02-Who is Kinna

1681 Kata
Happy Reading Hari telah berlalu begitu cepat. Tenang, itulah yang saat ini dirasakan oleh seorang gadis cantik yang sedang duduk sendiri di taman sekolahnya. Suasana sore yang sejuk dengan sedikit sinar matahari menerobos celah-celah pepohonan yang menaungi gadis ini. Hembusan angin sore kini sedikit terasa dingin jika terkena kulit tanpa jaket ataupun baju berlengan panjang. Sebuah n****+ tebal sedang ada di genggamannya. Terlihat cuek tapi cerdas. "Hay!" Sebuah suara serak-serak basah sedikit mengusiknya tapi tak dapat membuatnya mengalihkan pandangannya dari n****+ yang dipegangnya. "Dikacang nih," sindir pemuda pemilik suara serak-serak basah tadi. Gadis itu tetap diam. "Killa... seneng banget nyuekin gue!" ucapnya kesal dan merebut paksa n****+ gadis yang dipanggilnya Killa itu. "BISMAKAN!" teriak Kinna dengan kencangnya. Killa, atau yang banyak orang menyebutnya Kinna. Hanya pemuda ini yang memanggilnya dengan sebutan Killa. Kinna Landry. Tatapannya selalu tajam dan dingin pada siapa pun. Jarang tersenyum dan cuek. "Apa?" tanya Bisma enteng. Yap! Bisma Karisma. Pemuda tampan nan kaya yang menjadi idola di SMA AGASA ini. Banyak fans, populer, kapten tim basket. Hampir setiap bulan berganti mobil. Siapa yang tak tergila-gila? Apalagi ia adalah anak tunggal dari pengusaha terkaya nomer dua di Asia Tenggara. Dan yang lebih menakjubkan adalah, ia pemuda ber-IQ 165. "Apa gue harus gangguin lo dulu buat dapat perhatian dari lo?" "Balikin!" Kinna menatap Biama dengan tajam. Bisma hanya tersenyum santai. "Ngapain lo senyum-senyum? Udah sinting, ya?" ledek Kinna ketus. "Ngapain lo masih di sini?" Bisma malah balik bertanya. "Setiap lo gangguin gue di sini, lo selalu nanya itu. Nggak bosan?" "Nggak akan, karena lo belum pernah jawab pertanyaan yang setiap hari gue lontarin selama hampir setahun berturut-turut ini." Gadis itu memutar matanya malas. "Karena itu bukan urusan lo. Sini!" Kinna hendak mengambil alih novelnya dari tangan Bisma, tapi Bisma malah memasukkan n****+ itu ke tasnya. "BISMALEEEMMM! Apa sih mau lo!" geram Kinna. Bisma tertawa renyah. "Lo masih nanya?" Kinna menghela napas jengah dan kembali memutar matanya. "Kita temenan, dan gue gak akan ganggu lo lagi." "Gak mau!" tolak Kinna cepat. "Segitunya lo sama gue," gerutu Bisma sebal. "Plis deh, Bis, lo itu ngeselin, sumpah!" "Emm... kalo nggak mau jadi temen, jadi pacar deh." Bisma mengeluarkan satu lagi penawaran. Kinna tertawa meremehkan. "Lo nembak gue?" tanya Kinna dengan nada meledek. "Terserah apa kata lo." Bisma tersenyum enteng. "Ogah. Balikin Bisma begeng!" Kinna menengadahkan tangan kanannya di hadapan Bisma. "Lo dari tadi gak pernah bener manggil nama gue. Nama gue itu Bisma Karisma. Ngerti?" protes Bisma. "Hmm, iya deh terserah lo, balikin, Bisma." "Oke, Cantik." Bisma menggapai telapak tangan kanan Kinna dan langsung mengajaknya beranjak dari bangku yang sedari tadi mereka duduki. "Bismandi! Lo apa-apaan, sih! Lepasin gue!" sentak Kinna mencoba melepas genggaman Bisma. Bisma hanya tersenyum dan terus membawa Kinna keluar dari area taman sekolah. "Bisma!" "Bawel, ya." Bisma langsung membopong tubuh Kinna karena Kinna terus memberontak. "Bisma! Turunin gue, b**o! Malu ada yang lihat, turunin gue! Bismalay!!" teriak Kinna. "Suara lo merdu juga." Bisma mengedipkan sebelah matanya. "Bisma gila! Lo itu stres atau gimana, sih!" Kinna terus ngomel. "Jadi temen nggak mau. Jadi pacar nggak mau, ya udah balik bareng aja. Masa nggak mau juga, sih?" "Oke, gue mau, tapi turunin gue," pinta Kinna akhirnya menyerah juga. Bisma kemudian menurunkan gadis yang ada di gendongannya itu. "Kenapa nggak dari tadi, sih, kan enak kalau nggak banyak berontak," ucap Bisma dengan senyum penuh kemenangan. "Dasar!" cibir Kinna kesal lalu berjalan mendahului Bisma. "Gue