Wira langsung beranjak dari sofa saat suara mobil dan klakson yang khas ditelinga itu menggaung di depan rumahnya. Ardan dan Dina hanya saling melirik. Sejak awal, mereka sudah tahu Papanya tak betah duduk di antara mereka. Karena Mamanya tak kunjung pulang. Tapi saat telinga mereka menangkap suara mobil dan klakson yang khas itu, keduanya paham.
Aisha turun dari mobil. Matanya telah berlinang air. Bukan air hujan. Tapi air mata. Air yang berasal dari hatinya. Langkahnya lemah sekali lalu terpaku saat lelaki itu berdiri kaku di ambang pintu. Membuatnya diam dan hanya menatap.
"Masih berniat pulang?" Desis lelaki itu--tajam.
Ia menghapus air matanya lalu melangkah pelan. Senyumnya mengembang saat mata tajam itu mulai waspada dengan langkah kakinya. Tapi ia berhenti tepat sebelum Wira bergerak mundur. Lelaki itu terkunci oleh pintu yang menghadang punggungnya.
Wira terpaku saat mata lembut itu menatapnya dalam lalu tangan yang mengelus lembut wajahnya. Ia kira, Aisha akan menamparnya. Tapi tidak. Wanita itu malah menelusuri wajahnya dengan jemarinya.
"Bilang sayang sama aku!" Cebiknya manja yang membuat Wira mendengus seketika.
Di belakang sana, Dina dan Ardan sudah heboh tanpa suara. Bocah lelaki itu mengambil ponsel Papanya lalu membidik dari jauh. Sementara Dina sibuk termangu sambil menggeleng tak percaya. Interaksi papa-mamanya sungguh unik.
"Gak mau bilang?"
"Sayang kok sayang," jawab lelaki itu dengan nada malas mengundang cebikan Aisha.
Dalam hati, sebenarnya Wira terkekeh. Merasa menang ketika melihat wanita itu kesal. Biar dia tahu bagaimana kesalnya ia ditinggal sejak pagi lalu baru pulang sekarang.
Didorongnya bahu Wira dengan kesal lalu melangkah lunglai memasuki rumah. Wira hanya diam sambil menyembunyikan senyum geli. Ia tak pernah bisa mengerti apa yang diinginkan wanita itu.
Ardan dan Dina kompak duduk lagi di sofa. Mengabaikan sang mama yang melangkah lesu memasuki kamar. Wanita itu gondok setengah mati. Kesal karena pulang secepat ini. Seharusnya tadi ia menarik kakak iparnya itu untuk menginap di masjid saja. Biar sekalian tak pulang. Biar sekalian Wira pusing mencarinya. Tapi langkahnya terhenti tepat disaat tangan menggapai daun pintu. Ada dua tangan kokoh yang memeluknya dari belakang. Kemudian menumpukan dagu dibahu kanan.
"Jangan pergi lagi. Aku hampa disini." Tutur lelaki itu setengah berbisik.
@@@
"Kualat sama suami sih," ledek Wira saat sampai di dapur keesokan paginya.
Ia bisa melihat dengan jelas hidung Aisha yang memerah. Belum lagi, bersin-bersinnya. Wanita itu hendak membalas ucapannya tapi tak jadi saat gatalnya hidung menyerang lalu suara bersin itu menguar lagi. Wira terkekeh geli. Dihampirinya wanita itu. Dielusnya punggungnya.
"Peluuuk," manjanya.
Wira terkikik geli. Sejak semalam wanita itu manja sekali. Tapi ia senang. Dan mau tak mau dipeluknya dengan erat. Mengelus punggungnya. Menumpu dagu diatas puncak kepalanya. Lalu hanya diam. Tak perlu bicara. Hanya begini saja. Sudah cukup untuk Aisha.
"Maaf ya soal kemarin." Tuturnya pelan.
Wira hanya diam saja. Lelaki itu memejamkan matanya. Berapa lama ia tak memeluk wanita ini?
Padahal baru semalam ia memeluknya.
"Jangan lagi. Jangan pergi lagi."
Aisha mengangguk cepat. Ia akan selalu mengingat kata-kata itu.
"Nanti aku anterin ke rumah sakit."
"Tumben!" Nyinyirnya yang mengundang dengusan jengkel milik Wira.
Wanita itu malah terkikik. Saat Wira akan melepaskan tangannya ia malah makin mempererat pelukannya. Tak mau lepas. Membuat Wira tersenyum geli.
Aih...wanita ini...
"Ehem! Ehem! Ardan laper kali dari tadi masa disuruh nontonin sinetron terus!"
Celetukan dari sebelah kanan membuat Aisha manyun. Anaknya yang satu itu benar-benar tak mengerti situasi. Sementara Dina sudah menggetuk kepala kembarannya yang tak bisa diajak kompromi.
"Paaa, Dina juga mau dong dianterin ke sekolah. Masa Mama aja yang dianterin," rajuk gadis kecil itu ketika sudah duduk di meja makan dan Wira duduk di sebelah kirinya.
Aisha hanya mengulum senyumnya. Tangannya lihai memindahkan nasi goreng ke piring milik Wira.
"Ardan juga mau, Pa! Masa Mama doang!"
Dia mulai menuai protes yang dibalas helaan nafas oleh Wira namun tak urung mengangguk juga. Membuat dua bocah itu berseru senang.Sedangkan Wira hanya mengambang senyum, menyimak kebahagiaan sederhana ini.
@@@
"Hari ini gak main lagi kan?" Nyinyir Fadlan.
Lelaki itu sengaja menyindir soal kemarin. Hanya untuk candaan. Tapi ia sukses tergelak saat melihat wajah senewen milik istrinya yang sedang membereskan tempat tidur.
"Jangan mulai deh, kak. Ntar gak dapet jatah lagi loh!" Ancamnya yang disambut tawa ledekan milik Fadlan.
"Dosa, yang kalo nolak suami!" Sungutnya tak mau kalah.
Wanita itu memutar bola matanya dengan kesal. Lalu keluar dari kamar ketika sudah beres. Meninggalkan Fadlan yang masih terkekeh kecil.
"Bun, gak masak?" Tanya Farrel.
Bocah lelaki itu mengernyit heran melihat meja makan kosong. Tak ada apapun disana. Biasanya Bundanya tak pernah begini kecuali kemarin dan hari ini.
"Makan roti aja ya?" Tawarnya lalu berjalan menuju rak kecil--tempat ia menyimpan roti.
Tapi rak itu kosong. Ia menepuk jidatnya. Baru ingat kalau belum berbelanja. Seharusnya kemarin. Tapi lihatlah kemarin, ia malah kemana?
Susupan sesal itu kembali menghantuinya. Demi menuruti ego kemarin, akibatnya mereka kelaparan pagi ini. Kasihan anak-anaknya. Pasti lapar. Padahal harus menyimak pelajaran hari ini. Bagaimana kalau mereka tak bisa berkonsentrasi?
Ia melenggang kembali ke ruang makan. Menghampiri Farrel yang mengernyit heran melihat wajah keruh milik Bundanya.
Ada apa lagi?
"Hari ini kalian Bunda anter aja ya? Nanti beli makanan dulu di depan buat dibawa ke sekolah."
Baru saja hendak mengangguk, Farras dan Ferril yang sedang menuruni tangga berseru heboh karena tak mengendarai sepeda hari ini. Sedangkan Bundanya kembali ke kamar. Menghampiri Fadlan yang telah rapi.
"Kakak mau sarapan di rumah atau di luar?"
Lelaki itu mengernyit heran. "Kenapa emangnya?"
Yang ditanya malah menangis. Membuat Fadlan makin bingung lalu menghampirinya. Wanita itu memeluknya dengan erat diambang pintu kamar itu.
