Laras kembali ke rumah sakit setelah mandi dan membawa beberapa helai pakaiannya, sementara itu toko kue diserahkan kepada karyawannya untuk hari ini, kebetulan tak ada pesanan kue tart yang urgent sehingga dia tak akan terlalu sibuk hari ini.
Laras memasuki kamar rawat Leonita, gadis kecil itu duduk di ranjang seolah menunggunya, matanya menatap daun pintu yang dibuka Laras.
“Mama!” panggilnya dengan suara cempreng yang khas. Ibu Midas menoleh dan mendapati Laras yang sudah tersenyum menatap cucunya. Laras meletakkan tas berbahan canvasnya di sofa dan menghampiri Leonita.
“Leon tidak mau makan tuh,” adu ibu Midas.
“Mau disuapin mama,” ucap Leonita. Laras tersenyum dan mengambil makanan Leon yang sepertinya baru tersentuh saja tanpa mengurangi isinya.
“Kalau disuapin mama, kamu makannya harus banyak ya,” pinta Laras yang diangguki Leonita, sementara ibu Midas keluar dari kamar rawat dan menemui putranya yang kembali duduk di depan dan pandangan mata yang tampak berkelana.
Laras duduk di kursi yang tadi diduduki oleh ibu Midas seraya menyendokkan nasi lembut dengan sayur sop. Lalu menyuapi ke mulut Leonita.
“Pahit,” ucap Leonita, Laras merasakan sayur itu namun rasanya bahkan hambar. Laras tahu rasa pahit itu berasal dari lidah Leonita yang memang sedang sakit.
“Karena Leon lagi sakit, jadi rasanya pahit. Makanya Leon harus makan yang banyak agar cepat sembuh ya,” ucap Laras.
“Kalau Leon sembuh, mama mau tinggal sama Leon lagi? Dirumah papa?” tanyanya dengan suara cadelnya.
“Iya sayang, nanti mama tinggal sama Leon dan papa,” jawab Laras membuat Leonita tersenyum senang.
“Sayang mama,” ucapnya sambil merentangkan tangan, Laras memeluk Leon dan mengecup keningnya.
“Mama juga sayang Leon,” balas Laras. Sungguh dia tak berbohong bahwa dia memang menyayangi gadis kecil itu.
Leon kembali memakan makanannya, mungkin rasa senangnya membuat nafsu makannya meningkat, Laras berharap imunitas Leonita membaik agar lekas pulih dan bisa keluar dari rumah sakit. Tak tega melihat tangannya yang dibebat infus, terlebih dia akan diambil darah lagi nanti untuk mengecek kadar dalam darahnya.
***
“Bagaimana tadi?” tanya ibu Midas kepada putranya yang tampak banyak pikiran mengganggunya itu. Midas menghela napas panjang dan menoleh ke arah sang ibu.
“Laras dan keluarganya menyetujui pernikahan ini, hanya saja aku ragu Ma,” ucap Midas.
“Apa yang membuat kamu ragu? Apakah dia?” tanya ibu Midas.
“Bukan. Aku hanya takut tak bisa membahagiakannya dan hanya akan menyakitinya saja,” ucap Midas.
“Selama kamu memperlakukannya dengan baik, mama rasa kamu tak akan menyakitinya, kamu harus belajar mencintainya. Seperti dia yang mencintai putri kamu, tak banyak wanita yang bisa menerima anak dari suaminya, meskipun dia mencintai ayahnya. Tapi lihatlah Laras, dia justru menyayangi Leonita terlebih dahulu, wanita seperti itu sudah sangat jarang, Das.”
“Iya aku tahu, Ma. Hanya saja ... ya seperti yang mama tahu, sulit bagiku untuk melupakan Anita,” ucap Midas sambil mengusap wajahnya kasar.
“Kamu tak perlu melupakannya, karena hal itu hampir tak mungkin. Kamu hanya harus menempatkannya di tempat yang tepat di hati kamu,” tutur sang ibu yang terdengar sangat bijak.
“Aku akan mencobanya, Ma,” jawab Midas. Selang beberapa waktu, tampak ayahnya menghampiri mereka. Berpakaian rapi seperti biasanya. Dengan rambut yang memutih dan keriput di wajahnya. Meskipun seperti itu, wajahnya justru terlihat sangat berwibawa.
