‘Kakak enggak bisa ngejemput kamu, ada perubahan jadwal ngedadak,’ Bestari Kusuma Prawira atau Tari membaca chat Artsiadi Prabu Muliawan atau Teddy, tunangannya dengan sedih. Hari ini jadwal mereka mencari referensi baju pengantin adat yang hendak mereka gunakan lima bulan lagi.
Persiapan pernikahan mereka memang harus jauh-jauh hari mengingat jadwal terbang Teddy yang seorang captain pilot, memang sulit dipadankan dengan jadwal Tari yang sekretaris kantor. Kadang saat week end Tari libur, Teddy harus terbang. Dan saat Teddy libur, adalah week day, jadwal Tari sibuk dengan tugas kantornya.
‘Iya Kak, take care ya, safety flight,’ balas Tari. Mau bilang apa lagi kalau memang waktu kerja mereka selalu bentrok. Tari tak bisa protes karena ritme mereka memang berbeda.
Dari pada bengong saat week end, Tari keluar rumah, dikendarainya mobilnya pelan, dia sendiri belum tahu hendak ke mana. Akhirnya dia duduk manis di kedai khusus ice cream. Dia duduk sendiri, sengaja ambil tempat yang di luar, sambil memandang para pejalan kaki.
Tari melihat banyak orang tua yang menemani anak-anak mereka makan ice cream. ‘Kapan ya aku seperti mereka? Menemani anak-anak makan ice cream?’ Tari melamun membayangkan dia mengantar anaknya yang merengek minta ice cream.
“Tari?” sapa suara bariton yang sangat familiar di telinga Tari. Bagaimana tidak familiar bila lima hari dalam satu minggu, suara tersebut selalu menemani waktu jam kerjanya?
“Eh … pak Ichwan ( bacanya iwan saja ya ),” sapa Tari terbata. Dia tak menyangka bertemu CEO tempat kerjanya. Dia adalah sekretaris pak Ichwan Setiawan Hadipraja yang biasa dipanggil pak Ichwan oleh semua pegawainya.
“Kamu ngapain di sini sendirian?” tanpa bersalah Ichwan menanyakan ngapain Tari saat itu.
“Apa ada yang melarang saya ke sini sendirian?” Tari balas bertanya.
“Bukan itu, maksud saya, ini ‘kan jauh dari rumahmu. Apa kamu sedang menunggu teman atau pacarmu?” selidik Ichwan.
“Saya tidak sedang menunggu siapa pun Pak. Bapak sendiri, ngapain ke sini sendirian?” dengan berani Tari balas menanyakan atasannya itu.
“Saya tidak sendirian, kami bertiga. Dua keponakan saya sedang bermain di sana,” Ichwan menunjuk ke taman. Dia menunjuk dua bocah lelaki berusia sekitar lima tahun yang sedang bermain jungkat jungkit.
Ichwan menerima ice cream yang tadi dipesannya dari pramusaji. Tiga cup ice cream. “Saya duduk di sini saja ya?”
Entah apa maksud perkataan Ichwan terakhir, minta izin atau memberitahu. Tari tak menjawabnya. Percuma ‘kan? Kalau dia jawab tidak boleh pasti boss kepala batu ini akan tetap duduk di kursi itu. Tari hafal sifat kepala batu boss nya ini. Walau baru lima bulan bekerja di bawah pimpinannya.
Tari memang sedikit tak suka dengan boss baru ini. Boss pengganti pak Achdiyat. Boss ini baru menjadi atasannya lima bulan, ketika ayahnya mundur dan ingin hidup santai. Pak Achdiyat pensiun. Sejak itulah hidup Tari serasa berat karena sering bersitegang dengan atasannya ini.
Ice cream Tari sudah habis, dia bersiap meninggalkan kedai itu saat si kembar muncul dan menyapanya.
“Tante Tariiiiiiiiiii,” sapa mereka hampir bersamaan. Si kembar memang sudah lama kenal dengan Tari, karena dulu sering diajak eninnya mengunjungi aki di kantornya. Bu Kusumastuti membasakan dirinya enin bagi para cucunya, dan cucu-cucu itu memanggil pak Achdiyat aki.
“Hallo sayang-sayangnya Tante,” sapa Tari sambil menerima pelukan dua bocah ganteng nan imut itu. Dua bocah itu langsung mendaratkan bibir mungil mereka ke pipi Tari.
“Uncle mau dong dapat pelukan juga kecup dari Tante,” goda Ichwan menyebalkan. Mendengar itu Tari tak menggubris. Dia asyik ngobrol dengan dua kurcaci yang sangat lucu itu.
“Oke, sekarang Tante pamit dulu ya, sampai ketemu lain kali,” Tari pun pamit pada Topan dan Guntur, nama si kembar.
“Nanti aku akan ke kantor Uncle, kita baca cerita lagi seperti biasa ya Tante,” cetus Topan yang sangat hobby baca. Beda dengan Guntur yang hobby merakit lego.
“Siyaap Sayang, Tante tunggu di kantor ya,” Tari mengecup kening keduanya.
“Selamat siang Pak.” Tanpa menunggu jawaban Ichwan, Tari langsung meninggalkan ketiga lelaki beda generasi itu.
≈≈≈≈≈
“Kamu selalu bisa memuaskanku Sayang,” Teddy terengah-engah, dia baru saja bergelut dengan Ganefiati. Mereka berada di kamar kost Ganefiati. Teddy berbohong pada Tari bilang ada penerbangan dadakan, padahal karena Fifi tiba-tiba menghubunginya dia ada di kamar karena tak ada pemotretan.
Fifi adalah model amatiran, yang baru dikenal Teddy empat bulan lalu. Perkenalan mereka terjadi di Bandara. Saat itu Fifi datang dengan temannya untuk menjemput Bima, suami temannya itu. Kebetulan Teddy sedang mengobrol dengan Bima. Dari perkenalan itu mereka jalan makan siang berempat. Dan saat itu Teddy tukar nomor ponsel dengan Fifi.
Seminggu kemudian Fifi mengirim chat, menanyakan apakah Teddy ada jadwal bareng dengan Bima, karena Anggraeni istri Bima demam, sedang ponsel Bima tak bisa dihubungi. Sejak itu mereka sering bertukar khabar.
Dan akhirnya Fifi mengajak Teddy untuk nonton sore. Sehabis nonton mereka makan malam dan Teddy mengantar Fifi ke kamar kostnya. Pertemuan pertama tak ada hal yang istimewa. Hanya senda gurau dan bergandengan saat menyebrang saja.
Selanjutnya Fifi menanyakan kapan Teddy libur dan ketemuan lagi. Saat itu Teddy sedang libur dan Tari tentu kerja karena bukan week end. Itulah pertemuan mereka kedua setelah perkenalan.
Teddy mengantar Fifi, hari belum terlalu malam, tapi sangat dingin karena hujan deras. Turun dari mobil baju mereka agak basah karena payung di mobil Teddy bukan payung besar.
“Masuk dulu yo, aku bikinkan teh panas dan kamu ganti kaos ku aja biar enggak sakit,” ajak Fifi.
“Ini minum dulu teh angetnya,” Fifi menyerahkan cangkir teh sambil tangan kirinya memegang pipi Teddy. “Pipimu sampai dingin begini,” desahnya.
Tentu saja Teddy merasa Fifi memancingnya. Dia pegang jemari Fifi yang berada di pipinya dan di kecup perlahan. Membuat Fifi tersipu malu.
Teddy mengambil cangkir teh dan meletakkannya di meja lalu menarik Fifi ke dalam pelukannya. Fifi jatuh terduduk di pangkuan Teddy. Tanpa menunda bibir Teddy langsung mendarat di bibir Fifi yang terasa dingin.
Akhirnya keduanya menyalurkan gelombang panas. Ronde pertama dengan posisi duduk tanpa perlu naked. Hanya dalaman bawah Fifi yang dibuka, sedang Teddy hanya menurunkan sedikit celananya. Itu pun bisa sukses membuat kecebong Teddy berenang di kolam milik Fifi.
Selesai ronde pertama baru Teddy mulai membuka kaos Fifi dan memainkan puncak gunung kembar. Mereka lanjut ronde-ronde berikutnya di kamar Fifi.
Sejak itu setiap Teddy libur di hari kerja Tari, dia selalu berlabuh di kamar Fifi, seperti hari ini. Walau saat ini week end, namun godaan bertukar peluh di ranjang lebih kuat dari pada rencana dengan tunangannya.
Dengan Tari, Teddy tak pernah mau lebih dari peluk dan cium. Dia menghormati calon istrinya itu. Mereka sering tidur bersama, tapi sebatas saling peluk.