Empat

1785 Kata
Pagi hari, Leonita terbangun dan segera mengedarkan pandangan ke sekitar kamarnya, tak didapati wanita yang dipanggil mama disana. Dia pun keluar dari kamar masih mengenakan piyamanya, mencari ke sekeliling rumah. Bahkan dia membuka pintu kamar sang ayah dan tak mendapati siapapun disana, “Mama!!” panggil Leonita. Dian yang sedang menyiapkan sarapan untuk Leonita pun berlari menghampiri gadis kecil itu. “Mbak Dian, mama mana?” tanya Leonita. “Mama? Leon sarapan dulu yuk,” ucap Dian mencoba mengalihkan perhatian Leonita namun gadis kecil itu menggeleng dengan mata yang basah. Dia berlari ke pintu depan dan duduk di depan pintu itu sambil menangis, diikuti Dian yang duduk disampingnya. “Aku mau nunggu mama datang,” ucap Leonita. Dian sangat terenyuh sampai ingin menangis, sejak Leonita bayi, dia lah yang merawatnya dan dia sangat mengenal gadis kecil yang keras kepala itu. Dia tahu Leonita akan sangat sulit dibujuk. “Sekarang Leon sarapan dulu, terus mandi, nanti kita tunggu mama lagi ya,” bujuk Dian, dia takut salah bicara karenanya dia memilih kata-kata ini. “Nanti mama datang?” tanya Leonita sambil mengusap air di pipinya. “Mungkin, nanti Leon tanya papa ya,” ucap Dian, menggendong Leonita yang tak menolak itu, Leonita dengan cepat menghabiskan sarapannya dan mandi, lalu memakai baju dengan bantuan Dian. Dan dengan berlari, kembali ke pintu depan dan duduk di depan pintu itu. Dian pun mengirim pesan kepada Midas dan mengirim gambar Leonita yang terus duduk di pintu rumahnya sambil menunggu kedatangan mamanya. Cukup lama Midas tak membaca pesannya, lalu setelah menyelesaikan pekerjaannya dia segera menelepon ponsel Dian karena memang dia baru selesai operasi. Dian pun segera memberikan ponsel itu kapada Leonita. “Ya, papa?” tanya Leonita dengan suaranya yang terdengar lemah. “Leon masuk ya, di rumah sudah mendung kan? Nanti hujan,” ucap Midas dari seberang sana. “Leon mau nunggu mama,” ucap Leon. “Nunggunya di dalam saja ya,” ucap Midas, tak berapa lama hujan turun dengan deras hingga Dian menggendong Leonita dan duduk di sofa. “Mama kapan datang?” tanya Leonita, Midas bingung harus menjawab apa? Dia tak menyiapkan jawabannya saat ini terlebih dia tak mungkin menjelaskan via telepon seperti ini. “Mama pergi kemana lagi sih, pa?” tanya Leonita lagi karena tak mendengar suara sang ayah. “Nanti malam papa jelasin ya mama pergi kemana? Karenanya Leonita nggak perlu tunggu mama hari ini,” ucap Midas memberi pengertian namun Leonita justru menggigit bibirnya ingin menangis. “Mau ketemu mama lagi,” isak Leonita. “Leon sayang dengerin papa, kalau Leon nangis nanti mamanya nggak mau datang, jadi jangan nangis ya,” ucap Midas, Leonita mengangguk dan memutuskan panggilan ayahnya lalu dia meminta Dian membuka gorden jendela yang memperlihatkan jalanan itu, matanya terus memandang jalanan basah tersebut berharap mamanya muncul dan kembali memeluknya. *** Laras memandang hujan dari jendela tokonya, dia duduk di kursi panjang yang ada di toko, dan membuka ponselnya, hari ini dia merasa sangat berat melangkah entah mengapa? Dia melihat galleri ponselnya ada beberapa foto Leonita dengan dirinya yang diambil hari itu untuk kenang-kenangan. Mengusap pipi Leonita di foto itu, dia berharap Leonita bisa melupakannya dan tak mencarinya, dia pasti akan sangat sedih jika tahu bahwa Laras bukan lah ibunya. “Wah!! Hujannya lebat! Foto siapa tuh?” ujar seorang wanita yang baru masuk toko sambil mengusap jaketnya yang terkena percikan hujan, membuyarkan lamunan Laras. Laras mendongak melihat Monic sahabatnya. “Anak yang kemarin,” ucap Laras, dia telah menceritakan secara singkat kepada Monic tentang pertemuannya dengan Midas sampai dia berpura menjadi ibu dari gadis kecil bernama Leonita itu. “Coba lihat,” ucap Monic sambil duduk disamping Laras. Tubuh Monic lebih gemuk dari Laras meskipun tinggi mereka sama, wanita itu juga sudah menikah dan mempunyai anak. Rumah tangganya bisa dibilang cukup harmonis, suaminya sangat memanjakan dan menyayanginya, begitu pula dengan ibu mertuanya yang tak pernah ikut campur dengan rumah tangganya, yang kadang membuat Laras iri dan sedih. “Ini papanya?” tanya Monic, Laras cukup terkejut, padahal dia hanya memotret Leonita dan dia tak menyadari bahwa Midas ikut terpotret dan dengan mata elangnya, Monic memperbesar foto itu. “Kok bisa ada Midas di situ?” tanya Laras. “Lah kamu yang foto masa nggak tahu?” cebik Monic. “Ganteng juga, jauh lebih ganteng dari Bimo, deketin aja,” saran Monic. Laras mengambil ponselnya dan meletakkan di kursi. “Berat, kamu tahu aku masih mencintai Bimo,” ucap Laras sambil menunduk. “Dia bukan milik kamu lagi Ras, lagi pula dia sudah punya keluarga baru, kamu nggak bisa mengharapkannya lagi.” “Ya, aku tahu, aku hanya belum bisa melupakannya Nic. Meskipun aku sangat amat ingin melupakannya dan membuka lembaran baru hidup aku.” “Kamu harus menemukan laki-laki lain untuk membantu kamu melupakannya,” ucap Monic. “Kamu tahu nggak kemarin dia bilang apa saat kesini?” tanya Laras yang memang belum menceritakan sepenuhnya kejadian yang dialami hari kemarin. “Bilang apa?” tanya Monic penasaran. “Dia bilang dia akan menceraikan istrinya dan kembali ke aku. Kan gila!” “Ish, serem banget sih ucapannya!” “Ya, makanya itu. Tangan aku gemetar saat dia ngomong itu. Aku memang masih mencintainya, tapi aku nggak akan mungkin mau melihat rumah tangganya berantakan, aku nggak mau jadi perempuan jahat, kamu tahu itu kan?” “Makanya itu kamu memilih pergi dengan Midas, dan mengalami hal berat lainnya?” “Nah itulah,” ucap Laras dengan sedih, tak terbayang dia mengalami hari seperti itu di hidupnya, dia pikir semua akan berakhir setelah dia ikut datang ke pesta ulang tahun Leonita, dia akan duduk di pojokan sampai acara itu berakhir dan pulang setelahnya, setelah yakin bahwa Bimo tak akan menunggunya di toko. Dia tak pernah menyangka bahwa Leonita akan merengek dan memanggilnya mama. “Kamu kayak keluar dari sarang macan, masuk ke sarang singa!” ucap Monic seolah tahu apa yang ada di pikiran Laras. “Kamu tahu nggak, aku bahkan menyukai Leonita, aku kangen banget sama anak itu, aku sedih melihat dia menangis, aku ingin memeluknya terus,” ucap Laras, tak terasa air matanya mengalir mengingat Leonita, yang bahkan baru dikenalnya namun membuatnya ikut merasakan penderitaanya. “Kangen Leonita apa ayahnya?” goda Monic membuat Laras mendengus dan memukul lengannya pelan. Monic hanya tak ingin melihat Laras menangis, dia sudah terlalu banyak menangis setahun belakangan ini. “Usia Leonita sama kayak anak kedua aku, tiga tahun kan? Dia memang sedang di fase yang selalu ingin bercerita dengan ibunya, dia pasti butuh banget seorang ibu,” ucap Monic, membayangkan putrinya yang selalu mengekornya, yang mulai belajar mengenal huruf, angka dan gambar yang terus menceritakan banyak hal kepadanya. “Dia sedang apa ya sekarang?” tanya Laras seolah kepada dirinya sendiri. “Hubungin aja Midas,” usul Monic namun Laras menggeleng. “Aku nggak punya nomornya,” jawab Laras pelan. “What!!!!” jerit Monic membuat Laras menutup telinganya, gendang telinganya bisa pecah mendengar teriakannya.   ***  Midas sengaja pulang lebih awal hari ini, melihat sang putri yang ternyata kembali duduk di depan rumahnya, kali ini di kursi teras rumah. Waktu paling cepat Midas pulang adalah ketika petang, saat semburat senja mulai memudar berganti pekat malam. Karena kesibukannya yang seringkali membuatnya pulang larut, dia sadar waktunya yang terbatas pasti membuat Leonita kesepian sehingga terus merindukan ibunya. Namun dia tak bisa apa-apa karena sudah janjinya sebagai dokter, terlebih dia bukanlah dokter senior yang masih harus terus mengabdikan diri di rumah sakit yang terbilang cukup mewah di perkotaan ini. “Leonita,” panggil Midas sambil merentangkan kedua tangannya, Leonita tak menyambut dengan berlari seperti biasanya, dia terus saja melihat mobil Midas, barangkali mamanya ikut pulang seperti kemarin. Namun dia harus menelan kekecewaan ketika tak didapati siapapun dibelakang sang ayah. Midas bisa merasakan suhu tubuh anaknya yang agak demam di pelukannya. Leonita tampak lemas bersandar di bahu sang ayah yang membawa ke kamarnya. “Kamu sudah makan?” tanya Midas. “Sudah,” jawab Leonita pelan. “Sekarang Leon ganti baju tidur dulu ya, papa mau mandi, bau obat,” ucap Midas mencobe memberikan senyum hangatnya namun Leonita hanya mengangguk lemah dan meminta Dian menggantikan bajunya sebelum tidur. Midas kembali ke kamar Leonita setelah mengenakan piyama tidurnya dan berbaring di samping putrinya yang tampak menangis. “Leon kenapa menangis?” tanya Midas sambil mendekap Leonita yang terisak, Leonita menatap mata ayahnya dan kembali menunduk. “Mama kemana?” tanya Leonita. “Mama di surga sayang,” jawab Midas, hanya itu yang bisa dia ucapkan kepada gadis kecilnya. “Mama kembali ke surga? Hanya datang pas Leon ulang tahun?” tanya Leonita kembali mendongak namun Midas memutus tatapan diantara mereka, dia tak bisa membohongi putrinya dengan menatap matanya yang basah. “Iya,” jawabnya pelan. “Bagaimana cara Leon ke surga papa?” tanya Leon dengan suara cadelnya yang khas. “Leon nggak boleh bicara seperti itu, sayang,” ucap Midas sambil membelai rambut putrinya. “Leon ingin sama mama,” jawabnya sambil terisak, isakannya sangat menyayat hati. “Terus Leon tinggalin papa disini sendiri?” tanya Midas dengan suara bergetar. “Leon rindu mama, Leon mau tidur disamping mama, Leon ingin mama,” ucap Leon kembali terisak. “Ssssttt, sudah jangan menangis lagi ya, sekarang Leon tidur,” ucap Midas sambil terus membelai rambut putrinya. Leonita memejamkan mata meski air matanya terus mengalir sampai dia tertidur, dan Midas merapikan bantalnya, juga menyelimutinya. Midas mengambil termometer dan mengukur suhu tubuh Leonita, sedikit diatas normal namun belum perlu obat untuk saat ini. Leonita seperti mengigau dan menggelemetukkan giginya, seolah kedinginan. “Leon ikut mama,” igaunya membuat Midas mengurut pelipisnya dan membiarkan air membasahi matanya. Dia tak pernah menyangka putrinya akan semakin merindukan sang ibu setelah bertemu dengan Laras. Dia tak mau Laras berpura menjadi ibu Leonita lagi, dia yakin beberapa hari lagi mungkin Leonita akan kembali ceria dan bisa melupakan tentang yang terjadi. Midas memutuskan tidur di samping putrinya, membuka ponselnya dan memperhatikan satu nama yang telah dia simpan di ponsel itu. Larasati! Ya dia menyimpannya karena urusan cake yang dipesan, namun sampai kini dia tak pernah menghubunginya. Apa yang harus dia ucapkan? Perlukah dia memberi kabar tentang Leonita? Namun dia tahu mereka hanyalah orang asing yang tak sengaja bermain peran. Bukankah terlalu berlebihan jika dia bertindak sok akrab dengan orang yang baru dikenalnya? Bagaimana jika dia menghubungi Laras dan justru mengganggunya? Bagaimana jika Laras sangat terganggu dengan kehadirannya? Bukankah Laras masih sangat mencintai mantan suaminya jika dilihat dari matanya dan tingkah lakunya ketika bertemu dengan mantan suaminya kala itu. Orang bodoh pun tahu bahwa Laras tak dapat mengalihkan dari melihat mantan suaminya itu. Sama seperti Midas yang bahkan masih terus terbayang akan istrinya, di saat-saat tersulit dalam hidupnya. Seperti sekarang ini, seolah Anita datang dan memeluknya untuk menenangkannya. Dan Midas tertidur di kamar sang putri. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN