PANGGIL AKU A’A ATAU AKANG!

1208 Kata
‘Mengapa aku tidak mengajukan resign saja saat pak Achdiyat pensiun dan posisinya di gantikan monster ini?’ Tari memandang berkas yang telah dikoreksi oleh Ichwan, dan diperintah agar siang nanti sudah selesai direvisi sesuai keinginan boss besar itu. Dia masih berdiri tegak menanti berkas lain yang sedang diamati oleh Ichwan “Tiket dan kamar hotel untuk lusa sudah siap?” tanya Ichwan sambil tangannya menanda tangani berkas yang ditunggu Tari. “Sudah Pak,” jawab Tari. Sebenarnya dia malas berangkat ke Jogja esok lusa. Tari inginnya berangkat hari Senin pagi saja langsung ke lokakarya perusahaan cabang Jogja. Namun bu Achdiyat memerintah dia ikut berangkat lebih dulu bersama rombongan keluarga. Mereka berencana liburan dahulu, jadi berangkat hari Kamis sore. Bu Achdiyat dan si kembar akan kembali ke Jakarta hari Minggu sore. Sedang pak Achdiyat, Ichwan dan dirinya masih stay di Jogja untuk mengikuti lokakarya dari hari Senin hingga Rabu malam. ≈≈≈≈≈ “Tante Tari.” “Aunty.” Dua suara jernih berteriak ketika Tari baru sampai di bandara bersama Ichwan. Ya, bersama Ichwan. Karena bossnya memaksa Tari ke kantor sudah membawa koper untuk pergi sore ini. Sehingga mereka akan berangkat satu mobil ke bandara. Tari menitipkan mobil miliknya pada satpam kantor, karena dia akan berada satu minggu di Jogja. “Sayang-sayangnya Tante,” Tari langsung merendahkan tubuhnya untuk menerima pelukan dua jagoan kecil yang memang sangat dia cintai. Dua jagoan kecil yang sejak berusia satu tahun menjadi yatim piatu karena kedua orang tua mereka meninggal saat perjalanan pulang berlibur dan menengok Ichwan yang masih stay di Aussie. Tari mendaratkan bibirnya di kedua pipi serta kening Topan dan Guntur. “Kalian tidak memeluk Uncle?” sapa Ichwan yang tidak digubris oleh kedua keponakannya. Melihat Tari kerepotan harus menggandeng kedua keponakannya, Ichwan mengambil alih koper di tangan kanan Tari. “Terima kasih Pak,” cetus Tari saat Ichwan membantunya. Karena kedua boss kecil tak ada yang mau lepas dari tangannya. Ichwan juga mengambil plastik klip yang berisi tiket mereka berenam dari tangan Tari. “Itu belum ada KTP Bapak, pak Direktur dan Ibu,” Tari memberitahu kekurangan KTP untuk mereka check in di dalam bandara. Rupanya dia sudah menaruh KTP miliknya di plastik klip itu. Tari masih terbiasa menyebut pak Achdiyat dengan sebutan pak direktur. Ichwan meminta KTP kedua orang tuanya lalu dia check in agar semua koper bisa masuk bagasi sehingga tidak merepotkan dirinya. Saat sudah check in, Ichwan kaget, rupanya lusa adalah ulang tahun Tari. Tak sengaja dia melihat tanggal lahir Tari di KTP yang akan dia masukkan di plastik klip. ‘Aku akan membuat pesta kejutan untukmu cintaku.’ ≈≈≈≈≈ Mereka sedang check in di hotel Kimaya Sudirman Yogyakarta, yang dulunya bernama Novotel Jogja. Sesuai instruksi, Tari memesan tiga kamar. Satu kamar besar untuk pak Achdiyat beserta ibu dan kedua cucunya. Satu kamar untuk Ichwan. Kedua kamar ini berada berdekatan. Sedang kamar untuknya sengaja dia atur beda lantai. “Mengapa pesan kamar seperti ini?” protes Ichwan saat menerima kunci kamar. Kamar Tari ternyata dua lantai di atas kamarnya. Tak ada alasan ‘sekalian turun’ bila dia ingin menghampiri gadis itu. “Minggu lalu tiga kamar berdekatan tidak ada Pak,” Tari memberikan alibinya. Dia memisahkan kopernya dari trolly koper keluarga pak Achdiyat. “Kalau begitu kita tukar kamar, kamu yang di kamar bawah. Aku di kamar atas,” Ichwan merebut kunci di tangan Tari dan menyerahkan kunci miliknya. ‘Aku?’ batin Tari. ‘Monster itu menyebut dirinya ‘aku’, bukan saya seperti biasa.’ Tari tak ingin ribut di depan mantan direktur utamanya. Dia pasrah pindah kamar. Sehabis makan malam di hotel, Tari ingin istirahat saja. Dia masuk kamarnya dan membuka ponselnya. “Assalamu’alaykum Bu,” Tari melakukan video call dengan sang ibu di Bogor. “Sudah sampai Jogja Neng?” sang ibu melihat latar belakang putrinya seperti dalam kamar hotel. “Sudah Bu, sejak maghrib tadi. Ini baru selesai makan malam,” jawab Tari. Di keluarganya memang dia dipanggil ENENG, panggilan sayang untuk anak perempuan suku Sunda. “Istirahat atuh, biar besok seger ngikutin keluarga pak Direktur,” sang ibu hafal dan kenal dengan keluarga boss terdahulu Tari. Sosok pria yang humble dan ramah pada siapa saja. “Iya Bu, Tari tidur dulu, salam buat Yayah dan Eddy,” balas Tari. Yayah adalah panggilan Tari untuk ayahnya. Sedang Eddy adiknya, yang lahir tak terduga, ketika Tari sudah kelas sembilan atau kelas tiga SMP. Selama ini dikira Tari adalah anak tunggal. Mendapat Eddy adalah hadiah tak terhingga untuk yayah dan bubu nya. Tari memutus panggilan dengan sang ibu. Saat baru saja selesai bicara dengan sang ibu, Tari mendengar pintu kamarnya diketuk. ≈≈≈≈≈ ‘Bicara dengan siapa sih? Sejak tadi nada sibuk terus kalau aku hubungi. Sepertinya harus langsung aku datangi ke kamarnya!’ Ichwan kesal, karena sejak tadi ponsel perempuan yang dia cintai dalam diam tak bisa dia hubungi. “Iya Pak, ada perlu apa?” tanya Tari saat membuka pintu dan melihat Ichwan berdiri di muka kamarnya. “Temani aku jalan-jalan,” perintah Ichwan dengan arogannya. “Maaf Pak, itu bukan job desk saya. Dan lagi ini di luar jam kerja,” dengan berani Tari menolak perintah monster yang menjabat menjadi boss besarnya itu. Ichwan melesat masuk dan mengambil card kunci di dinding sehingga otomatis lampu kamar gelap. “Ayok cepat,” Ichwan menarik lembut pergelangan tangan Tari agar keluar kamarnya. “Ok, baik. Saya ganti baju dan sandal dulu Pak,” akhirnya Tari terpaksa mengalah. Namun dia minta waktu berganti pakaian, sebab sehabis makan tadi dia langsung ganti piyama sebelum menghubungi ibunya. Dia juga tak mungkin jalan-jalan menggunakan sandal hotel. ≈≈≈≈≈ Malam ini Ichwan membawa Tari ke bukit bintang. Memang Ichwan sudah menyewa mobil untuk mempermudah mobilitas selama mereka berlibur di Jogja. Karena mereka baru saja makan, Ichwan hanya memesan minuman panas dan snack untuk mereka nikmati di sana. Suasana romantis yang terpampang di depan mata membuat batin Tari teriris. Dia mengingat kegagalan hubungannya dengan Teddy cinta pertamanya dua bulan yang lalu. “Kamu kedinginan?” tanya Ichwan karena melihat Tari memeluk dirinya sendiri. Kedua telapak tangan Tari mencengkeram erat lengan atas miliknya sendiri. Padahal Tari berlaku seperti itu bukan karena kedinginan, melainkan karena kembali teringat kegagalan cintanya. “Owh tidak Pak, saya cukup hangat dengan sweater ini,” balas Tari, dia lalu meminum hot milk choco yang tadi dia request. “Apa kamu pernah ke sini sebelumnya?” Ichwan mencoba mengajak Tari bercerita. Karena sejak mereka keluar dari hotel, gadis ini hanya duduk diam saja. “Belum Pak, saya kalau ke Jogja hanya ke Beringharjo, alun-alun, keraton, candi Prambanan. Belum pernah main ke sini,” Tari pun berupaya mengikis jarak dengan bossnya itu. “Kita bukan di kantor, bisa tidak kamu tidak memanggil saya Pak?” pinta Ichwan lembut. “Rasanya tidak enak Pak, biar bagaimana pun saya karyawan Anda,” Tari masih tak mau menepis jarak. “Panggil A’a atau Akang. Itu perintah!” Ichwan kembali arogan memerintah Tari semaunya. Kata-katanya pelan, tidak membentak, tapi tetap saja tegas dan memerintah. Tari bingung. Dia dan Ichwan sama-sama suku Sunda, jadi panggilan yang pas memang A’a atau akang. Sedang ketika dengan Teddy yang asli Jawa saja Tari tak memanggil mas, tapi memanggil kakak. Dia mencari panggilan yang tepat untuk Ichwan. Namun belum ketemu. ‘Apa aku nurut aja ya, panggil dia A’a?’ pikir Tari ragu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN