalam kamar.
Gin hanya menghela nafas lega, melihat sikap acuh Harumi membuatnya merasa lega. Ia seolah mengenali Harumi yang selama ini ia kenal. Harumi yang cuek, tak peduli dan bebas. Perlahan Gin keluar dari kamar dan menutup pintu seolah membiarkan sang istri untuk menikmati waktunya sendiri.
Bersambung.