ganteng, kaya, cerdas, keren juga. Tapi kenapa dia masih nolak gue yang sekece ini? Orang-orang aja sampai bingung bedain gue sama malaikat," gumamnya dan menyusul Kinna menuju gerbang sekolah. Kinna menunjukkan arah rumahnya. "Berhenti di sini, Paman," ucap Kinna pada sopir Bisma. Bisma menyuruh sopirnya menghentikan mobilnya. "Yang mana rumah lo?" tanya Bisma sambil mengamati beberapa rumah sederhana yang berjejer rapi di hadapannya. "Lo nggak perlu tahu. Dan jangan pernah cari tahu. Thanks lo udah nganter gue." Kinna segera turun dari mobil Bisma. Bisma hanya mengamati setiap langkah Kinna yang mulai menjauh, sampai hilang di persimpangan gang kecil. Bisma tersenyum simpul lalu menyuruh sopirnya melajukan mobilnya. *** Pagi ini cuaca sedang tak begitu bagus untuk memulai aktivitas pagi. Apalagi ini hari Minggu, pelajar maupun pekerja pasti lebih memilih untuk tetap di rumah menikmati hari liburnya dengan secangkir teh juga selimut tebalnya. Tapi di pagi yang harusnya digunakan untuk bersantai di teras dengan segelas cokelat hangat itu hanya terbuang sia-sia oleh Kinna. Lagi-lagi sikap kasar sang ayah terlihat olehnya. Matanya terbelalak kala melihat sang ibu jatuh tersungkur setelah dorongan keras dari ayahnya. "Ma!" Dengan mata yang sudah memerah dan tatapan nanar kepada sang papa, ia menghampiri mamanya dan langsung memeluknya. "CUKUP, PA!" bentakan kasar itu terlontar begitu saja darinya. Ini pertama kalinya gadis itu berani pada orang yang dulu sangat dibanggakannya itu. "JANGAN IKUT CAMPUR KAMU!" Laki-laki paruh baya ini tak kalah membentak. "Papa jahat!! Kinna benci Papa!!" sentaknya. Anthonio Tanubrata, papa Kinna, terlihat mengatur napasnya yang memburu. "Sini kamu!" Ia tak segan menarik kasar lengan anak gadisnya hingga Kinna merintih kesakitan. "Pah!" Sista, ibu Kinna yang melihat putrinya diperlakukan kasar oleh sang suami pun ikut berdiri setegak mungkin. Menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang lagi di perutnya. Dengan langkah gontai, Sista bersimpuh dan sebisa mungkin memeluk kaki suaminya. "Jangan Kinna, Pa, Papa boleh pukul saya sepuasnya, tapi tolong lepaskan Kinna." Sista memohon. Dengan mata yang semakin buram karena tertutup air matanya, Kinna mencoba menatap sang ibu yang sedang memohon di bawah sana. Ingin sekali ia memeluk tubuh yang semakin hari semakin lemah karena penyakit serius yang dideritanya semenjak 2 tahun lalu. Tapi cengkeraman erat di lengan atasnya oleh Anthonio membuat Kinna tak bisa melakukan banyak. "Kalau kamu mau anak kesayangan kamu ini baik-baik saja. Turuti permintaanku!" teriakkan Anthon semakin menggema di ruangan ini. Sista menggeleng lemah. "Mah...." Suara Kinna memanggil parau dengan isak tangisnya. "Besok aku tunggu surat itu sudah ditandatangani! Kalau tidak, kamu akan melihat anakmu ini tidak baik-baik saja!" Dengan kasar Anthonio menghempas lengan Kinna yang dicekalnya. Dengan napas yang masih belum teratur, Anthonio meninggalkan tempat itu. Kinna merasa lengannya benar-benar perih saat ini. Ia merosot menyamai tinggi ibunya yang sedang terduduk dengan isak tangis pilu. Perlahan kedua lengannya melingkar di leher Sista. "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanya Sista cemas pada putri kesayangannya itu. Kinna menggeleng pelan. "Mama nggak perlu mempertahankan semua ini untuk Kinna. Kinna bisa mengambil beasiswa dari sekolah. Dan kita akan pergi jauh dari laki-laki sialan itu." "Kinna! Ingat, Nak, dia papamu. Dan mama tidak akan pernah membiarkan pendidikanmu terbengkalai. Mama akan membiayai pendidikanmu sampai kamu menjadi orang, Nak. Jangan pernah paksa mama lagi." Sista mempererat pelukannya. "Tapi Kinna gak mau setiap hari mama disakiti dia..." "Mama gak apa-apa, Sayang. Kamu hanya perlu belajar dan fokus pada sekolah. Maafin mama sama papa yang tidak