Pria itu ikut duduk mengapit istrinya, menoleh ke arah Midas yang hanya tersenyum getir.
“Ada apa? Leonita baik-baik saja kan?” tanyanya.
“Ya Leonita tampak lebih baik, meskipun baru terlihat hasilnya setelah tes darah nanti,” jawab Midas.
“Lalu apa yang mengganggu pikiran kamu?”
“Aku akan menikah, Pa. Dengan Laras.”
“Laras?” tanya ayahnya, hingga ibu Midas menoleh dan mengangguk, dia sudah menceritakan tentang Laras kepada pria itu semalam saat perjalanan menuju pulang.
“Kapan kalian akan menikah? Biar papa yang siapkan semuanya,” ucap ayah Midas dengan suara yang tenang.
“Aku ingin secepatnya, tak mau Leonita menderita lagi,” jawab Midas dengan menghela napasnya lagi seolah ini adalah keputusan terberat yang diambilnya.
“Baiklah, setelah Leonita keluar dari rumah sakit, kita akan melamar Laras secara resmi dan mengatur tanggal pernikahan,” ucap ayah Midas.
“Kami akan menikah minggu depan, Pa. aku sudah bicara dengan Laras tadi dan menyepakatinya.”
“Kamu yakin? Papa tahu kamu sangat menyayangi Leonita, namun kamu juga harus mempertimbangkan perasaan kamu.”
“Ya, aku yakin. Di dunia ini tak ada yang lebih penting selain kebahagiaan Leonita, Pa.”
Kedua orang tua Midas saling tatap dan menyiratkan kegetiran, sama seperti mereka yang ingin hal terbaik untuk putra mereka, begitu pula Midas yang ingin melakukan hal terbaik untuk putrinya.
“Hanya saja, setelah menikah, aku harap kalian tidak menyinggung tentang momongan,” ucap Midas.
“Midas? Kamu nggak mungkin nggak mau berhubungan sama dia kan? Sebaiknya batalkan, jika tujuan kamu menikah benar-benar hanya untuk status saja,” ucap sang ibu yang disetujui suaminya.
“Bukan seperti itu. Kami menikah sungguhan. Hanya saja, dia mengalami Congenital uterine anomalies. Rahimnya bermasalah, karena itu dia tak bisa mengandung dan melahirkan,” ucap Midas. Kedua orang tua Midas tampak menghela napas berat. Mereka sangat mengerti dengan apa yang diucapkan anaknya. Namun seharusnya hal itu bukan masalah berarti, terlebih mereka sudah mempunyai cucu dari Midas, putra satu-satunya.
“Jika kamu tak masalah dengan hal itu, tak apa-apa, kami akan menerimanya,” putus ayah Midas. Midas pun mengangguk.
“Aku sudah punya Leonita, tak masalah jika tak memiliki anak lagi. Toh bukan itu tujuan utama pernikahan kita.”
“Mama dan papa akan mendukung apapun keputusan kamu, Nak.” Ibu Midas mengusap punggung putranya yang tampak berat. Hingga Midas pun beranjak lalu menoleh kepada kedua orang tuanya.
“Aku titip Leonita ya, Ma, Pa. Aku mau ke makam Anita,” ucap Midas. Kedua orang tua Midas mengangguk, dia tahu Midas masih sangat berat, dan dia berharap Midas akan lebih baik setelah melihat makam istrinya yang sudah lama meninggalkannya itu.
***
Midas memutuskan pulang kerumah lebih dahulu, mandi dan berganti pakaian dengan kemeja hitam dan celana panjang hitamnya.
Memandang cermin di meja rias kamarnya, yang merupakan milik sang istri. Di atas meja itu tak ada perlengkapan make up wanita. Hanya terdapat botol parfum miliknya dan pelembab wajahnya yang memang dibutuhkan karena udara yang tak bagus dapat membuat wajahnya tak sehat.
Midas melewati ruang tamu, dimana terdapat foto besar pernikahan dirinya dengan Anita, dia tahu dia akan menurunkan foto itu nanti agar tak menyakiti hati Laras. Namun tidak untuk saat ini karena dia harus segera ke makam Anita, sore nanti ada jadwal bedah yang harus dilakukannya.
Memasuki mobil sambil memakai kacamata hitam yang serasi dengan pakaian yang dikenakan. Dia juga membeli sebuket bunga mawar berwarna putih di toko bunga yang dilewatinya. Aroma mawar itu sangat tajam, bunga yang disukai Anita.
Anita sangat menyukai warna putih, karenanya Midas seringkali memberikannya mawar putih di setiap kesempatan.
Mobil Midas memasuki pelataran pemakaman cukup elite, setelah memarkirkan kendaraannya dia pun memasuki gerbang kecil menuju areal pemakaman yang tertata rapih dengan rumput-rumput hijau diatasnya.
Midas menyusuri jalanan yang telah diaspal, sejauh mata memandang hanya gundukan pemakaman saja yang terlihat. Dia sangat menghapal dimana letak makam Anita karena sering mengunjunginya.
Dia pun berbelok pada satu jalanan dan menghampiri satu makam dengan nisan berwarna putih yang tertulis nama Anita, sang istri yang meninggalkannya dengan sejuta kepedihan. Midas meletakkan bunga itu tepat di samping batu nisan persegi milik sang istri.
Lalu dia duduk di sisi makam tersebut sambil mengusap rumput hijau yang tumbuh subur di atas makamnya. Terbayang senyum Leonita di saat-saat terakhir kehamilannya. Betapa bahagianya dia membeli banyak perlengkapan bayi untuk bayi perempuan dalam kandungannya.
Memilih nama Leonita karena dia ingin putrinya kuat seperti singa, sang raja hutan, dan juga meletakan nama Nita sama dengan namanya, agar Midas selalu mengingatnya, seolah dia punya firasat bahwa akan meninggalkan Midas untuk selamanya.
“Hai,” sapa Midas dengan suara bergetar.
“Kamu bahagia disana? Apakah Surga sangat menyenangkan? Sehingga kamu pergi sangat cepat. bahkan sampai kini pun rasa ku untukmu tetap sama, tak berubah sedikitpun. Namun ... Leonita membutuhkan seorang ibu, ada wanita yang bisa menjadi ibu untuknya.” Midas menunduk, sungguh dia tak kuasa mengucapkan kata-kata selanjutnya. Namun dia juga tak bisa menikah begitu saja tanpa mengucapkan sesuatu terhadap istrinya, meskipun dia tahu istrinya mungkin tak bisa mendengarnya lagi.
“Namanya Laras, dia wanita baik yang ku temui di toko kue menjelang ulang tahun putri kita. Dia baik dan menyayangi putri kita,” ucap Midas bahkan dia tak mengangkat wajahnya saat menceritakan hal itu seolah ada paku yang memakunya diam di tempat.
“Aku belum mencintainya, di hatiku masih terisi penuh nama kamu, namun aku sepertinya harus menempatkan kamu di tempat yang tepat di dalam sini, karena itu ... hari ini, aku benar-benar mengikhlaskan kamu. Aku melepas kamu sepenuhnya. Maaf jika keberatanku akan kepergian kamu, membuat kamu sedikit menderita disana. Berat Ta, sangat berat. Tapi kamu tahu putri berharga kita kesakitan. Setiap hari merindukan kamu, memanggil nama kamu dalam setiap tidurnya. Aku janji aku akan tetap menjelaskan siapa ibu kandungnya? Aku janji tak akan mengubah identitas ibu kandungnya, selamanya, kamu Anita adalah ibu untuk Leonita, dan tetap menjadi ibunya sampai kapanpun,” ucap Midas, membungkuk untuk mengecup nisan sang istri.
Sekuat tenaga ditahan air mata agar tak lolos membasahi nisan itu, dia tak mau Anita bersedih untuknya. Setelah mendoakannya, dia pun meninggalkan pemakaman itu. Rasa sedih masih menggelayutinya meskipun dia tahu tak bisa berlama-lama akan kesedihannya. Dia tak ingin Leonita melihat wajahnya yang murung. Karena itu dia membulatkan tekad untuk melepas semuanya, dan memulai kehidupan barunya bersama Laras dan Leonita.
***