Aku Cinta Kamu

1317 Kata
Setibanya di rumah sakit, Cakra pun segera ditangani oleh para tenaga medis. Dan selama pria itu diperiksa, Viviane terus berada disampingnya, menenangkan tunangannya itu. Cakra memang masih menangis, namun ia menangis dalam diam bukan lagi merengek-rengek seperti dirumah tadi. Banyak orang di IGD yang beberapa kali sempat memperhatikannya karena ketampanannya yang begitu mencolok, oleh sebab itu kenapa Cakra harus menjaga sikap karena ia sedang berada dihadapan banyak orang. "Demamnya mulai kapan?" Tanya dokter yang tengah memeriksa Cakra. Dokter tersebut agak grogi karena melihat penampilan Viviane. "Mulai siang tadi dok." Balas Viviane. "Muntah berapa kali?" "Eum..." Viviane tampak mengira-ngira sesuai aduan Cakra, ia tidak mungkin menanyai pria itu karena sejak tadi Cakra tak mau lepas sedikitpun dari pelukannya. "Lebih dari lima kali sih dok, sekali muntah dia bisa lama banget sampai lemes gitu." Terang Viviane mengira-ngira. "Dia juga ada riwayat Typus." "Cek di Lab dulu aja ya!" "Baik dok." Angguk Viviane. "Vi..." Rengek Cakra sambil menatap Viviane dengan tatapan memelas, demi Tuhan ia takut dengan jarum suntik, apalagi ini mau diambil darahnya segala. "Ssshhh... It's okay, all be fine sayang, selama ada aku, kamu akan baik-baik aja, nggak akan sakit kok, cuma kayak digigit semut aja." Bujuk Viviane dengan penuh kelembutan, ketika sedang sakit, Viviane memang tahu betul bagaimana cara memperlakukan Cakra. Karena memang sudah terbiasa dan sudah terlatih, Viviane jadi paham betul apa yang harus dilakukannya. *** Saat berada di laboratorium, keringat dingin Cakra sudah sebesar biji-biji jagung. Pria itu ketakutan tapi harus diambil sampel darahnya mau tidak mau. Disana Viviane terus berusaha menenangkan calon suaminya itu, Cakra memang tidak mungkin histeris, namun pria itu lebih memilih menangis dalam diam karena harga dirinya. "Jangan tegang ya mas! Saya kesulitan nyuntiknya kalau masnya nggak bisa rileks." Ujar seorang perawat yang akan mengambil darah Cakra. "Lihat aku sayang, lihat deh, aku disini kan?" Viviane berusaha untuk mengalihkan perhatian Cakra. Berusaha sebaik mungkin untuk membuat pria itu rileks. Sedangkan sang perawat hanya bisa menghela nafas berat menyaksikan seorang laki-laki yang sangat childish sekali seperti Cakra. "Kamu tau nggak Ka di rumah nenekku ada kebun gandum yang luas banget sayang, terus disana juga ada kandang ayam kalkun, nenekku suka pelihara ayam kalkun, kamu pernah makan ayam kalkun sayang?" "Belum Vi, emang gimana rasanya?" Tanya Cakra yang sudah berhasil teralihkan perhatiannya, sang suster bahkan sampai tak habis pikir melihat kelakuan pasiennya. "Rasanya enak sayang, nanti kalau kita udah nikah, aku akan ajak kamu ke rumah nenekku di Mumbai, aku akan ajak kamu keliling kota buat cobain makanan-makanan disana." Jelas Viviane. "Makanan India pinggir jalan yang kayak di Tv itu? Nggak Vi, aku nggak mau, nanti aku bisa sakit perut." Tolak Cakra membuat Viviane merasa gemas. "Ya nggak dipinggir jalanlah sayang, kita ke restoran, masak aku ajak kamu makan dipinggir jalan sih. Selama ini aja aku selalu perhatiin semua makanan yang kamu konsumsi kan? Masak aku kasih kamu makanan yang nggak jelas sih, kan ya enggak..." Viviane mengusap-usap kepala Cakra dengan sayang, Cakra pun mengangguk paham menurut dengan apa yang Viviane katakan. "Udah selesai ya mbak, silahkan ditunggu hasilnya diluar, nanti kalau sudah keluar hasilnya akan saya panggil." Ujar suster tersebut setelah menempelkan plaster di lengan Cakra. "Iya sus, makasih ya sus." Ungkap Viviane. "Nggak sakit kan? Sekarang kita tunggu diluar dulu ya sekalian minum teh anget." Ajak Viviane dan Cakra pun hanya membalasnya dengan anggukan. Setelah menunggu selama setengah jam lebih, hasil lab Cakra akhirnya keluar dan ia pun dinyatakan positif Typus. Cakra tentu saja harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit, awalnya ia menolak namun karena Viviane terus membujuk dan memaksanya, akhirnya pria itupun menurut juga. Toh ini semua juga demi kesembuhannya. Saat ini mereka berdua sudah berada diruangan VVIP. Cakra terus memperhatikan tangan kirinya yang diinfus, sudah lama sekali, sudah berapa tahun ia tidak seperti ini. Dirinya terlalu lelah, otak dan fisiknya butuh istirahat. Cakra sejatinya juga capek, tapi kewajibannya sebagai seorang pimpinan mengharuskannya tetap bekerja keras. Tapi sekarang, Cakra tidak sanggup lagi, ia butuh Hans untuk membantunya. Apalagi hasil rapat dengan perusahaan Swiss kemarin menginginkan keterlibatan CEO dalam pembangunan proyek besar mereka. Jika biasanya Cakra bisa menghandle semua, tapi kalo ini ia benar-benar tidak bisa. "Besok Tante Melly kesini, barusan aku udah telepon. Tante Melly khawatir banget sama kamu, tapi dia juga belom bisa ninggalin kerjaannya." Jelas Viviane pada Cakra sambil memeras handuk yang sudah ia celupkan ke air hangat lalu ia letakkan didahi Cakra. "Nggak apa kalau mama sibuk." Jawab Cakra lemah dengan mata berkaca-kaca membuat Viviane tak tega. "Udah telepon bos kamu dan ceritain semuanya sama dia? Kapan kamu akan kasih tau dia? Apa perlu aku aja yang kasih tau?" Tanya Viviane. "Aku belum sempat, nanti Frans yang akan datang untuk temui dia. Kamu jangan ikut-ikut." Balas Cakra. "Oke kalau gitu." Angguk Viviane penuh pengertian. "Tanganku sakit." Keluh Cakra yang sejak tadi tak henti menatap tangan kirinya yang diinfus. "Apa nggak boleh infusnya dilepas aja Vi? Aku udah nggak apa-apa." Imbuh Cakra. "Nggak boleh dong, kan kamu masih sakit, kamu masih butuh perawatan selama beberapa hari. Kalau kamu nggak diinfus, nanti nggak sembuh-sembuh sayang, kamu nggak bisa kerja lagi." Tutur Viviane sambil mengusap lelehan airmata Cakra. "Tapi nggak nyaman Vi." Adu Cakra. "Nggak nyaman sebentar aja, nanti lama-lama juga terbiasa. Mau sehat apa sakit hm? Ayo, jangan bandel ya, jadi anak baik." "Ck, aku bukan anak-anak Vi..." Kini Cakra malah memalingkan wajahnya kesamping. Viviane gemas sendiri terkadang saat menghadapi Cakra, bukan anak-anak tapi kelakuannya seperti bocah. "Di kasih bubur barusan, kamu makan dikit ya, terus abis itu tidur ya sayang!" "Hm." Angguk Cakra meski terpaksa, dan hal itupun membuat Viviane tersenyum lega. Viviane lalu menyuapi Cakra dengan telaten, meski tidak banyak, namun Viviane bersyukur sekali karena bubur tersebut tidak dimuntahkan oleh Cakra. Setelah selesai makan, Viviane lalu mengambil minyak telon, seperti biasa ia akan membalur tubuh atas Cakra dengan minyak telon sebelum tidur. "Tadi udah diinjeksi obat penurun panas waktu di IGD, dan sekarang rupanya obatnya udah bekerja, keringat kamu mulai muncul, demamnya mulai turun." Ujar Viviane sambil membalurkan minyak telon ke perut, d**a dan punggung Cakra yang selalu hanya bisa menurut saja. "Vi..." "Hm?" "Kamu nggak pulang kan?" Tanya Cakra. "Kamu mau aku pulang?" Tanya balik Viviane. Cakra menatap Viviane lalu iapun menggeleng pelan. "Aku nggak mau sendiri Vi." Gumam Cakra dan hal itupun membuat Viviane selalu luluh, apalagi saat dipandang oleh wajah setampan itu. "Aku disini aja tungguin kamu." Ungkap Viviane. "Bener?" "Iya, sekarang tidur dulu yuk! Udah hampir jam dua belas malam, kamu harus istirahat." Ajak Viviane, Cakra pun mengangguk, lalu Viviane pun segera mencari tempat disamping Cakra. Ia selalu tahu apa yang harus ia lakukan ketika Cakra sedang sekarat seperti ini. Cakra lalu menelusupkan wajahnya ke ceruk leher Viviane, sedangkan Viviane kini mulai sibuk membacakan dongeng untuk bayi besarnya itu. "Pada zaman dahulu kala, ada tiga orang anak bernama Wendy, John dan Michael Darling. Mereka menyukai waktu sebelum tidur karena setiap hari Wendy bercerita tentang Peter Pan. Peter adalah seorang bocah lelaki yang memutuskan untuk tidak tumbuh dewasa. Dia tinggal di Never Land yang jauh, penuh petualangan dan kesenangan. Anak-anak suka mendengar cerita tentang Peter. Dan tanpa mereka sadari Peter sendiri akan terbang ke dunia dan duduk di jendela kamar anak-anak itu sambil mendengar cerita-cerita tentangnya. Suatu malam Peter meminta anak-anak untuk ikut bersamanya ke Never Land. Wendy senang mendengar ini. Peter mengajari mereka cara terbang. Yang diperlukan hanyalah harapan dan sedikit debu peri dan tentunya sedikit latihan. Kemudian mereka pun terbang ke Never Land." Belum sempat Viviane menyelesaikan ceritanya, ia sudah mendengar calon suaminya itu mendengkur dengan halus. Cakra memang mudah sekali tidur jika sudah mendengar dongeng seperti ini. Viviane lalu menutup buku dongeng yang ia bawa dan meletakkannya diatas selimut yang menutupi tubuh mereka berdua. Viviane lalu mengelus pipi Cakra dengan penuh kasih sayang. Kedua matanya berkaca-kaca mengingat betapa paniknya ia tadi namun ia selalu berusaha untuk bersikap tenang ketika menghadapi Cakra yang sedang sakit. "Sembuh ya sayang, jangan sakit-sakit, aku cinta sama kamu hiks." Ungkap Viviane disela-sela Isak tangisnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN