“Ayo aku antar,” ucap Gin pelan, melihat sikap Harumi yang tegas membuat Gin sadar bahwa istri bersungguh-sungguh.
Gin benar-benar terkejut ketika melihat dimana Harumi tinggal, walau itu adalah komplek perumahan tetapi menuju kearahnya seolah daerah liar. Macet, penuh dengan orang yang berjualan kaki lima dan lain sebagainya.
“Itu rumahku,” tunjuk Harumi saat mereka hampir sampai.
Gin menatap rumah yang ditunjuk Harumi. Rumah itu benar-benar rumah kecil seolah terhimpit diantara rumah lain yang jauh lebih besar. Halamannya saja mungkin hanya satu meter kali 3 meter. Dan terlihat ada jemuran handuk kecil di depannya.
“Aku mau mampir,” ucap Gin ikut turun ketika Harumi turun tanpa menoleh.
“Mau ngapain mampir sih, mas?! Mau menjadikan kondisiku sebagai olok-olokan kamu lagi?!”
Harumi terlihat gusar melihat Gin ikut turun.
“Bagaimanapun kamu masih istriku! Aku harus tahu kondisi kehidupanmu sekarang, apalagi tadi kamu berniat membawa mami kerumah sekecil ini!”
“Terserah kamulah,” jawab Harumi ketus dan segera membuka pintu rumahnya dan memberi salam.
Gin benar-benar terkejut saat masuk lalu melihat kondisi rumah Harumi. Ketika membuka pintu ia bisa langsung bisa melihat dapur yang berada paling pojok, dan ruangan kosong tanpa kursi hanya hamparan karpet murahan sebagai tempat untuk duduk.
“Maaf dirumahku tak ada sofa atau kursi. Duduklah, biar aku buatkan kamu minum,” ucap Harumi perlahan seolah mengerti keterkejutan Gin.
Tetapi Gin tidak duduk, ia segera membuka 3 pintu yang ada di rumah itu, 1 pintu kamar Harumi, 1 pintu kamar kosong dan 1 lagi pintu kamar mandi.
Gin masuk ke dalam kamar Harumi yang kecil dan sempit yang hanya berisi sebuah ranjang tanpa dipan, meja setrikaan kecil, lemari plastik dan meja kecil disamping tempat tidur.
“Apaan ini?” tanya Gin tak percaya dengan penglihatannya. Tetapi melihat Harumi begitu lincah di dalam rumahnya sendiri membuatnya mau tak mau percaya bahwa istrinya memang tinggal disitu.
“Kok apa-apaan? Ini memang tempat tinggalku,” jawab Harumi santai sambil duduk diatas karpet dan meletakan segelas teh untuk suaminya.
Gin menoleh dan berjalan mendekati Harumi.
“Apa ini caramu untuk membalasku untuk menunjukan rasa marahmu?” ucap Gin sambil menutup pintu, ia ingin berbicara serius dengan istrinya.
“Kenapa lagi sih mas? Kamu mau bilang kehidupanku saat ini adalah drama yang kubuat lagi untuk mencari perhatianmu? Gitu?” dengus Harumi merasa lelah sikap Gin yang terus menerus menganggapnya mencari perhatian.
“Lebih baik kamu pulang mas, aku sudah lelah. Rasa penasaranmu sudah terpenuhi bukan?” ucap Harumi segera berdiri lalu mendorong suaminya pelan ke arah pintu untuk menyuruhnya pulang.
“Sampai kapan kamu mau menahan gengsimu dan bertahan hidup susah seperti ini, hanya karena kamu marah?! Kamu hanya menyiksa dirimu sendiri!”
Harumi diam dan menatap suaminya dengan pandangan tajam.
“Kamu tahu mas? Rumah ini sangat membuatku nyaman daripada rumah kita dulu! Rumah ini adalah saksi bisu dimana aku harus menangis setiap saat dan setiap hari untuk bisa bertahan hidup! Rumah ini adalah saksi bisu dimana aku merasa sakau karena rindu, sakit hati dan terluka gara-gara kamu. Rumah ini adalah teman sejatiku dimana aku akhirnya bisa menerima kenyataan hidup bahwa aku sudah kehilangan suamiku, sahabatku, dan aku berjuang sendiri untuk bisa menyambung hidup! Rumah ini tempatku memulihkan luka hati. Aku sudah tenang sekarang, tolong jangan kembalikan luka itu lagi padaku. Biarkan aku sendiri …,” ucap Harumi penuh kemarahan sampai suaranya parau dan matanya berkaca-kaca.