bisa menciptakan rumah yang sebenarnya untuk kalian." Mentari kembali menyapa seluruh insan. Awan yang kemarin terlihat tebal dan mengancam, kini terlihat sangat bersahabat. Semua disibukkan pada aktivitas pagi di hari Senin ini. Lalu lalang kendaraan yang sudah memenuhi jalan ibu kota, membuatnya memilih untuk naik sepeda kayuhnya agar lebih cepat sampai di sekolah. "Kinna!" Panggilan ramah saat ia baru saja meletakkan sepedanya di parkiran sekolah membuatnya menoleh "Thella?" sapanya tak kalah ramah. Seiring berjalannya waktu, Kinna bisa mempercayai Thella sebagai sahabatnya. Sikap yang dulu benar-benar ia tak ingin punya teman di sekolah ini bisa dipatahkan oleh sikap baik dan perhatian dari Thella. Apalagi setiap ia diganggu Bisma, hanya Thella yang berani membelanya. "Ke mana aja lo? Kemarin ultah kakak gue lo nggak datang." Thella berjalan mendekati Kinna. "Sorry, ya. Kemarin gue ada acara mendadak," dusta Kinna. Ya, dia berbohong, karena kemarin dia hanya menghabiskan waktu untuk menemani sang ibu di rumah sakit karena penyakit Sista kambuh lagi. "Gue kira lo lupa." "Ya nggak lah. Oh, ya, happy birthday buat kak Andri, ya. Nih dari gue." Setelah merogoh tasnya, ia memberikan kotak berukuran sedang kepada Thella. "Oke. Thanks, ya. Sayang banget lo nggak datang, padahal kak Andri pengen banget ada lo di sana." Mereka berjalan beriringan menuju kelas. "Oh, ya, hari ini Kak Andri udah masuk lagi, 'kan?" tanya Kinna penasaran. "Iyalah, kemarin sebenarnya udah mau masuk. Tapi mama melarang karena kasian baru sampai dari Canada terus langsung mikir sekolah." Thella tersenyum kecil. "Gue kangen sama kak Andri," gumam Kinna. Tentu tanpa didengar oleh Thella. Andri adalah kakak kandung dari Thella, ia sebenarnya tahun ini sudah masuk ke universitas, tapi karena tuntutan dari keluarga yang harus mempelajari tentang dunia bisnis, Andri harus meninggalkan sekolahnya di Indonesia selama satu tahun dan menetap di Canada. Dan baru kemarin ia pulang ke Indonesia, tepat di hari ulang tahunnya. Dulu saat beberapa kali Kinna belajar bersama dengan Thella di rumahnya, ia menjadi dekat dengan Andri yang hanya sesekali bolak-balik Indonesia-Canada itu. Mereka sangat nyambung jika sedang bersama. Kinna juga merasa ia menyukai Andri karena sikap hangatnya pada sekitar. "Thell, gue mau tanya sesuatu sama lo." "Nanya apa?" Thella dan Kinna sudah sampai di kelas mereka. Mereka segera duduk berdampingan. Kinna mengalihkan pandangannya kepada Bisma sekilas yang sedang asyik ngobrol bersama Eza dan Angga, lalu kembali fokus ke Thella. "Gue mau nanya soal beasiswa di sini. Lo tahu, 'kan?" tanya Kinna pelan. Thella adalah siswa aktif organisasi di sekolah, jadi sedikit banyak Thella pasti tahu tentang hal semacam ini. "Apa?! Jangan bilang lo mau ambil beasiswa! Kenappmmm—" Ucapan Thella terpotong saat Kinna menutup mulut gadis itu dengan telapak tangannya. Pandangan heran semua siswa di dalam kelas itu tak terelakkan lagi lantaran Thella tadi hampir berteriak. "Jangan bicara lagi. Nanti aja saat jam pulang sekolah," bisik Kinna pada Thella yang mengangguk paham lalu melepaskan bekapannya. "Ikut gue." Bisma tiba-tiba saja sudah berada di sebelah Kinna dan menarik tangan gadis itu keluar dari kelas. Kinna hanya pasrah mengikuti langkah lebar Bisma. Sudah diduga, Bisma pasti mendengar teriakan Thella tadi. Bisma selalu berbuat semaunya begini. Thella sudah berdiri untuk mengikuti mereka tapi tentu saja dua sekutu Bisma lebih gesit menahannya agar tak ikut campur urusan Bisma dan Kinna. "Gue nggak akan jawab pertanyaan lo," ucap Kinna setelah mereka sampai di koridor sekolah yang sepi. "Tapi mau nggak mau lo harus jawab ini. Apa yang dimaksud Thella tadi? Beasiswa? Buat siapa? Lo?" Jangan lupa tinggalkan jejak gengs
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN