Gin berjalan setengah berlari memasuki koridor rumah sakit dimana Rima dirawat. Di depan kamar VIP itu terlihat Dino tengah memarahi Harumi dan ada Alex juga tengah berjongkok seperti tengah membujuk Harumi.
“Hapus airmatamu! Kamu tahu kan, mama gak mau lihat kamu nangis!” ucap Dino dengan nada tinggi.
“Pokoknya aku gak mau masuk!” balas Harumi menolak keinginan sang kakak.
“Sayang!” spontan Gin memanggil Harumi dan segera menutupi tubuh istrinya yang tengah menangis tersedu-sedu dengan jaket yang ia kenakan.
Ada rasa terkejut dihati Gin ketika ia tersadar memanggil Harumi dengan panggilan sayang, kebiasaan itu ternyata sulit hilang.
“Bujuk dia untuk mau masuk ke dalam kamar mami tanpa meneteskan air mata,” ucap Dino saat melihat Gin datang.
Alex segera berdiri dan berjalan mundur kebelakang satu langkah ketika Gin ikut berjongkok di hadapan Harumi. Ia tak suka mendengar Gin memanggil Harumi dengan panggilan sayang, tetapi bagaimanapun pria itu suaminya.
Harumi hanya diam dan masih menangis tak mempedulikan Gin tapi ia pun tak menolak saat Gin menutup tubuhnya dengan Jaket agar memberikan rasa hangat.
“Ada apa? Gimana mami?” tanya Gin sambil mengusap-usap punggung Harumi yang duduk meringkuk.
“Mami tadi hampir hilang, untung saja tim dokter bisa mengembalikan mami kembali. Mami sudah sadar dan memanggil Harumi, hanya mami minta agar Harumi tak menangis jika bertemu mami,” jawab Dino menjelaskan kondisi sang ibu.
“Sekalian aku bicara dengan kalian berdua, kondisi mami sedang tidak baik-baik saja. Aku benar-benar mohon agar kalian berdua saat ini bisa tenang dan menemani mami! Jika kalian ingin berpisah, lakukan nanti ok!” ucap Dino tampak gusar menatap Gin dan Harumi dengan pandangan tajam.
Gin mengerti maksud Dino. Dibalik sikapnya yang tampak galak dan marah-marah saat ini, pria itu juga tengah ketakutan dan sangat sedih jika kehilangan sang ibu. Ia tengah tak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Puluhan tahun hanya hidup bertiga dengan adik dan sang ibu membuat hubungan mereka sangat dekat satu sama lain.
“Tenanglah, kami tengah tak berpikir begitu, kesehatan mami nomor satu untukku dan Harumi,” ucap Gin cepat.
Dino hanya bisa mengacak-acak rambutnya dan berjalan menjauh untuk menenangkan dirinya. Sedangkan Harumi tampak menggeliat ketika Gin memeluknya erat. Pria itu segera berdiri dan juga menarik Harumi untuk berdiri.
“Sayang … Harumi … lihat aku,” panggil Gin mencoba mendapatkan fokus dari Harumi yang tengah tenggelam dalam kesedihannya.
“Lihat aku … kita akan masuk ke dalam berdua karena mami ingin bertemu denganmu. Kamu tidak akan menangis karena aku akan ada bersamamu dan menemanimu di dalam. Kamu akan memeluk lenganku kuat-kuat seperti biasanya dan akan mencakar, meremas dan mencubitnya untuk menahan air matamu agar tidak jatuh. Mami butuh melihat kamu kuat dan tenang,” bujuk Gin sambil mengarahkan pandangan mata Harumi menatap matanya.
Harumi hanya bisa menangis tertahan dan Gin segera menghapus air matanya.
“Kejadian ini bukan satu dua kali kita alami, tapi kita berhasil melaluinya dengan baik karena mami adalah perempuan super kuat, dia hanya butuh melihatmu tenang dan tegar,” bisik Gin sambil menatap Harumi dalam.
Tanpa ragu ia segera meletakan tangan Harumi untuk memeluk lengannya.
“Peluk lenganku dengan erat sayang,” bisik Gin spontan dan menahan tangan Harumi agar tetap memeluk lengannya.
Harumi hanya diam lalu memeluk lengan Gin yang besar dengan kedua tangannya dan menghapus air matanya dengan mengusapkannya ke bahu Gin.
Perlahan Gin berjalan diikuti Harumi yang berjalan dengan lemas disisinya untuk memasuki kamar dimana Rima dirawat.
Melihat seseorang masuk Rima menolehkan wajahnya perlahan dan tersenyum melihat anak menantunya tengah bergandengan.
“Sini,” panggil Rima dengan suara sangat pelan.
“Mami tahu kalau kalian masih saling mencintai, untung saja mami sakit, kalau tidak kalian pasti sudah merusak pernikahan kalian sendiri,” ucap Rima sangat lirih hampir tak terdengar oleh Gin dan Harumi.
“Mami bicara apa sih? Mami harus istirahat, Harumi disini kok mi, nungguin mami,” ucap Harumi bicara perlahan agar sang ibu tak mendengar suara parau yang keluar dari mulutnya.
Sedangkan Gin tengah menahan sakit karena Harumi mencengkram tangannya sangat kuat agar ia bisa menahan tangis ketika melihat sang ibu kali ini benar-benar terbaring tak berdaya.
Rima hanya tersenyum pelan lalu berbisik perlahan,
“Risoles … tolong belikan mami Risoles…” bisik Rima pada Harumi.
“Mami gak boleh makan makanan seperti itu, perut mami lagi gak kuat,” ucap Harumi perlahan melepaskan lengan Gin dan duduk di samping sang ibu.
“Gak akan mami makan, mami hanya ingin mencium aromanya…” pinta Rima lagi.
“Baiklah … mami tunggu disini ya, Harumi belikan untuk mami,”ucap Harumi cepat, ia sudah mulai bisa mengendalikan dirinya dan segera bergegas pergi meninggalkan kamar sang ibu.
“Gin,” panggil Rima ketika Gin perlahan duduk menggantikan Harumi disamping Rima.
“Ya, mi,”
“Minta maaf sama Harumi… mami tahu masih ada cinta dihatimu untuk Harumi. Minta maaf padanya dan bersabarlah… dia pasti maafin kamu,”
Gin terdiam dan duduk mematung. Ucapan Rima seperti palu godam ke dadanya dan membuatnya merasa malu.
“Harumi cintanya sama kamu. Janji sama mami … kalau kamu gak akan pernah sakitin Harumi lagi.”
Tenggorokan Gin tercekat, ia menggenggam jemari tangan mertuanya yang selalu bersikap baik padanya dengan apapun kesalahan yang ia buat. Kali ini Gin yang berjuang sekuat tenaga untuk tak meneteskan air mata.
“Maafkan Gin ya mi, maafkan Gin karena mengecewakan mami dan Harumi. Gin gak bermaksud seperti itu… Gin Khilaf mi,” bisik Gin pelan sambil menundukan kepalanya dalam tak berani menatap wajah mertuanya.
“Bukan sama mami kamu harus minta maaf, tetapi sama Harumi. Mami gak tahu berapa lama lagi waktu mami… tapi mami gak tenang kalau kamu belum minta maaf sama Harumi. Mami tahu kamu masih cinta sama Harumi! Kamu gak bisa kehilangan Harumi, nurut kata mami, Gin!”
Gin terisak ia menghapus air matanya kasar ketika Harumi kembali masuk kedalam kamar dan ia segera berdiri agar Harumi tak bisa melihat air matanya dan berjalan menjauh membiarkan Harumi berbincang dengan ibunya sesaat.
Gin segera keluar dari ruangan rawat inap dan melihat ada Alex tengah berdiri bersandar di tiang penyangga sambil memainkan handphonenya.
Gin terpaku sesaat sambil menatap pria muda itu dan kembali teringat telepon Harumi yang memanggilnya Alex. Merasa ada yang menatapnya Alex mengangkat wajah dan akhirnya dua pria itu beradu pandang.
“Terimakasih telah menemani Harumi,” ucap Gin spontan sambil berjalan mendekat pada Alex, berdiri sama tinggi dengan saingannya itu.
“Tak perlu berterima kasih padaku karena aku melakukannya demi Harumi,” jawab Alex dingin.