"Maaf. Gara-gara egoku kemarin, kita jadi gak ada sarapan hari ini." Tuturnya lemah yang dibalas kekehan kecil oleh Fadlan.
Lelaki itu mengecup keningnya sebelum berucap. "Kita sarapan di luar aja. Tapi inget, kemarin yang terakhir. Jangan diulangi lagi." Tuturnya yang dibalas anggukan cepat oleh wanita itu.
@@@
Papi sampai menyewa lapangan futsal untuk pertandingan spesial ini. Ardan, Wira, Feri, Ando, Iko dan Renald akan melawan Fadlan, Fadli, Farrel, Ferril dan Agha. Bocah enam tahun itu--Agha--ngotot main. Akib mengambil peran sebagai wasit sementara Papi dan Mami akan menjadi komentator sore itu.
Lapangan yang tak begitu luas itu dipenuhi oleh para anak, menantu dan cucu-cucu Adhiyaksa. Yang tidak ambil bagian dalam permainan memilih duduk di tribun. Dina dan Tiara berseru heboh mendukung tim ayahnya. Farras dan Caraina tak mau kalah. Sementara Fasha malah malas menanggapinya. Ia hanya duduk menyimak sambil memangku Aidan yang tadi menangis kencang ingin terjun lapangan juga.
Ali?
Bocah itu berada digendongan Akib. Mau tak mau Akib memegangnya karena tak bisa diam. Sambil meniup pluit, lelaki itu merengkuh Ali dalam gendongannya. Membuat wanita lain tersenyum menatap dari kejauhan sana.
Icha yang tak pernah melihat suaminya main futsal hanya terkekeh geli. Tak biasa melihat lelaki itu memakai seragam futsal yang kuning menyala itu bersama dua anaknya. Namun ada rasa bahagia yang menghunus tajam ke dalam hatinya kala itu. Rasa bahagia ini sungguh tak terdefinisikan.
"Sedikit lagii! Sedikiiit lagi! Yaaaah sayang sekali!" Seru Papi yang tak kalah hebohnya walau sudah berumur.
Lelaki itu antusias sekali melihat bola yang kini dibawa lihai oleh Fadli. Membuat Caca hanya bisa mengembangkan senyumnya.
Bola itu digiring lalu ditangkap lihai oleh Farrel. Tanpa perhitungan, lelaki itu menendang bola dari tengah lapangan dan........
Suara Farras dan Caraina membanjiri tribun. Meloncat-loncat diatas bangku. Menyeru-nyeru nama Farrel yang kini dirangkul sebentar oleh Papanya. Bocah lelaki itu hanya tersenyum tipis ke arah Bundanya yang mengacung jempol. Ia makin semangat karena ada Bundanya disini.
"Daddyyyyyyyy i lovee youuu dadddyyyyyy! Semangaaaaaaaat!" Seru gadis centil sambil menyorak-nyorak dengan rumbai-rumbai hijau yang dibawanya.
Membuat Feri terkekeh geli di lapangan sana. Sara hanya menelengkan kepalanya lalu menoleh lagi ke arah lapangan. Melihat suaminya yang mengerlingkan mata--membuatnya terkikik geli. Aih lelaki itu sok-sok-an menggodanya.
"Ardan bawa bolaaa! Wooow!" Seru Papi yang disambut kekehan geli istrinya.
Mami sampai mencubit lengannya karena suaranya memengangkan telinga.
Bocah putih dan kurus itu membawa bola. Digiring dengan pelan lalu langsung ditendangnya ke Ando. Ando menerima dengan baik, tapi Ferril datang mengejarnya, membuatnya menendang bola itu ke belakang yang ditangkap Wira. Lelaki itu menyundul bola dengan dadanya ke arah Ardan. Anaknya itu melompat lalu.......
Bola diterjang dengan dahinya dan menggulir ke arah gawang lawan. Satu....dua...tiga.....
Gooooooooollll!
