“Kucing ini lagi...”
Aiden mendecakkan lidahnya saat melihat seekor kucing berwarna hitam sedang menggaruk-garuk pintu apartemen kecil yang disewanya. Di mana di daun pintu yang warnanya sudah pudar itu terdapat banyak bekas cakaran kucing tersebut.
“Felix tidak ada, jadi pergi sana! Hush! Hush!” Sementara tangannya sibuk memutar kunci untuk membuka pintu, pria itu menggunakan kaki kanannya untuk menjauhkan kucing tersebut dari pintunya. Namun tanpa rasa takut atau sungkan sedikit pun, kucing hitam itu langsung berlari masuk begitu pintu terbuka.
“Itulah mengapa seharusnya kita tidak boleh memberi makan kucing liar sembarangan!” gerutunya sebelum menoleh ke belakang dan mendecakkan lidahnya saat melihat Runa yang sejak tadi dengan patuh mengekor di belakangnya. “Aku juga seharusnya tidak memungutmu sembarangan seperti ini, kan?”
“Aku ini lebih baik dari kucing yang nakal itu, kok. Aku janji akan jadi anak yang manis!” Runa berkata dengan diiringi senyuman manisnya. Rasa takut yang membuatnya terus menangis tadi benar-benar telah lenyap tak tersisa saat Aiden membawanya pergi dari rumah bordil itu hingga membuatnya bisa tersenyum semanis ini sekarang.
“Aku akan menendangmu seperti aku menendang kucing tadi jika kau macam-macam!” ancam Aiden.
“Aku tidak akan macam-macam. Aku benar-benar akan jadi anak manis.” Runa lalu menunjuk kantong plastik yang dibawa Aiden. “Mienya akan mengembang jika tidak segera dimakan. Aku akan membawanya masuk dan menyiapkannya,” ujarnya sebelum mengambil alih kantong plastik tersebut dan membawanya masuk ke dalam rumah.
“Mereka sama saja,” gumam Aiden saat merasa jika Runa yang masuk rumahnya begitu saja ini sama saja dengan kucing hitam yang suka menerobos ke dalam rumahnya. “Seharusnya aku tidak berurusan dengan mereka.”
***
“Mamaku diperkosa saat berusia 15 tahun dan Papa harus menikahinya agar tidak dipenjara. Mungkin karena itu Mama tidak pernah menyukaiku dan memilih untuk bunuh diri saat aku berumur 10 tahun.”
Aiden selalu berpikir jika dirinya yang bahkan tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya ini adalah anak paling menderita di dunia. Tapi sekarang di hadapannya ada Runa yang menceritakan kisah yang bahkan jauh lebih menyedihkan dari kisahnya sambil menikmati semangkuk mie yang mereka beli dalam perjalanan pulang.
“Papa selalu memarahi dan memukuliku setiap hari. Tapi tidak ada yang terasa jauh lebih menyakitkan dibandingkan saat dia menukarku dengan 5 botol bir di rumah bordil tadi. Aku akan menyerah dengan pemikiran ‘bagaimana pun dia adalah papaku’. Karena sepertinya aku tidak pernah benar-benar dianggap sebagai seorang anak olehnya.”
“Lalu kau memilihku sekarang.”
Perkataan Aiden membuat Runa yang sedang menyeruput mienya mendongak untuk menatap pria itu. “Aku bisa saja jadi lebih jahat dari papamu.”
“Tuan, apa Tuan yakin jika Tuan ini orang jahat?” Runa bertanya dengan sangsi sebelum menunjuk kucing hitam yang tengah menikmati sepotong daging tidak jauh dari Aiden. “Orang yang mau berbagi makanannya dengan kucing tidak mungkin jahat, kan? Lihat, Tuan memberi potongan daging yang paling besar.”
“Daging?” Aiden menundukkan kepalanya dan sontak kedua matanya membesar saat melihat kucing yang makan dengan lahap itu. “Berani-beraninya kucing ini mencuri dagingku, hah?!”
Runa tergelak pelan, sama sekali tidak takut meski nada marah Aiden terdengar keras dan menyeramkan. “Kucingnya tahu kalau Tuan ini orang baik, jadi tidak akan takut walaupun dimarahi seperti itu.”
Aiden menatap Runa, masih dengan kedua matanya yang melotot. “Sudah kubilang aku ini sama sekali bukan orang baik, sialan!”
Bentakan Aiden sama sekali tidak berhasil menakuti Runa, justru membuat senyumannya jadi semakin lebar. “Aku juga tahu Tuan ini orang baik. Jadi dimarahi seperti ini pun aku tidak akan takut lagi.”
Ucapan itu membuat kedua mata Aiden berhenti melotot. Seekor kucing dan seorang gadis manis. Seharusnya Aiden sadar, saat ia memutuskan untuk membiarkan dua hal itu masuk ke dalam hidupnya maka kehidupannya akan berubah jauh berbeda dari sebelumnya.
***
Dibandingkan apartemen, tempat tinggal Aiden ini lebih tepat jika disebut sebagai rumah susun yang hanya memiliki satu ruangan besar serbaguna.
Tempat tidur dengan dipan kecil yang hanya muat untuk satu orang berada di salah satu sudut ruangan bersama sebuah lemari kayu 2 pintu yang membuatnya tampak jadi sudut kamar. Di sisi yang lain ada satu meja dengan sebuah kompor dan rak berisi peralatan makan serta sebuah lemari pendingin satu pintu, bersebelahan dengan pintu kamar mandi. Meja kayu kecil berkaki pendek yang sebelumnya dipakai saat makan kini sudah disingkirkan ke bawah kolong meja dapur, memberi ruang bagi Runa untuk duduk bersila memperhatikan Aiden yang sedang memilih pakaian di dalam lemarinya.
“Jadi aku tidur di mana nanti?” tanya Runa.
“Ada kardus kecil di luar di dekat pintu,” sahut Aiden yang membuat Runa menatapnya tak terima.
“Tuan menyuruhku tidur di luar di dalam kardus?”
“Kucingnya. Keluarkan kucingnya agar dia bisa tidur di sana atau dia akan membangunkanmu tengah malam nanti untuk dikeluarkan jika dibiarkan bermalam di sini,” jelas Aiden yang membuat Runa membulatkan mulutnya. Heran juga kenapa Aiden ini kalau bicara sepotong-sepotong dan membuat orang lain salah paham seperti saat pria itu memintanya membukakan botol bir tadi.
“Tapi kalau kau ingin tidur dengan kucing itu juga tidak apa-apa kok.”
Runa memicingkan kedua matanya. Tawaran macam apa itu?
“Pergi mandi dan pakai baju ini!” Aiden berkata sambil melemparkan pakaian miliknya ke pangkuan Runa.
“Sudah malam. Aku akan mandi besok pagi saja,” tolak Runa.
“Kau pakai parfum wanita yang pernah tidur denganku. Itu membuat pikiranku jadi ke mana-mana,” kata Aiden yang membuat Runa langsung bangkit dari duduknya dan bergegas masuk ke kamar mandi. “Pastikan aroma parfumnya benar-benar hilang!” perintah Aiden yang dibalas dengan bunyi guyuran air yang cukup keras dari dalam kamar mandi.
Runa menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi. Menggosok seluruh tubuhnya dengan kuat untuk memastikan tidak ada aroma parfum yang tertinggal. Karena memiliki aroma parfum dari wanita yang pernah ditiduri oleh Aiden itu sama saja berdiri dengan menunjukkan darahnya di hadapan predator yang kelaparan.
Namun saat keluar dari kamar mandi, Runa mendapati Aiden telah tertidur di atas tempat tidurnya tanpa mengganti pakaiannya.
“Seharusnya aku tidak perlu mandi sampai kedinginan begini jika tahu dia akan tidur dengan cepat,” gerutu Runa yang tubuhnya jadi menggigil karena mandi dengan air dingin di malam selarut ini.
Runa mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk bersila di atas lantai di sebelah tempat tidur Aiden.
Dalam keheningan malam yang sudah sangat larut itu, Runa memperhatikan wajah Aiden yang sedang terlelap. Memperhatikannya dengan sangat detail hingga ia sadar jika sebenarnya di balik tato-tato yang menghiasi wajahnya, Aiden punya wajah yang cukup menawan. Sebenarnya sangat menawan. Pria itu terlihat setampan namanya, namun sayangnya punya terlalu banyak tato dan citra buruk yang membuatnya jadi terlihat menyeramkan.
Namun anehnya, melihat wajah yang dihiasi tato itu membuat sebuah senyuman terbit di wajah Runa. Ia senang karena malam ini ia melihat wajah Aiden yang sedang tidur bukan wajah papanya yang selalu memukulinya setiap hari. Meski sebelumnya ia menangis ketakutan karena ditinggal di rumah bordil sendirian, namun kini hatinya terasa sangat lega karena ia berada di apartemen sempit ini bersama Aiden.
“Menjauhlah!”