“Pulanglah,” bisik Harumi pelan seolah tak mampu lagi untuk bisa berbicara dengan Gin. Ia hanya ingin istirahat.
“Kamu harus ikut pulang bersamaku,” ucap Gin cepat sambil mencabut kunci dan mengambil tas Harumi yang tergeletak dilantai. Lalu ia segera membuka pintu dan menarik Harumi keluar rumah.
“Aku gak mau!” pekik Harumi mencoba melepaskan diri dari Gin.
“Diam!” bentak Gin dengan suara pelan dan dalam.
“Mas, aku gak mau!” isak Harumi penuh rasa marah saat Gin mendorongnya masuk ke dalam mobil dengan kasar.
“Kalau kamu ingin terus menunjukan dirimu sebagai korban dalam hubungan kita, terserah! Tapi aku benar-benar lelah melihat sikapmu seperti ini! Menunjukan dirimu miskin tak akan membuatku luluh!”
Mendengar ucapan Gin, Harumi menjadi menggila! Ia marah karena seolah tak dikasih kesempatan untuk dipercaya bahwa saat ini hidupnya memang seperti itu! Ia begitu marah karena Gin memandang rendah dirinya.
Tapi Gin terlihat tak peduli. Harumi seperti anak kecil yang sedang tantrum yang terus menerus menangis dan berteriak-teriak pada Gin. Tetapi pria itu tetap tenang mengendarai mobilnya seolah sudah terbiasa dengan sikap Harumi yang histeris. Entah mengapa melihat Harumi histeris, Gin merasa lega karena seolah Harumi sudah kembali menjadi dirinya sendiri.
Sampai rumah pun Gin segera menarik Harumi masuk rumah dengan kasar sehingga perempuan itu terhempas di sofa.
Wajah Harumi tampak kacau karena tangisan selama perjalanan. Nafasnya terlihat terengah-engah dan menatap Gin dengan pandangan marah.
Terlihat bu Ipah datang menghampiri mereka berdua dengan tergesa-gesa.
“Udah mas… kasihan mbak Harumi,” bujuk bu Ipah hampir menangis ketika kembali melihat majikan perempuannya.
Melihat bu Ipah yang pernah ia pecat dan kembali ada dirumah itu membuat tangisan Harumi meledak dan segera memeluk bu Ipah erat. Dulu hanya perempuan tua ini yang menjadi teman setianya selama Harumi berada dirumah itu.
“Udah mbak, jangan bertengkar terus… apalagi bu Rima mau tinggal disini … gak baik… sabar mbak … sabar…,” bujuk bu Ipah ikut menangis karena ia tahu apa yang terjadi pada Harumi.
Perempuan yang terkenal manja ini hanyalah perempuan kesepian yang membutuhkan kasih sayang dimata bu Ipah.
Gin melemparkan tas Harumi ke atas sofa dimana Harumi tengah menangis dipeluk bu Ipah seraya berkata,
“Tolong bersihkan salah satu kamar untuk dia, bu! Kasih dia makan karena diluar sana ia seperti gelandangan!” ketus Gin sambil menatap Harumi tajam sebelum akhirnya ia berjalan ke lantai atas menuju kamar tidurnya dan membanting pintu dengan keras.
Gin berjalan kesana kemari dengan nafas yang terengah-engah penuh kemarahan. Entah mengapa ia begitu marah saat ini. Ia marah karena Harumi mempersulit hidupnya sendiri dan bertahan susah. Sebegitu benci dan marahnya kah Harumi padanya sehingga perempuan yang lemah itu kini berdiri kuat seolah menunjukan bahwa ia tak membutuhkan Gin lagi.
Ada perasaan tak nyaman di hati Gin. Membayangkan kondisi Harumi dirumahnya membuat perasaannya terluka, walau hubungan mereka tengah bermasalah, tetapi ia tak ingin melihat Harumi segitu susahnya. Gin hanya bisa menghembuskan nafasnya perlahan dan menatap pintu kamarnya seolah menatap kearah luar dimana Harumi berada mencoba menghilangkan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul dihatinya tapi tak bisa.
Bersambung