PART. 6 SIMPANAN

2385 Kata
***AUTHOR*** Dara sudah selesai berpakaian, dan tengah menyapukan make up tipis ke wajahnya. Sedang Juan tengah berusaha mengancing kemeja, dengan ponsel terjepit di antara bahu, dan telinga. Telpon dari Pak Juni, Ayahnya yang masih berada di Manado. Dara mendekati Juan, dan membantu memasangkan kancing kemeja Juan. Posisi mereka berdiri sangat dekat, sehingga Juan bisa mencium aroma wangi dari rambut Dara. Setelah selesai mengancingkan kemeja Juan, Dara meraih dasi dari atas tempat tidur, dan memasangkan di leher Juan. Dara harus mendongakan wajah, untuk bisa memasangkan dasi Juan, yang masih berbicara dengan Ayahnya. Pakaian kerja Juan, memang sudah disiapkan Dara di atas ranjang setiap pagi hari, saat Juan sedang mandi. Juan menundukan wajahnya, andai tidak sedang bicara di telpon dengan Ayahnya, pasti sudah diciumnya bibir Dara. "Ayah ingin bicara denganmu." Juan menyerahkan ponselnya kepada Dara. Sementara Dara berbicara dengan Pak Juni, Juan memasang celana panjang, dan jasnya. Dara mengembalikan ponsel Juan, setelah selesai berbicara dengan mertuanya. "Kamu ke kantor ikut di mobilku?" "Tidak, aku tidak ke kantor hari ini, Mang Dono akan mengantarku langsung menuju proyek," jawab Dara. "Oowhh, janjian bertemu Faiz di proyek?" "Iya." "Sampai sore di proyek?" "Ya, kamu senangkan tidak ada Ayah, juga tidak ada aku di kantor?" sahut Dara sambil mengambilkan sepatu, dan kaos kaki Juan. Juan tidak menjawab pertanyaan Dara, ia duduk di sofa memasang kaus kaki, dan sepatunya. "Aku turun duluan" pamit Dara, dan langsung ke luar dari kamar untuk turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Bu Tari sudah menunggu mereka untuk sarapan. "Ibu, bagaimana keadaan Ibu pagi ini?" Tanya Dara sambil memeluk Ibunya dari belakang. Dikecup pipi Ibunya dengan perasaan sayang. "Ibu merasa semakin sehat, Sayang" jawab Bu Tari, dan membalas kecupan di pipinya dengan mengusap kepala Dara. "Alhamdulillah, Ibu harus sehat, harus bahagia ya Bu, jangan memikirkan hal yang tidak perlu." Dara duduk di sebelah Ibunya, diambil piring yang ada di depan Ibunya, diisi dengan menu sarapan mereka pagi ini. "Nak Juan mana?" "Masih di kamar Bu" Juan turun dari tangga dengan ponsel di telinganya. Ia tengah menelpon Meta, untuk meminta Meta menemaninya di kantor hari ini. "Selamat pagi Bu," sapa Juan pada Bu Tari. "Pagi Nak" sahut Bu Tari. Juan terdiam sesaat. Rasanya sangat lama sekali tidak mendengar sebutan 'Nak' yang ditujukan pada dirinya, dari mulut seorang wanita. "Piringmu," Dara meminta Juan menyerahkan piring di hadapannya, agar Ia bisa mengisi piring Juan dengan makanan. Mereka bertiga memulai sarapan. "Dara." "Ya." "Meta bilang kalian saling kenal," kata Juan mengagetkan Dara. Dara melirik Ibunya, tepat saat Ibunya juga menatap Dara. "Ya" sahut Dara akhirnya. "Kenal di mana?" Tanya Juan lagi. Kembali Dara menatap Ibunya, dan Ibunya membalas tatapannya. Dara menghela nafas berat, ia tahu Ibunya pasti sangat terkejut, saat mendengar Juan menyebut nama Meta. "Dia ...." Dara menggantung ucapannya, sekali lagi ia menatap Ibunya. Bu Tari menganggukan kepalanya ke arah Dara. "Dia ... Meta cucunya Ibu," sahut Dara akhirnya. "Cucu Ibu? Maksudnya Meta