Gin hanya diam dan memasukan tangannya ke dalam celana.
“Aku boleh minta tolong? Aku tahu bahwa saat ini Harumi tengah bekerja padamu, tapi kondisi mami benar-benar sedang kritis. Aku tahu tak bisa meminta Harumi untuk resign, tetapi bisa kah kamu berikan unpaid leave untuk satu bulan ini? Aku tahu Harumi tak akan mau jika tahu, ia terlalu malu untuk meminta ijin padamu, karena merasa tak enak hati kamu telah banyak sekali membantunya.”
Alex terdiam. Walau ia tak menyukai pria yang berdiri dihadapannya tetapi ucapan Gin benar, Harumi membutuhkan waktu agar ia bisa menghabiskan harinya dengan Rima diwaktunya yang tersisa.
“Tenang saja, pasti aku berikan ijin itu. Walau unpaid leave, aku akan tetap membayarnya,” jawab Alex tenang.
“Biar aku saja yang membayarnya, tetapi jangan sampai Harumi tahu itu dariku. Ia pasti tak ingin menerimanya, tapi aku masih suaminya, aku masih mampu membiayai istriku,” ucap Gin cepat.
“Tak perlu! Aku mempekerjakannya bukan hanya karena kasihan tetapi karena aku tahu Harumi mampu bekerja dan aku bisa membayarnya!”
Gin hanya diam, ia tak ingin berdebat kusir dengan Alex. Ia tahu pria ini tak menyukainya dan jika Gin mendesaknya, Alex pasti akan membuat Harumi menjauh darinya.
“Baiklah… terimakasih,” ucap Gin tak ingin memperpanjang pembicaraannya dengan Alex lalu melangkah hendak kembali masuk ke dalam ruang rawat inap.
“Seharusnya kamu melakukannya dari dulu!” ucap Alex dengan nada tinggi walau tidak terlalu keras agar orang-orang tak mendengarkan pembicaraan mereka.
Gin hanya menoleh dan menatap Alex dalam.
“Seharusnya kamu melakukannya dari dulu jika benar-benar menyayangi Harumi. Seharusnya kamu tidak menyerah ketika ia tengah posesif dan membuatmu gila! Bagaimana pun ia istrimu! Selama ia tak berselingkuh dan melakukan perbuatan buruk, kamu yang salah sebagai suami! Seharusnya kamu tak perlu menyakiti Harumi jika masih bisa bersikap seperti tadi!”
Gin hanya diam menatap pintu saat mendengar ucapan Alex. Ingin rasanya Gin membantah tetapi lidahnya terasa kelu. Entah mengapa kali ini ia tak dapat menolak semua ucapan kebenaran yang terdengar dari mulut orang-orang yang berada disekitarnya. Ia ingin menggaruk telinganya karena kesal, tapi tak bisa, hatinya pun terasa tak enak dan sakit.
Gin tak mengucapkan apa-apa ia segera masuk ke dalam ruangan rawat inap dan tengah melihat Harumi membaringkan kepalanya di samping sang ibu.
“Pulanglah…,” ucap Rima ketika melihat Gin kembali masuk.
“Gak mauu, Harumi mau disini sama mami,” rengek Harumi sedih.
“Kamu dan Gin harus istirahat, pulanglah … jenguk lagi mami besok …” ucap Rima pelan mencoba membujuk anak perempuannya yang bersikap selalu seperti anak kecil jika tengah bersamanya.
“Ayo sayang, kita pulang … mami juga mau istirahat,” bisik Gin perlahan.
Kali ini Harumi menoleh dan menatap Gin tajam. Tiba-tiba ia meremas bibir Gin cepat sehingga Gin mengaduh kesakitan.
“Sayang … sayang! Murah sekali kamu mengucapkan kata itu mas!” gerutu Harumi terlihat marah dengan suara pelan tak ingin sang ibu mendengarkan omelannya karena pasti Rima memarahinya.
Melihat Gin kesakitan dan mengusap bibirnya, membuat Harumi merasa senang lalu ia segera mengecup kening sang ibu dan berpamitan untuk pulang.
Melihat Harumi mulai terlihat senang setelah menyiksa bibirnya, Gin menghela nafas lega.
Bersambung.