Ardan sampai nungging untuk sujud syukur. Lalu melepas bajunya dan memutar-mutarnya ke atas dengan tangan kanan. Membuat Aisha terkikik geli. Kegirangan itu disambut Wira dan Feri yang langsung mengangkatnya ke atas. Pluit menggema. Babak pertama usai.
Tiara yang sedari tadi jejingkrakan langsung turun dari bangku. Menghampiri mommy-nya lalu mengambil handuk dan minum untuk daddy dan Ando. Sara hanya menggeleng geli tapi tak urung mengikuti langkah gadis yang heboh itu.
Caraina tak mau kalah. Ia juga mengambil minum dan handuk untuk ayahnya. Lalu berlari ke tengah lapangan. Sementara Farras sudah melesat duluan. Bundanya menyusul di belakang.
"Hooon!" Dengan suara manja, lelaki itu memanggilnya.
Caca menelengkan kepalanya. Fasha lebih keras lagi menelengkan kepalanya. Tapi tak urung dua wanita itu mendekat. Fadli langsung menyurukan wajahnya minta dilap, membuat Caraina mencibir kelakuan ayahnya.
"Capek, Bi?" Tanya Airin.
Wanita itu mengampirinya. Akib malah terkikik. "Aku gak ngapa-ngapain dari tadi."
Sedari tadi ia hanya berdiri menyimak pertandingan. Ada-ada saja pertanyaan istrinya ini.
Airin turut terkekeh. Lalu mengambil alih Ali dan menurunkannya ke daratan. Bocah itu tak tahan dikungkung terus oleh abinya.
"Tadi Ardan keren kan, Ma?" Serunya minta dipuji.
Membuat Aisha mangut-mangut sambil terkekeh. Wanita itu menumpu kepalanya dibahu Wira. Tapi Dina malah menyulut.
"Keren! Keren! Apalagi bagian nunggingnya! Harusnya tadi gue fotoin dulu!" Serunya lalu terkekeh-kekeh melihat wajah malas milik Ardan. Ia memang perusak suasana.
Sementara Wira hanya menatap geli dua anaknya itu. Berkepribadian nyaris sama malah membuat keduanya tak akur.
"Disini, yang." Tunjuknya pada punggungnya yang gatal.
Icha memasukan tangannya ke dalam baju lelaki itu lalu menggaruk-garuk yang gatal. Ada-ada saja suaminya ini.
Sementara Farras malah terkekeh geli melihatnya. Ia sudah paham akan watak Papanya yang suka mencari-cari kesempatan disetiap ada kesempatan.
"Udah?" Tanya wanita itu.
"Pundak aku pegal, yang." Tuturnya.
Icha menghela nafas namun tak urung memijit pundak lelaki itu. Farrel mengulum senyumnya. Seharusnya bukan pundak yang pegal tapi kaki. Papanya ini....ckckck....
Ferril hanya sanggup menelengkan kepala--dramatis. Iba pada wajah polos Bundanya yang mau-mau saja menuruti keinginan Papanya.
"Ann fotoin duluuu. Nanti kakak gantian foto! Mau di-upload nih!" Hebohnya yang membuat Anne jengkel. Ia selalu saja jadi pesuruh gadis centil yang satu ini.
Begitu ponsel ditangan Anne, Tiara langsung mengambil pose bersama Sara, Feri dan Ando. Sementara Anne antara ikhlas gak ikhlas memotret. Karena tak kebagian tempat.
Belum sempat gambar itu terpotret, hujan deras langsung mengguyur. Membuat para pemain dan para pendampingnya berhamburan--berlari menuju tribun. Kekehan tawa dan seruan 'cepat-cepat' mendominasi. Sementara sosok kakek dan nenek yang sedari tadi memang berada di tempat yang aman hanya terkekeh-kekeh sambil memeluk mesra melihat para anak, menantu dan cucunya berhamburan mencari tempat teduh. Dua orang itu kompak disorak 'huuu' oleh mereka yang mengundang tawa membahana di penjuru lapangan futsal sore gelap itu.
The End