“Oh?” Runa tersentak kaget saat tiba-tiba Aiden bersuara dengan kedua matanya yang tertutup. Gadis itu pikir Aiden sedang mengigau, namun kemudian⸺masih tanpa membuka kedua matanya⸺Aiden kembali bersuara sambil membalik tubuhnya memunggungi Runa.
“Aku masih memiliki keinginan untuk memeluk wanita malam ini. Jadi jika kau tidak ingin berakhir di pelukanku maka berhenti memandangiku seperti itu dan menjauhlah dariku.”
Ucapan Aiden membuat Runa segera beringsut menjauh dari Aiden hingga punggungnya menempel pada dinding. Gadis itu menatap tempat itu dan memutuskan jika sudut ini akan menjadi tempatnya tidur.
Namun masalahnya, tidak ada apapun yang bisa dijadikan alas tidurnya. Aiden tidak memberinya selimut atau bantal dan berpikir untuk tidur begitu saja di atas lantai terasa sangat menyedihkan bagi Runa.
Jadi saat melihat jaket kulit milik Aiden yang sebelumnya pria itu pinjamkan padanya tergantung di daun pintu, Runa mengumpulkan keberaniannya untuk berkata, “Tuan, apa aku boleh meminjam jaketmu untuk alas tidurku?”
Tidak ada jawaban. Runa sudah menunggu lebih dari semenit namun masih tidak terdengar jawaban apapun dari Aiden. Runa yang berpikir jika Aiden sudah tidur berjalan ke arah pintu dan mengambil jaket milik pria itu.
“Aku akan meminjamnya untuk tidur malam ini,” kata Runa. Masih berusaha untuk meminta izin meski Aiden sudah tidur dan tidak akan mendengarkan ucapannya.
Runa meletakkan jaket kulit Aiden di atas lantai dan membaringkan tubuhnya di sana. Saat gadis itu memejamkan matanya, ia bisa mencium aroma rokok dan alkohol yang berasal dari jaket Aiden dengan jelas.
Memiliki papa seorang pemabuk membuat Runa tidak asing dengan aroma ini. Ia menciumnya setiap hari dan jadi muak sekali dengan aroma rokok dan alkohol yang biasa dikonsumsi papanya. Namun kali ini berbeda. Saat ia mencium aroma rokok dan alkohol dari jaket Aiden, ia justru merasa sangat tenang. Berpikir jika aroma itu adalah milik seseorang yang telah menyelamatkannya membuat rasa tenang itu semakin besar seolah menjadi sepasang tangan yang dengan hangat mendekap Runa di malam yang dingin ini.
“Terima kasih, Tuan. Aku benar-benar bersyukur karena setelah semua hal buruk yang terjadi padaku, Tuhan memberiku hadiah dengan bertemu orang baik seperti Tuan,” kata Runa sebelum memejamkan kedua matanya yang telah banyak menangis sepanjang hari ini untuk tidur.
Sementara itu, Aiden yang sejak tadi mendengarkan semua perkataan Runa dengan perlahan membuka matanya dan menyadari jika keinginannya untuk memeluk seseorang jadi jauh lebih besar dari sebelumnya.
Namun bukan memeluk untuk memuaskan hasratnya, Aiden ingin memeluk Runa dan melindungi gadis yang kelihatan sangat kecil di matanya itu dari dunia besar yang kejam ini. Aiden tidak tahu mengapa dirinya jadi seperti ini. Namun keinginan itu timbul begitu saja dalam benaknya setelah ia mendengar Runa menyebutnya sebagai ‘hadiah’.
“Aku bahkan tidak tahu nama gadis ini dan aku memberinya makan serta membiarkannya tidur di sini,” gumam Aiden yang kini sudah membalikkan tubuhnya menghadap Runa. Menatap punggung sempit Runa yang memunggunginya yang membuat keinginan untuk memeluk gadis itu jadi semakin besar. “Apakah kau juga hadiah yang dikirimkan untukku, gadis kecil?”
Di penghujung malam itu, Aiden menyerah pada keinginannya dan membiarkan dirinya turun dari tempat tidurnya. Pria itu membaringkan tubuhnya di belakang tubuh Runa dan lengan kekarnya dengan hati-hati melingkari tubuh gadis itu. Dan perasaan hangat yang dirasakannya saat memeluk Runa membuatnya sadar akan sesuatu.
“Ya. Memang seperti inilah rasanya ketika menerima hadiah yang tidak terduga,” bisik Aiden sebelum memejamkan kedua matanya dan menyusul Runa yang telah lebih dahulu masuk ke dalam mimpi.
**To Be Continued**