Delapan

1637 Kata
Malam ini, Laras menemui Monic di sebuah cafe tak jauh dari rumah sakit tempat Leonita dirawat. Monic penasaran dengan apa yang terjadi hingga Laras berkata akan menikah tak lama lagi. Karena itu, Monic memutuskan berjumpa untuk Laras di cafe. Laras sudah menceritakan semua yang terjadi sejak awal dia datang ke rumah sakit, hingga ajakan Midas untuk menikah dengannya. Monic yang memasang wajah serius itu hanya bisa menghela napas panjangnya saat ini. toh semua telah terjadi, bahkan orang tua Midas akan menemui keluarga Laras saat Leonita sudah pulang dari rumah sakit. “Kamu yakin kan dengan apa yang kamu lakukan?” tanya Monic. “Ya, itu adalah jalan keluar terbaik yang aku pikirkan,” jawab Laras sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi berbahan besi itu. Cafe tersebut tak terlalu ramai malam ini, mungkin karena merupakan hari kerja yang membuat orang-orang lebih sibuk dari biasanya. Hanya ada beberapa orang pengunjung cafe bernuansa hangat tersebut. “Kamu sudah blokir nomor Fatma?” “Ya, aku nggak kuat lihat chatnya, aku juga sudah mengarsipkan pesan itu barang kali nanti butuh,” ucap Laras. “Bagus lah, hindari toxic people seperti itu, kamu nggak harus terlibat lagi dengan mereka. Meskipun pernikahan kali ini membuat aku khawatir,” ucap Monic menyesap es kopinya lalu mengambil kentang goreng untuk dimakannya. “Iya, untuk apa terus berhubungan dengan orang yang hanya akan merusak pikiran kita. Nggak perlu khawatir, aku sudah dewasa lagi, bukan anak-anak,” cebik Laras. “Justru karena kamu sudah dewasa, kamu selalu memikirkan perasaan orang lain dibanding diri kamu sendiri, aku takut kamu down karena tak tahu masa depan pernikahan kamu seperti apa?” “Nggak apa-apa, kamu tahu pepatah cinta datang karena terbiasa kan. Aku yakin nanti kita bisa saling mencintai, meskipun mungkin butuh waktu lama,” ucap Laras menenangkan Monic. Monic sangat mengenalnya karena mereka bersahabat sejak kecil dan selalu bersama. Kesakitan Laras adalah kesakitannya juga. Saat proses cerai kemarin pun, Monic selalu mendampingi Laras, menemani sejak awal sidang sampai sidang terakhir. “Oiya paud anak kamu dekat dari toko aku kan? Kayaknya aku mau pindahin paudnya Leonita kesana agar aku bisa fokus sama toko juga, sayang sudah banyak pelanggan,” ucap Laras. “Kamu sudah bilang sama Midas? Paud tempat anak aku bagus kok, nggak hanya mengajarkan tentang pelajaran umum, tapi lebih ke tindakan sosial, membentuk karakter anak.” “Iya aku sudah bilang ke Mas Midas dan dia setuju, aku sudah jelasin metode pengajaran di paud anak kamu sekolah seperti apa,” ucap Laras, melihat jam di ponselnya dan menoleh ke arah Monic, tanpa sadar sudah dua jam mereka berbincang di cafe ini. Laras pun mengirim pesan ke Midas, memfoto menu di cafe itu dan menanyakannya apa yang mau dipesan agar dia beli sekalian sebelum ke rumah sakit. Tak lama Midas membalas pesannya untuk membelikan kopi latte hangat disana juga burger untuknya. Setelah membeli pesanannya, Laras dan Monic pun berpisah di cafe itu. Laras menyebrang jalan menuju rumah sakit dia memang berjalan kaki ke cafe itu karena letaknya yang tak terlalu jauh dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa perawat tampak mengenalinya dan menunduk sopan sembari tersenyum kepada Laras, ya mereka tahu bahwa Laras adalah calon istri dari dokter bedah bernama Midas Erlangga yang cukup populer itu. Laras bisa melihat tatapan mata iri kepadanya, namun dia merasa baik-baik saja karena dia sudah tahu resiko menikahi pria yang populer seperti apa? Di hari pertama Laras ke rumah sakit itu saja, dia sudah