keponakanmu? Tapi ...." "Aku harus segera pergi Bu," Dara berdiri dari duduk, tanpa menghabiskan sarapannya. Ia berusaha menghindari pembicaraan tentang Meta. "Sarapanmu belum habis, Sayang" "Ya Bu, tapi aku tidak ingin Mas Faiz menungguku, aku pergi ya Bu." Dara mencium tangan Ibunya. "Aku pergi duluan Juan, Assalamuallaikum," pamit Dara cepat. "Walaikumsalam" sahut Bu Tari, dan Juan. "Ehmm ... Nak Juan kenal dengan Meta di mana?" "Dikenalkan teman saya Bu, tapi benar kalau Meta cucu Ibu?" "Iya, Meta putri dari putra kandung Ibu" "Maksud Ibu ... Dara punya kakak laki-laki, tapi saat kami menikah ...." "Bukan kakak kandung, tapi kakak tiri" "Maksud Ibu?" "Saat Ibu menikah dengan Ayahnya Dara, Ibu membawa seorang putra, Tedi namanya, dan Ayah Dara membawa Dara bersamanya, Meta itu putri dari Tedi anak Ibu." "Owwhh, jadi ... tapi kenapa Meta, dan Dara seperti orang bermusuhan?" "Karena Ayah Meta menentang pernikahan Ibu, dan Ayah Dara, karena itulah Ayah Meta tidak mau menganggap kami sebagai bagian dari keluarga mereka, mereka mengajari anak-anak mereka untuk menjauhi, dan membenci kami" jawab Bu Tari dengan air mata jatuh mengaliri pipinya. "Maaf sudah membuat Ibu jadi sedih." "Tidak apa-apa Nak" "Sudah berapa lama Ibu tidak bertemu Meta" "Sangat lama sekali, selama ini Ibu hanya bisa menatap anak menantu, dan cucu Ibu dari kejauhan, Ibu tidak berani mendekati mereka." Juan mendekati Bu Tari digenggamnya jemari wanita tua itu dengan lembut. "Ibu ingin bertemu dengan Meta?" "Tidak Nak Juan ... Ibu tidak ingin kecewa karena penolakan Meta." "Ibu benar-benar tidak ingin bertemu Meta?" Bu Tari menggelengkan kepalanya. "Tolong jangan katakan pada Meta kalau kami tinggal disini Nak Juan, Ibu tidak ingin Dara menerima penghinaan lagi dari mereka." "Penghinaan seperti apa Bu?" "Maaf Nak Juan, Ibu tidak bisa mengatakannya, Ibu ingin kembali ke kamar Ibu sekarang ... permisi." Bu Tari berdiri dari duduknya. "Ya Bu silahkan" Juan menganggukan kepalanya. Bagi Juan pertanyaan tentang kenapa Dara, dan Meta terlihat saling tidak suka terjawab sudah. -- Di kantor Juan. Setelah makan siang Juan kembali ke kantornya bersama Meta. "Enak ya kalau perawan tua itu tidak ada" kata Meta yang duduk di sofa bersisian dengan Juan. "Meta, kamu kenal Dara di mana?" "Apa jawabanku sangat penting bagimu?" "Tidak juga, aku hanya penasaran saja" "Juan rasa penasaranmu itu, pertanda kalau kamu mulai ada perhatian dengan dia" "Apa? Aku perhatian sama dia? Untuk apa?" "Kalau kamu tidak ada perhatian dengan si perawan tua itu, berhenti bertanya tentang dia, lebih baik kita bicara tentang kita saja," sungut Meta kesal. "Tentang kita? Maksudmu?" "Apa hubungan kita akan begini-begini saja?" "Maksudmu?" "Juan, aku butuh kepastian mau dibawa ke mana hubungan kita ini." "Maksudmu?" "Maksudmu lagi! Tentu saja aku ingin kamu menikahiku!" "Apa!? Hubungan kita ini tanpa komitmen Meta, itu aku katakan sejak awal. Kita melakukan ini atas dasar suka sama suka kan?" "Ya awalnya, tapi Ayahku ingin aku segera menikah, aku ingin menikah denganmu Juan, bukan dengan orang lain." "Tapi aku tidak bisa menikah denganmu Meta." "Kenapa?" Juan terdiam sesaat, rasanya tidak mungkin kalau ia menjawab sudah menikah dengan Dara. Karena ia ingin pernikahan mereka tetap jadi rahasia. "Kenapa Juan?" "Maaf Meta, tapi aku tidak bisa menikah denganmu." "Apa ada wanita lain selain aku?" "Kamu tahu seperti apa aku kan? Aku memang ...." "Ya ... ya, aku tahu kamu memiliki banyak wanita lain selain aku, tapi aku kira aku cukup berarti bagimu Juan." "Tentu saja kamu berarti bagiku Meta." "Tapi tidak cukup berarti untuk kamu nikahi iya kan?" "Maaf Meta, tapi ...." "Begini saja Juan, aku akan memberimu waktu untuk berpikir, dan dalam masa itu kita tidak usah bertemu dulu agar kamu tahu, apakah aku cukup berarti bagimu." Meta berdiri dari duduknya, lalu meraih tasnya dari atas meja. "Meta ...." "Pikirkanlah Juan." Meta melangkah ke luar dari ruangan Juan, tanpa bisa dicegah lagi. Juan hanya bisa menarik nafas dalam. Juan duduk di belakang mejanya, dengan pikiran masih pada keinginan Meta. Pandangannya tertumbuk pada meja di sudut ruangan kantornya. 'Dara .... Sedang apa dia sekarang? Eitss! Kenapa aku memikirkannya, harusnya aku memikirkan tentang permintaan Meta tadi.' Drrtt .... Drrtt .... Ponsel Juan berbunyi. "Gigi" gumamnya. "Hallo Gi, apa kabarmu?" "Hallo Juan, aku baik, kamu?" "Aku baik juga, kapan pulang dari Itali?" "Kemaren, kamu dimana Juan, i miss you so much, aku ingin ketemu." "Aku di kantorku, datanglah ke sini." "Oke, tunggu aku di sana ya, bye." "Bye." Juan mematikan ponselnya, dengan senyum terulas dibibir. 'Meta pergi datang Gigi. Beginilah nasib orang ganteng tidak ada kata kesepian tanpa perempuan. Gigi, Virginia Akila. Gadis blasteran Indonesia Italia. Ibunya asli Indonesia, Ayahnya asli Italia. Usia Gigi sama dengan Meta 22 tahun.' Mata Juan kembali tanpa sengaja menatap meja di sudut ruangan. Tanpa sadar Ia meraih ponselnya, dan menelpon Dara. Tidak ada jawaban dari seberang sana, Dara tidak menjawab panggilannya. Sekali .... Dua kali .... Tiga kali .... Empat kali .... Lima kali .... Juan hampir saja melemparkan ponselnya saking kesal, karena Dara tidak menjawab panggilannya. "Apa yang dilakukannya sampai tidak menjawab panggilanku!" geram Juan marah. Dicobanya untuk menghubungi Dara lagi. Sekali .... Dua kali .... Tiga kali .... Empat kali .... Lima kali .... "Sialan! Sedang apa perawan tua itu! Aarrgghhh ...." Juan meraih dompet, lalu berdiri dari duduknya. Ia berniat menyusul Dara ke lokasi proyek. Tapi langkahnya terhenti, sebelum Ia membuka pintu. 'untuk apa aku menyusulnya? Apa peduliku, dia sedang apa? Lagi pula Gigi akan segera datang untuk menemaniku di sini' gumam Juan dalam hatinya. Juan berbalik, dan kembali duduk di kursinya, Ia mencoba untuk mulai fokus memeriksa berkas-berkas di atas meja. "Arrgghhh, perawan tua sialan! Kenapa wajahnya ada di atas berkas-berkas ini!?" Juan membanting berkas di tangannya, dengan rasa kesal luar biasa. Ia berdiri, dan melangkah mendekati meja Dara. "Hayyy perawan tua, kenapa kamu mengikutiku dengan bayanganmu eh? Apa maumu? Errh, ini pasti karena kamu sudah memberikan aku minuman jampi-jampi itu!" Juan bicara sendirian, jarinya menuding ke arah foto Dara, dan Ibunya yang ada di atas meja kerja Dara. Suara ketukan dipintu mengagetkan Juan. "Masuk!" "Ada teman Bapak, nanamya Mbak Gigi ingin bertemu." kata Bu Fani. "Suruh masuk!" Juan menyambut Gigi dengan memeluk pinggang Gigi erat. Gigi melabuhkan bibirnya di atas bibir Juan. Saling melumat bibir cukup lama mereka lakukan, seakan menuntaskan kerinduan di antara mereka berdua. "Aku merindukanmu, sangat merindukanmu. Tujuh bulan tidak bertemu, terasa bagai puluhan tahun lamanya," ucap Gigi, yang tidak mau melepaskan pelukannya di tubuh Juan. "Aku juga merindukanmu, Gi." "Dengan cara apa kita akan menuntaskan kerinduan kita, Sayang?" Tanya Gigi dengan suara manja menggoda. "Menurutmu?" "Apakah di sini aman untuk bercinta?" Gigi menaikan alisnya, dengan tatapan penuh hasrat kepada Juan. "Sangat aman, Sayang," sahut Juan yang sudah mendaratkan bibirnya di leher Gigi yang jenjang, dan berkulit putih. "Owhh ... Juan, hanya dengan satu kecupanmu, kamu sudah membuatku merasa melayang. Juan ... Juan, aku sangat menginginkanmu." Gigi berusaha melepas kancing kemeja juan. Begitupun dengan Juan, yang menyusupkan tangannya, kebalik baju di bagian punggung Gigi. Juan ingin melepaskan kaitan bra Gigi. "Cepatlah Juan, ku sudah tidak sabar!" "Sabar Sayang, jangan terburu-buru, nikmati setiap sentuhanku dengan sepenuh hatimu." Juan membawa Gigi duduk di atas pangkuannya. Bibir mereka bertemu, Gigi melahap bibir Juan dengan sangat rakus. Seakan ia ingin mengunyah bibir Juan hingga habis. Pintu yang tidak terkunci tiba-tiba terbuka. Dara berdiri mematung di ambang pintu. Sesaat dia seperti orang linglung, karena melihat apa yang ada di depannya. Juan sedang berasyik masyuk dengan seorang wanita berambut merah. Wanita itu bukan Meta, dan saking asyiknya kedua orang itu tidak menyadari kehadirannya. Hanya sesaat Dara terpaku. "Ini kantor Juan! Tempat orang mencari nafkah, jangan kotori dengan berzina ditempat ini!" ucap Dara, saat berjalan melewati sofa tempat Juan, dan Gigi duduk. Dara mengambil map berwarna kuning dari laci mejanya. Juan, dan Gigi langsung melepaskan ciuman mereka, begitu mendengar perkataan Dara. Gigi bangkit dari pangkuan Juan, dan langsung merapikan pakaiannya. "Kenapa asal masuk heh? Kenapa tidak mengetuk pintu lebih dulu?" Sengit Juan yang sebenarnya hanya ingin menutupi rasa malunya. "Ini juga ruanganku, jadi untuk apa aku harus mengetuk pintu. Lagi pula kalau ingin berbuat m***m jangan di sini, cari hotel atau penginapan. Kamu masih punya cukup uangkan untuk menyewa kamar hotel?" Sahut Dara tidak kalah sengitnya. "Jangan mencoba mengatur ataupun mengguruiku Dara," desis Juan gusar. "Juan, ini kantor tempat kita bekerja, jika kamu kotori dengan berzina apa jadinya!" Dara menantang tatapan penuh amarah dari Juan. "Ini kantorku terserah aku mau ber ...." "Ini kantorku juga! Aku punya hak yang sama denganmu di sini!" "Tidak, ini kantorku!" seru Juan semakin gusar. "Ada apa Dara?" Faiz yang tadinya menunggu Dara di luar ruangan, muncul di ambang pintu, saat mendengar suara percekcokan dari dalam ruangan. "Tidak apa-apa Mas, aku sudah mengambil berkasnya, kita pergi sekarang" Faiz menjauhi ambang pintu, dan Dara ingin mengikutinya. "Mau ke mana!?" Tanya Juan tanpa bisa menahan keingin tahuannya. Ditahannya lengan Dara, dengan cengkeraman jemarinya. "Bukan urusanmu," desis Dara membuat Juan kesal. "Kalau begitu bukan urusanmu juga kalau aku ingin bercinta di sini!" sahut Juan dengan berdesis juga. "Tentu saja itu urusanku Tuan Juan, ingat ini jam kantor, dan tempat ini adalah tempat terlarang bagimu untuk bersenang-senang. Baca lagi surat perjanjian yang aku buat, dan sudah kamu tanda tangani, aku sudah menyerahkannya satu lembar untukmu kan?" Meski suara Dara pelan tapi terdengar tajam. Juan tidak menjawab. "Sekarang lepaskan tanganku, karena aku masih banyak pekerjaan oke, dan kalau kamu mau meneruskan perbuatan mesummu, bawa saja wanitamu ke hotel. Kalau kamu tidak punya uang untuk menyewa kamar hotel, katakan saja berapa yang kamu butuhkan!" Dara membuka tasnya, dan mengambil dompetnya. Sebenarya Dara hanya ingin menekan perasaan Juan. Dara tahu benar, kalau Juan paling merasa tersinggung bila dianggap tidak mampu secara materi. "Jangan menghinaku Dara!" "Ini bukan penghinaan tapi bantuan, agar kamu tidak mengotori ruangan ini dengan aroma kemesuman." Mereka masih bicara dengan suara pelan, dibawah tatapan dari Faiz yang ada di luar ruangan, dan Gigi yang masih berdiri diam di dekat sofa. "Pergilah, aku tidak mau mendengar ceramahmu!" Juan mengibaskan tangannya ke arah Dara. "Ingat Juan, jangan berzina di sini, jika kamu tetap keras kepala, maka aku akan melaporkan kelakuannmu pada Ayah!" ancam Dara. "Dasar perawan tua tukang mengadu!" "Oke Tuan Juan aku pergi. Assalamuallaikum." Dara melangkah meninggalkan Juan, dan segera mengajak Faiz untuk berlalu dari tempat itu. Juan menutup pintu dengan suara keras, lalu duduk di sofa diiukuti Gigi yang duduk di sebelahnya. "Siapa wanita itu? Kenapa kamu seperti takut kepadanya, Juan? Ini pertama kalinya aku melihatmu seperti ini?" "Dia orang Ayahku, yang ditugaskan menjadi sekretarisku. Ayah memberikan kuasa penuh untuk mengatur pekerjaanku, dan bahkan Ayah lebih mempercayainya untuk membantu Ayah menangani proyek besar " "Kenapa Ayahmu begitu mempercayainya, aku jadi curiga, jangan-jangan dia punya affair dengan Ayahmu, apa mungkin dia simpanan Ayahmu" "Apa? Kenapa kamu berpikir seperti itu?" "Yaah ... kita kan sama-sama tahu kalau Ayahmu menduda sudah cukup lama iya kan? Meski sudah berumur, jujur kukatakan, Ayahmu tidak kalah tampan, dan gagahnya dibanding dirimu, jadi ...." "Jangan bicara omong kosong Gigi. Dara itu, dia istri ...." hampir saja Juan kelepasan mengatakan, kalau Dara istrinya. "Dara istri siapa? Jadi dia punya suami ya? Waah berarti dia selingkuh dengan Ayahmu!" "Gigi jangan bicara sembarangan tentang Ayahku, dan Dara!" "Hmmm ... aku hanya mencoba untuk menganalisa Juan. Eh, dari pada membicarakan orang lain, lebih baik kita lanjutkan yang tadi." Gigi ingin duduk lagi di atas pangkuan Juan. "Tidak Gi, aku sudah kehilangan moodku untuk hari ini, kita lanjutkan lain kali saja ya." Juan berdiri, dan merapikan kemejanya yang tadi sempat dibuka Gigi kancingnya. "Tapi ...." "Please Gi, tolong mengerti ya, sekarang aku antar kamu pulang, aku ingin bertemu Mami mu, sudah lama aku tidak bertemu Beliau." "Hhhh ... baiklah Juan." Gigi menganggukan kepalanya. Juan berusaha bersikap wajar pada Gigi, meski ucapan Gigi tentang Dara, dan Ayahnya tengah mengganggu pikirannya. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN