“Tumpah! Tumpah!”
Runa mengerjapkan kedua matanya, menatap Harvie yang kelihatan heboh sekali saat berteriak sambil menunjuk wajahnya dengan pena yang pemuda itu genggam di tangan kanannya.
“Oi! Kau menumpahkannya ke buku PR-ku!”
Ucapan Harvie membuat Runa menundukkan kepalanya yang kemudian membuat kedua matanya langsung membesar saat melihat tangannya yang terus menuangkan air ke dalam gelas yang sudah penuh itu membuat isinya meluber dan tumpah hingga mengenai buku PR Harvie yang berada di dekatnya.
“Aduh, kenapa bukunya diletakkan di sini!” Runa buru-buru mengangkat buku PR milik Harvie, terlihat sangat panik karena membuat buku tersebut basah sementara pemiliknya kelihatan lebih khawatir padanya daripada buku PR yang harus dikumpulkan besok pagi itu.
Dan Harvie jadi semakin khawatir saat menoleh ke belakang di mana Aiden juga sedang diomeli oleh Bibi Lily karena menuangkan kuah ke atas nasinya sampai penuh dan mengotori lantai.
“Kalian ini sebenarnya bodoh atau bagaimana, sih? Padahal semua orang bisa melihatnya dengan jelas jika kalian berdua saling‒”
“Tutup mulutmu!” Runa buru-buru membekap mulut Harvie dengan kedua tangannya sebelum pemuda itu mengatakan apapun untuk menegaskan perasaan yang tumbuh di antara dirinya dan Aiden.
“Bahkan meski semua orang tahu itu tetap sulit! Dan kau yang dengan mudahnya bicara sembarangan seperti tadi benar-benar bisa merusak semuanya, tahu!”
Perkataan Runa yang diucapkan dengan nada menggerutu itu membuat Harvie mengerutkan keningnya tak mengerti. “Apanya yang susah? Kalian saling menyukai begitu apanya yang sulit, uh?”
“Sudahlah, anak kecil sepertimu tidak akan mengerti! Kau kerjakan saja PR-mu!” Runa berkata sambil kembali meletakkkan buku PR Harvie di hadapan pemuda itu.
“Tapi kau sudah membuat bukuku basah.”
“Itu bukan alasan! Cepat selesaikan PR-mu!”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa? Kau bodoh, ya?”
“Iya, aku bodoh. Jadi kau yang katanya orang dewasa ini saja yang mengerjakan PR-ku. Kau pasti pernah mengerjakan PR seperti ini saat masih sekolah, kan?”
Sementara Harvie dan Runa sedang berdebat, Aiden juga sedang diomeli oleh Bibi Lily yang saat ini jadi harus mengepel lantai karena pemuda itu menumpahkan kuah supnya.
“Jika Tuan datang untuk makan, seharusnya Tuan makan saja dengan tenang. Kenapa malah membuatku mengepel begitu? Itu lagi, ke mana Felix pergi? Kenapa anak itu selalu saja melarikan diri jika ada dirimu? Kalian ini sebenarnya musuh atau apa, uh?”
Aiden tidak mempedulikan omelan Bibi Lily karena saat ini kedua matanya sibuk memperhatikan Runa dan Harvie yang duduk di meja yang tidak jauh dari dirinya.
Aiden tidak ingin menampiknya karena ia sadar betul jika dirinya selalu merasa cemburu setiap kali melihat Felix dan Runa berduaan. Itulah mengapa ia selalu membawa Felix pergi bersamanya agar pria itu tidak bisa berduaan dengan Runa.
Namun yang membuatnya jadi sangat kesal sampai kehilangan nafsu makan meski kini ada sup daging buatan Bibi Lily yang merupakan salah satu makanan favoritnya yang tersaji hangat-hangat di depannya adalah karena ia merasakan kecemburuan yang jauh lebih besar dari yang biasa ia rasakan pada Felix saat melihat Runa duduk di satu meja yang sama dengan Harvie.
Aiden merasa sangat kesal dengan fakta jika Harvie dan Runa itu seumuran dan mereka tampak cocok saat duduk bersama seperti itu. Entah itu sebagai teman atau kekasih, kebersamaan Runa dan Harvie itu tampak lebih masuk akal dibandingkan dengan saat gadis semanis Runa berjalan bersama pria dewasa yang tubuh dan wajahnya dihiasi banyak tato seperti dirinya.
“Kau membuatnya jadi kelihatan jelas sekali, Tuan.”
Aiden mengerjapkan kedua matanya saat Bibi Lily yang duduk di hadapannya menghalangi pandangannya dari Runa dan Harvie. Membuat pria itu tidak punya pilihan selain memusatkan perhatiannya pada Bibi Lily yang kini menatapnya dengan prihatin.
“Runa itu tidak pernah merasakan cinta dari siapapun sejak kecil jadi wajar saja jika dia bisa dengan mudah jatuh cinta padamu. Dan lagi, di usianya sekarang gadis itu memang akan dengan mudah jatuh cinta pada siapapun yang bisa membuatnya merasa nyaman dan disayangi. Tapi kau ini sudah dewasa. Kau tidak seharusnya membiarkan perasaanmu jatuh dengan mudahnya untuk gadis kecil itu.”
“Aku tidak minta pendapat Bibi Lily tentang apapun, jadi Bibi tidak perlu repot-repot menasihatiku seperti ini. Seperti yang Bibi bilang, aku ini orang dewasa dan aku tahu apa yang kulakukan,” ujar Aiden yang dengan jelas menunjukkan jika ia akan tetap melakukan apapun yang diinginkannya tanpa menyanggah ucapan Bibi Lily tentang dirinya yang jatuh cinta pada Runa.
Karena meski menyangkalnya, Aiden sadar dirinya tidak bisa menutup mata semua orang karena dirinya memang selalu tanpa sadar menunjukkan perasaannya dengan sangat jelas pada Runa.
“Dulu papamu juga dengan penuh percaya diri mengatakan hal yang sama saat Bibi mengingatkannya tentang hal ini, Tuan. Dia dengan percaya diri ingin memperjuangkan cintanya pada wanita yang dicintainya hingga berakhir dengan membuat gadis muda yang malang itu harus hidup selamanya dalam persembunyian‒”
“Bibi benar-benar sudah melampaui batas sekarang.” Aiden menyela ucapan Bibi Lily dengan nada bicaranya yang terdengar dingin. Dengan jelas menunjukkan pada wanita yang telah mengasuhnya sejak bayi itu jika ucapan Bibi Lily tentang ibu yang sama sekali tidak ia kenal itu telah melukai hatinya.
“Aku sudah memperingatkan Bibi berulang kali. Jika Bibi tidak bisa mengatakan semuanya tentang siapa sebenarnya ibuku, maka jangan pernah mengungkitnya sedikit pun.”
Ucapan Aiden membuat Bibi Lily menghela napas panjang. Aiden benar-benar sangat sensitif tentang hal ini dan sekarang karena sudah dewasa pria itu bisa menahan emosinya hingga hanya memberinya peringatan seperti ini saat ia mengatakan sesuatu yang tidak disenanginya.
Namun saat Aiden lebih muda dulu dan emosinya masih suka meledak-ledak tak terkendali, pria itu akan dengan mudah membanting barang atau menembakkan pistolnya setiap kali ada sesuatu yang membuatnya kesal. Seperti bagaimana pria itu meninggalkan bekas luka di dekat rahang Bibi Lily karena pecahan gelas yang dibantingnya tidak sengaja mengenai wanita itu karena ia membahas tentang ibu Aiden.
“Bibi tidak ingin kau tersesat dalam perasaan ini, Tuan. Tapi kau harus sadar jika Runa itu bukanlah dirimu di masa kecil yang jika kau mencintainya akan membuat‒”
Prang!
Runa dan Harvie tersentak kaget saat tiba-tiba terdengar bunyi benda pecah yang cukup keras. Keduanya melihat ke asal suara tersebut berasal dan mendapati Aiden yang dengan wajah memerah berjalan melewati pecahan mangkuk dengan isinya yang berceceran di lantai setelah ia membantingnya dengan cukup keras.
Dan seperti tidak puas hanya dengan membanting mangkuk, pria itu kembali membuat Runa dan Harvie tersentak kaget saat membanting pintu yang dilewatinya.
“Orang itu temperamennya benar-benar sangat bu‒ Oi! Kau mau ke mana?” Harvie berseru memanggil Runa saat melihat gadis itu berlari untuk menyusul Aiden, namun Runa sama sekali tidak mempedulikannya dan terus berlari ke luar dari rumah makan tersebut.
“Aduh, merepotkan saja. Padahal dia tahu Bibi baru mengepel lantai, tapi kenapa malah mengotorinya lagi seperti ini?” Harvie menggerutu sambil mulai membersihkan pecahan mangkuk yang ada di lantai. Ia lalu mengangkat kepalanya untuk menatap Bibi Lily yang masih duduk di tempatnya dengan pandangan kosongnya yang tertuju ke arah pintu yang baru ditinggalkan oleh Aiden dan Runa.
“Bibi sabar, ya.”
Bibi Lily mengerjapkan kedua matanya saat sentuhan lembut Harvie yang menggenggam tangannya menyadarkannya dari lamunannya. Kedua mata pemuda itu menatapnya dengan khawatir sementara mulutnya mengatakan sesuatu yang seperti telah menjadi sumpahnya.
“Beberapa tahun lagi aku pasti akan jadi polisi dan aku akan menembak orang jahat itu agar dia tidak bisa mengganggu dan membuat Bibi Lily sedih lagi.”
***
Aiden menghentikan langkahnya dan itu membuat Runa yang berdiri beberapa langkah di belakangnya ikut menghentikan langkahnya. Runa tidak berani dekat-dekat padanya setelah tadi dirinya membentaknya agar tidak mendekatinya, namun tetap tidak bisa menghentikannya untuk terus mengikutinya.
Aiden lalu menolehkan kepalanya ke sebelah kiri di mana terdapat sebuah dinding kaca dari toko baju yang merefleksikan bayangan dirinya dan Runa yang masih terus menatap lurus ke arah depan, pada dirinya yang kini sedang memperhatikan bayangan gadis itu yang tercetak di dinding kaca.
Bayangan seorang pria dewasa dengan tato yang menghiasi wajah dan tangan hingga jari-jarinya serta seorang gadis muda yang tampak begitu manis dengan baju terusannya yang berwarna merah muda. Dilihat dari sisi mana pun oleh siapapun, dua orang yang bayangannya terpantul di dinding kaca tersebut sama sekali tidak terlihat cocok.
Dan itu membuat Aiden jadi sedih karena bahkan dirinya sendiri mengakui jika mereka sama sekali tidak terlihat cocok.
Kedua mata Aiden masih menatap bayangan Runa di kaca bahkan saat bayangan itu perlahan mulai mendekat padanya. Ia bergeming, tidak menghentikan atau meninggalkan Runa hingga akhirnya gadis itu berdiri tepat di belakangnya. Sangat dekat dengannya hingga aroma manis dari parfum yang gadis itu gunakan bisa tercium olehnya dan membuat keinginannya untuk memeluk tubuh gadis itu muncul begitu saja dan semakin menyulitkannya karena saat ini ia harus menekan keinginan tersebut.
“Tuan.” Runa memanggil Aiden dengan suara pelan. Dan Aiden bisa merasakan ketulusan gadis itu saat dengan nada yang sarat akan kekhawatiran ia bertanya, “Apa Tuan baik-baik saja?”
“Tidak,” Aiden akhirnya berhenti menatap bayangan Runa di kaca dan membalikkan tubuhnya untuk berhadapan langsung dengan gadis itu. Mengarahkan tatapan tajamnya pada kedua mata bulat Runa yang menatapnya dengan kekhawatiran yang tampak begitu murni.
“Aku orang dewasa dan kau hanya anak kecil. Bagaimana bisa aku baik-baik saja dengan hal itu?”
Awalnya Runa tidak mengerti dengan apa yang Aiden katakan, namun setelah mendengar apa yang kemudian pria itu katakan membuat gadis itu sadar jika perasaannya pada pria itu telah tertolak.
“Tidak usah menungguku. Aku tidak akan pulang malam ini karena aku akan pergi ke rumah bordil.”
**To Be Continued**