bisa melihat para perawat wanita yang tak lepas menatap wajah calon suaminya itu. Tak ada rasa cemburu di dadanya, mungkin karena dia yang belum mencintai Midas, rasanya benar-benar biasa saja. Laras memasuki kamar rawat Leonita, melihat gadis kecil itu yang sudah tertidur pulas, sementara Midas bersandar di sofa sambil memejamkan matanya. Wajahnya tampak kelelahan, Laras tahu dia baru selesai melakukan operasi, tadinya Laras menitipkan Leonita kepada Dian yang memang ikut menjaganya, namun setengah jam lalu Dian mengirim pesan kepadanya bahwa dia akan pulang karena Midas sudah datang. Laras duduk di samping Midas dan meletakkan pesanan Midas di meja, Midas menoleh kepadanya dan mengalihkan pandangan ke meja dimana sudah terdapat kopi juga burger pesanannya. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih kepada Laras. “Malam ini kamu pulang saja Mas, istirahat di rumah, biar saya jaga Leonita,” usul Laras. Midas yang telah meminum kopinya pun menggeleng, meletakkan kopi itu di meja dan mengganti dengan burgernya lalu membuka kertas pembungkus burger itu dan memakannya dengan lahap. “Saya mau disini saja, lagi pula besok pagi ada jadwal bedah lagi,” ucap Midas sambil mengunyah burgernya. Laras menyodorkan tissue karena sudut bibir Midas terkena saus dari burger itu. Midas menerimanya dan menyeka bibirnya. “Kalau begitu, kamu tidur di kasur saja, biar saya yang di sofa,” ucap Laras. “Jangan, kamu di ranjang saja, lagi pula sofa ini cukup nyaman,” ucap Midas. “Mama papa tidur dikasur aja bareng-bareng,” tutur Leonita membuat Midas dan Laras terkejut, mereka menoleh ke ranjang Leonita, tampak gadis kecil itu terkekeh hingga Laras menghampirinya dan duduk di kursi dekat ranjang Leonita. “Kamu bangun? Suara mama bangunin kamu ya?” tanya Laras sambil mengusap kening Leonita. “Mama sama papa kenapa ngomongnya saya-saya kayak bu guru di sekolah,” ucap Leonita dengan suara cadelnya. Laras menoleh ke arah Midas yang tampak mengangkat bahunya, dan kembali melanjutkan makannya. “Harusnya ngomong apa?” tanya Midas. “Aku dong, kayak mama papanya Cia,” ucap Leonita. “Cia siapa?” tanya Laras. “Cia temen aku,” ucap Leonita. Midas hanya mengulum senyumnya, meletakkan pembungkus burger itu dalam satu tempat dan membuang ke tempat sampah lalu dia mencuci tangan di kran wastafel tak jauh dari kamar mandi, menghampiri Leonita dan duduk di ranjang Leonita. “Baiklah, papa sama mama pake kata aku ya?” tanya Midas, yang diangguki Leonita dengan bibir tersenyum lebar. Midas dan Laras pun menyadari bahwa memang percakapan menggunakan kata sapaan ‘saya’ itu membuat hubungan mereka tak lebih dekat padahal tak lama lagi mereka akan menikah dan menjadi suami istri sesungguhnya. Hanya saja mereka berdua bingung dimana memulai percakapan dengan lebih akrab, hingga Leonita yang merupakan anak kecil yang mengusulkannya membuat mereka cukup malu. “Papa kapan aku pulang?” tanya Leonita ke arah ayahnya yang sudah menatapnya dengan penuh cinta. “Besok siang sudah bisa pulang,” ucap Midas. “Mama ikut kerumah kan?” tanya Leonita dengan matanya yang sedih. “Iya mama ikut kerumah Leon,” jawab Laras. “Sekarang kamu tidur, sudah malam,” ucap Midas. Leonita pun mengangguk, memegang tangan Laras erat dan meletakkan di dadanya, dia pun memejamkan mata sementara tangan satu Laras menepuk pelan pinggang Leonita dengan penuh kasih sayang agar Leonita tertidur. Midas pun beranjak dari ranjang Leonita menuju sofa kembali duduk sambil membuka ponselnya, membalas beberapa pesan masuk terkait pekerjaannya. *** Laras menoleh ke arah Midas yang sudah berbaring di sofa sambil mendekap ponselnya, Laras pun mengambil selimut di kasur dan menyelimuti Midas, mengambil ponsel di d**a sang calon suami dan meletakkan di meja. Ada sebuah notif masuk, Laras tak melihat notif itu namun layar ponsel Midas yang menyala mengalihkan perhatiannya, ya di layar itu terpampang foto mendiang istri Midas yang digunakan sebagai wallpaper. Laras tahu pasti Midas masih merasakan berat dengan keputusannya. Laras membersihkan wajahnya dan berbaring di kasur kamar itu, melihat ponselnya, membuka galeri di ponsel, dia masih menyimpan banyak fotonya dengan mantan suaminya meski sudah satu tahun lebih berpisah dengannya. Dia tahu tak ada gunanya lagi mengenang hal itu, toh mereka telah berpisah dan mengambil jalan masing-masing kini. Laras menghapus satu persatu foto dirinya dan Bimo, seiring dengan ingatannya tentang sang mantan suami tersebut, terbayang betapa mereka saling menyayangi dengan hubungan yang romantis, Bimo selalu menenangkannya, mengusap kepalanya ketika mereka tidur bersama. Laras akan mendengarkan setiap cerita Bimo tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, tak jarang Bimo berkelakar tentang segala hal sehingga Laras akan tertawa mendengarnya, dan melupakan kesedihan karena tak bisa memberikannya keturunan. Bimo selalu bisa membuat Laras menjadi seorang wanita yang spesial, dia sering tiba-tiba membuatkan sarapan untuk sang istri sebelum berangkat kerja. Mengirim pesan cinta kepadanya di tengah kesibukannya, membuat Laras selalu bersemu meski sudah menjalani pernikahan lebih dari lima tahun lamanya. Namun ingatannya kembali memukulnya, tahun itu merupakan tahun terberat dalam hidupnya, ketika dia memutuskan mengakhiri hubungannya karena sudah tak kuat dengan perlakuan ibu Bimo terhadapnya. Secinta apapun dia terhadap suaminya, namun dia juga wanita yang mempunyai perasaan yang akan sakit hati jika terus diperlakukan dengan buruk. Di mata orang tuanya, Laras adalah putri mereka yang berharga namun tidak di mata orang tua Bimo, Laras tahu ketidakmampuannya memberikan Bimo keturunan membuat mereka meradang. Laras tak mau dipoligami, mungkin tak ada wanita yang menginginkan poligami dalam hidupnya sama seperti Laras, cintanya kepada Bimo yang besar tak bisa menutupi rasa cemburunya. Dia sangat bingung dengan para wanita yang merelakan suaminya menikah lagi, bahkan mengantar ke pernikahan, Laras tak kuat dengan itu, membayangkannya saja sudah membuatnya merasa ingin mati saja. Sampailah di foto terakhir yang Laras lihat di galerinya, foto pernikahan mereka. Betapa bahagia wajah mereka berdua. Laras mengusap foto itu dan memejamkan mata, menarik napas panjang dan menyeka butir air mata yang membasahi pipinya. Lalu dia menekan hapus foto. Seolah dia menghapus segala kenangan tentang pernikahannya yang telah kandas dan bersiap memulai hari barunya. Tak lupa dia menuju folder dalam ponselnya yang memperlihatkan berkas yang telah di hapus, dengan yakin dia menekan hapus selamanya berkas pembuangan itu, dan kini di ponselnya tak ada lagi foto-foto nya bersama dengan Bimo. Laras berbaring miring dan meletakkan ponsel itu di atas nakas, dia mencoba memejamkan mata dan menjemput mimpinya malam ini, membiarkan tubuhnya istirahat dari kepenatan malam, dia tak tahu bahwa setelah dia tertidur pulas. Midas menghampirinya dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang tadi dipakai Laras untuk Midas. Midas berharap Laras tak terbangun untuk memindahkan selimut itu lagi ke tubuhnya, atau semalaman mereka akan saling memindahkan selimut secara menggelikan. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN