Sesampainya Nathan dan Alika di kantor Kelurahan daerah Bogor, para warga masih saja mendesak untuk menikahkan mereka berdua. Bahkan ada salah satu warga yang mengancam akan menghukum rajam mereka kalau mereka tidak mau untuk dinikahkan.
"Bagaimana Pak, mereka harus segera dinikahkan agar tidak memperburuk emosi warga disini!" usul salah satu warga yang sedari tadi terus mengompori.
"Apa enggak ada cara lain Pak? Saya berani bersumpah Saya tidak melakukan apapun sama wanita ini. Kami hanya bermalam karena hujan lebat semalam," terang Nathan wajahnya tampak sangat emosi karena permasalahan ini.
"Iya Pak, saya juga berani bersumpah Saya dan Bos, Saya tidak melakukan apa-apa semalam," sambung Alika wajahnya tampak sangat pucat karena ketakutan.
"Saya percaya, tapi ... Saya ragu kalau warga-warga di sini percaya juga. Mereka tetap ingin kalian menikah kalian turuti saja kemauan warga agar masalah ini cepat selesai."
Ketua RT tak dapat melakukan apa-apa karena dia juga takut akan amukan warganya, biar bagaimanapun Alika dan Nathan kepergok bermalam di dalam vila berdua dan tanpa status yang jelas.
Ketua RT juga meragukan kalau Alika dan Nathan tidak melakukan apa-apa di dalam vila itu karena mereka adalah pasangan muda-mudi dari luar daerahnya, bisa saja mereka sedang berbohong.
"Sebaiknya Mbak telpon ayahnya dan minta dia kesini untuk menjadi wali nikah kalian!" usul Ketua RT.
"Tapi Pak, saya ragu kalau ayah saya akan datang kesini."
"Coba saja hubungi Mbak! Agar masalah ini selesai."
Alika menoleh ke arah Natha yang ada di sampingnya. "Bagaimana ini Pak Nathan? Apa saya harus menelpon ayah saya?" tanya Alika wajahnya tampak sangat tertekan dan serba salah dengan semua masalah yang harus ia hadapi saat ini.
"Saya, mau semua cepat selesai, cepat lakukan saja permintaan warga-warga ini! Kita akan pikirkan semuanya di Jakarta nanti."
"Baik, Pak."
Alika tak mempunyai pilihan lain selain melakukan apa yang di perintahkan Nathan, ia mencoba menghubungi ayahnya. Walau sebenarnya dia ragu kalau ayahnya akan perduli dengan keadaan Alika karena yang dipikirkan ayahnya hanya uang, uang dan uang untuk melakukan hobi mabuk dan judinya.
Andi ayah tiri Alika yang menjadi benalu bagi Alika, ia hanya menjadikan Alika tambang uangnya semenjak Rina Ibu Alika meninggal dunia, Alika harus bekerja keras untuk melunasi hutang-hutang Andi dan juga memenuhi kebutuhan Andi.
Alika tak punya pilihan lain selain menuruti Andi karena ia sudah menganggap Andi seperti ayah kandungnya sendiri.
Hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya karena ia harus meminta pertolongan Andi untuk menjadi wali nikahnya. Alika harus mengubur mimpinya yang ingin menikah dengan lelaki yang ia cintai dan mencintainya, lalu menggelar resepsi mewah.
Sambil terus meneteskan air mata Alika mencoba menekan tombol-tombol ponselnya dan menghubungi Andi.
"Halo, Ayah. Alika mau minta tolong Ayah ke Bogor sekarang! Alika lagi dalam masalah. Ayah tolong kesini ya!"
"Ayah nggak ada duit, gimana Ayah mau ke sana? Kamu kan belum ngasih Ayah duit, bulan ini."
"Ayah, Alika mohon kali ini aja tolong Alika Yah! Alika mau dinikahkan sama laki-laki di sini. Alika lagi dalam masalah besar, Yah."
"Nikah sama siapa? Bukannya kamu ke sana karena ada urusan pekerjaan, terus apa kamu mau menikah dengan bos kamu? Kalau begitu Ayah akan ke sana sekarang. Ayah akan cari ongkos, kamu tunggu di sana! Dan jangan lupa minta mahar yang besar sama bos kamu itu."
Andi mengakhiri panggilan dari Alika.
Alika hanya bisa menghela nafas, da*danya terasa semakin sesak karena ayahnya. Andi sama sekali tak memikirkan Alika, yang ada dipikiran Andi hanya uang dan uang, ia tak tau perasaan tertekan dan sedih yang dirasakan Alika saat ini.
Ibu, Alika kangen sama Ibu. Apa Ibu setuju dengan pernikahan ini? gumam Alika dalam hati air matanya tak berhenti mengalir saat meratapi nasib hidupnya.
"Apa Ayah kamu mau ke sini?" tanya Ketua RT.
"Sebentar lagi Ayah saya datang ke sini Pak," jawab Alika pelan.
"Sini Saya mau bicara!"
Nathan menarik kasar tangan Alika dan membawanya ketempat yang sedikit jauh dari warga-warga yang masih menunggu mereka menikah.
"Ini hanya pernikahan terpaksa, kalau sampai di Jakarta nanti. Kita tidak punya hubungan apa-apa, kamu harus ingat itu! Jangan sekali-sekali memanfaatkan Saya! Kamu akan tau sendiri akibatnya," desis Nathan penuh emosi.
"Iya Pak, Saya mengerti. Saya juga sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini," ketus Alika.
"Bagus. Jangan pernah ungkit masalah ini saat di Jakarta nanti, kamu tau reputasi Saya akan hancur kalau sampai gosip tentang pernikahan ini menyebar!"
"Saya akan menutup mulut. Pak Nathan tenang saja!"
Alika berjalan meninggalkan Nathan dan kembali menunggu di tempat duduk yang sudah disiapkan untuk melangsungkan ijab kabul.
"Aku yakin dia sangat menginginkan pernikahan ini, wanita miskin itu pasti merasa sangat beruntung bisa menikah dengan laki-laki tampan dan kaya sepertiku," gumam Nathan dengan penuh percaya diri.
Setelah menunggu hampir tiga jam
akhirnya Andi datang dengan wajah yang sangat antusias, ia berjalan masuk ke dalam Kelurahan. Ia sangat senang karena Alika akan menikah dengan lelaki kaya raya karena itu artinya ia juga akan ikut menikmati harta suami dari Alika.
"Mana? Mana anak saya? Saya Ayahnya, Saya yang akan jadi wali nikahnya," tanya Andi sambil berjalan sempoyongan masuk ke dalam kantor Kelurahan. Kedua bola matanya yang merah menandakan kalau ia sedang berada dibawah pengaruh alkohol.
"Ini ... di sini Pak," teriak salah satu warga. Kedatangan Andi disambut baik oleh beberapa warga dan ketua RT/RW yang sedari tadi menunggu.
"Mana calon menantu saya? Dia sangat beruntung bisa menjadi suami Alika, cepat ayo kita lakukan ijab kabul," kata Andi dengan nada bicara seperti sudah tak waras.
Alika yang menyadari kalau Andi sedang mabuk mencoba mendekat dan menenangkannya.
Nathan hanya diam sambil menatap sinis ke arah Andi, ia tak berhenti menggelengkan kepala. Perasaan ingin melarikan diri sudah sedari tadi ia tahan.
"Cepat nikahkan mereka berdua!" pekik ibu-ibu yang masih setia berada diantara para warga.
"Sebaiknya kita mulai saja sekarang!" usul Ketua RT.
Nathan dan Alika pun duduk bersebelahan, beberapa kali Nathan salah mengucap Ijab Kabul hingga akhirnya Nathan berhasil mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas.
"Sah."
"Sah."
"Sah."
Teriak para warga yang menyaksikan pernikahan mereka berdua. Alika menghela nafas lega entah apa yang harus ia rasakan sekarang.
Apakah aku harus bahagia, atau bersedih? tanyanya dalam hati.
"Ingat ini hanya pernikahan pura-pura. Kita sama sekali tidak memiliki hubungan apa-apa saat berada di Jakarta," desis Nathan.
"Iya Pak Nathan, Saya mengerti," sahut Alika.
Setelah melihat mereka berdua resmi menikah, para warga yang tadi memasang wajah garang menjadi ceria dan memberi selamat kepada pengantin baru itu.
"Kami pamit pulang ke Jakarta ya Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu," ucap Alika. Nathan yang masih sangat emosi memutuskan berjalan sendiri menuju mobilnya meninggalkan Alika dan Andi.
"Hati-hati ya! Jangan lupa main-main lagi ke desa kami ini," sahut Ketua RT sambil tersenyum cerah dan menyalami tangan Alika yang baru saja melangsungkan pernikahan dadakan.
Main-main kesini lagi? Jangan harap, gerutu Nathan dalam hati.
"Pak tunggu!" teriak Alika ia berlari mengejar Nathan yang sudah lebih dulu berjalan meninggalkan Kantor Kelurahan.
"Saya mau kita pulang sendiri-sendiri!" pekik Nathan.
"Tap-tapi, Pak," sahut Alika.
"Saya bilang kita pulang sendiri-sendiri. Saya enggak mau satu mobil dengan lelaki pemabuk itu!" hardik Nathan sambil menunjuk Andi yang tengah berjalan linglung.
"Tapi saya enggak punya ongkos pulang Pak," sahut Alika pelan ia berharap Nathan tak mendengar, tetapi ia juga berharap Nathan mendengar. Entah apa yang sebenarnya Alika inginkan, yang jelas ia sangat butuh tumpangan Nathan saat ini.
Pak Nathan, saya enggak punya uang dan perut saya lapar, batinnya. Ia memegang perutnya dan menoleh ke arah Andi yang masih terlihat sangat mabuk.
Entah bagaimana caranya Andi bisa sampai ke tempat Alika, yang pasti Andi sudah menjadi penolong bagi Alika dan Nathan.