"Bii tolong ambilin piringnya!" Teriaknya dari ruang makan.
Akib langsung beranjak dari sofa. Pergi ke dapur mengambil piring-piring lalu menatanya di meja makan. "Mami sama Papi jadi makan malam disini?"
Wanita itu hanya mengangguk samar. Tapi Akib tak menangkap respon apapun. Ia sampai mengulang pertanyaannya. Baru kemudian dijawab Airin dengan mulutnya. Wanita itu berkonsentrasi menghitung cumi diatas meja.
Akib menelengkan kepalanya. Kalau saja wanita ini yang bertanya sampai dua kali kepadanya dan tak ia jawab dengan mulut, sudah diketuk kepalanya dengan tangan. Tapi ia mana tega melakukan itu?
Wanita ini sungguh tak ia mengerti. Sekali pun berpuluh tahun mengenalnya.
"Bii buka gerbang!" Titah perempuan itu saat mendengar klaksonan mobil.
Akib mengangguk lalu berjalan menuju gerbang rumahnya. Membuka pintu besar itu dan membiarkan mobil mertuanya masuk. Tampak Mami muncul sambil kerepotan menggendong Ali yang tertidur. Ia langsung mengambil alih Ali setelah menyalami mereka. Agha dan Aidan langsung muncul dan menyeru Oma dan Opanya.
"Biiii kesini bentar!" Titah perempuan itu dari dapur.
Akib menghela nafasnya. Ia menggendong Ali dan membawa bocah itu ke kamar. Mengganti bajunya dengan baju tidur baru keluar menuju dapur.
"Apa?"
Sementara wanita itu malah mencebik bibirnya. "Gak usah!" Ketusnya lalu membawa mangkuk berisi sop ayam yang masih panas. Membuat Akib berdecak dan merebut mangkuk itu. Kuah panasnya sedikit menyentuh kulitnya. Sementara Airin tak perduli. Wanita itu membalik tubuh lalu membuka kulkas.
Usai meletakan mangkuk itu di atas meja makan, Akib menggelengkan kepalanya--frustasi. Ia terlambat sedikiiiiiiit saja, wanita itu sudah marah.
Dihampirinya wanita itu lalu dipeluknya dari belakang. Sementara tangan Airin masih sibuk mencopot tangkai-tangkai anggur.
"Tadi aku gendong Ali yang tidur. Kasihan kalo Mami yang bawa. Jadi aku gantiin dulu bajunya. Baru nyamperin kamu. Bukan sengaja lama-lamain." Jelasnya--tepat dikuping wanita itu.
Airin menghela nafasnya. Memejam matanya sekilas. Ia memang sensitif sekali. Maaf saja kalau berbuat salah sedikit saja, ia sudah marah.
"Maaf ya, Bi." Tuturnya yang dibalas senyum oleh Akib.
Lelaki itu mengecup pipinya lalu memeluknya dengan erat lagi. Airin memang seperti ini. Dilembutkan sedikit saja--asal jujur--ia sudah luluh. Amarahnya mudah masuk tapi juga mudah keluar.
Kalau wanita itu marah, jangan tanya sedikit pun apakah ia marah atau tidak. Diamkan ia. Peluk ia dengan erat. Lalu bicaralah dengan pelan. Ia tak kan marah lagi setelahnya.
@@@
"Bisa gak bawanya?" Tanyanya pada Ando yang sedang menyeret-nyeret kasur lipat miliknya menuruni tangga.
Bocah itu mengangguk lalu berkonsentrasi menarik kasur itu lagi. Ia hanya menghela nafas lalu duduk di sofa--di samping istrinya. Baru lima detik duduk, suara Tiara melengking menyapanya.
"Daddy bantuin Tiara bawain kasurnya doooong!" Teriak gadis itu dari kamarnya.
"Udah gede! Bawa sendiri! Gak malu apa sama Ando?!" Balas Feri yang disambut gelengan kepala geli oleh Sara.
Lelaki itu terkekeh. Ingin mengerjai anaknya yang manja itu.
"Daddy kok gitu sama anak sih? Kan Tiara, ceweeeek dad!"
"Katanya emansipasi wanita. Masa ngangkut kasur gak bisa?!" Nyinyir Feri dari bawah.
Ia sudah terpingkal-pingkal bersama istrinya dibawah sana.
Sementara Tiara?
Ia gondok!
Bibirnya maju lima senti. Tangannya berkacak pinggang menatap nanar kasur lipat pinknya yang tebal dan berat.
"Malees ah! Daddy jahaaaaaat!" Dramanya.
Anne yang baru tiba dari dapur turut bergabung dengan mommy-daddy-nya. Ikut terpingkal-pingkal. Sementara Ando masih fokus menyusun kasur lipatnya di depan televisi.
"Ngatain daddy jahat pula. Ntar minta uangnya sama daddy juga," nyinyir Feri lagi.
Ia sudah tergelak bersama dua orang tersayang di kiri kanannya.
"Daddy mah gitu. Bawa-bawa duit mulu!"
"Kan emang bener!" Kilahnya.
Tiara langsung berteriak kencang memanggil Ando. Anak laki-laki satu-satunya itu menjadi korban Tiara. Bocah itu mendengus.
"Apaaaan?" Balasnya--teriak tak ramah.
"Bantuin princess doong!" Teriaknya.
Sara sampai memeluk suaminya. Gadis mereka itu memang lucu dan menggemaskan sejak dulu. Sementara Ando sudah gondok setengah mati. Namun tak urung melangkah juga ke atas. Ia berkacak pinggang melihat kakaknya masih nongkrong di depan kasur lipat.
"Kalo diliatin terus mana bakalan pindah kasurnya!" Ejeknya lalu melangkah mendekat. Tiara mendengus mendengarnya.
Mulut lelaki satu ini memang pedas dan selalu berhasil menohok hatinya dalam-dalam. Namun tetap masih perduli. Contohnya sekarang. Malah Ando yang membawa kasur lipatnya. Menyeretnya menuruni tangga diikuti langkahnya. Tak lupa bibir yang masih maju lima senti itu mengimbanginya.
"Ini yang kakak siapa, yang adek siapa." Cibir Feri meledek kelakuan Tiara yang kekanakan.
Gadis itu hanya mencebik bibirnya. Kesal diledek daddy-nya seperti itu. Ia mengambil duduk di samping mommy-nya.
"Abisnya daddy gak mau bantuin!" Gerutunya.
Lelaki itu terkekeh geli.
"Dad, udah bisa ditidurin nih kasurnya!" Seru bocah sepuluh tahun itu.
Feri menoleh lalu merangkul Sara. Mengajaknya tidur di kasur lipat yang sudah dijejer rapi oleh Ando. Anak lelakinya satu-satunya itu bisa diandalkan sekali.
"Ann ditengah! Ann ditengah!" Sorak Anne.
Ia memasang badan ditengah-tengah kasur lipat. Tiara dan Ando langsung mengeroyok bocah itu. Lalu tertawa terkekeh-kekeh. Feri dan Sara hanya saling memandang lalu terkekeh. Menggelengkan kepala melihat tiga anaknya.
"Jangan keras-keras sama mereka," tutur wanita itu lembut--membisikan ditelinganya. Feri mengangguk. Ya, istrinya benar. Laki-laki memang lebih berpihak pada emosi sementara wanita lebih berpihak pada hati.
@@@
Caraina geleng-geleng kepala melihat ibunya yang tiba-tiba menempel erat pada ayahnya--tak tahu malu. Biasanya, mana mau ia dirangkul-rangkul ayahnya sambil menonton televisi seperti sekarang. Sementara Fasha tak ambil pusing. Berhubung jarang-jarang, ibunya mau dipeluk, bocah itu asyik main game di ipad ayahnya dengan kaki menjulur di tangan sofa. Tubuhnya sempurna berbaring di depan televisi--di samping sofa yang diduduki Caca dan Fadli. Ini kesempatan untuknya bermain game.
"Nah, akur-akur gitu kan enak liatnya," nyinyir Caraina yang sedang menuruni tangga.
Mulut bocah itu memang cablak dan tak bisa direm. Tapi sejudes-judesnya ia, masih judes Fasha kalau sudah bicara.
"Gak usah sok-sok-an nyindir Ibu. Sadar diri dulu. Udah akur belum tuh sama kakaknya!"
Fadli langsung terkikik geli mendengarnya. Caraina manyun seketika. Mulut ibunya itu....ckckckck.....
"Sini deket ayah!" Titah Fadli sambil menepuk bagian kosong di sebelahnya.
Tangan kirinya tetap menempel erat pada Caca. Sementara Fasha? Mana perduli.
Berbanding terbalik dengan Caraina yang manjanya terang-terangan. Sebenarnya Fasha mau dimanjakan seperti itu tapi ia malu dan ia enggan. Tidak seperti Caraina yang cablak dalam hal apapun. Tak tahu malu.
"Heran deh, Yah. Mulut Ibu tuh kalo udah ngo--"
"Dosa ngejelekin orang tua!" Potong Caca.
Fadli terkikik geli lagi. Tangan kanannya erat memeluk Caraina.
"Udah diem. Sekali-kali akur sama Ibu." Nasehat Fadli tapi dimentahkan oleh Fasha saat itu juga. Telinga bocah yang satu itu sudah panas mendengar percakapan mereka dari tadi.
"Sadar diri, Yah!" Serunya enteng tapi sanggup membuat orang tuanya senewen.
"Kamu tuh kak! Gak bo--"
"Kamu juga sama aja!" Potong Fadli setengah kesal pada mulut Caraina yang mulai berkoar lagi.
Satu rumah sama aja.
@@@
Dua wanita itu termenung di sepanjang jalan menuju Stasiun Depok Baru. Jiwanya ingin cepat sampai. Tapi apa daya. Kereta ini masih membawa raganya. Masih setengah jam lagi akan sampai stasiun tujuan.
Ponselnya mati karena terlalu banyak memotret diri, kota tua dan para pencari nafkah jalanan. Sementara Aisha?
Wanita itu sengaja meninggalkan ponselnya agar Wira pusing tujuh keliling. Yah, tapi triknya benar-benar berhasil. Dibalik ketenangan Wira menemani dua anaknya menonton televisi, terselip amarah tapi juga cemas untuknya. Kini ia mengerti bagaimana perasaan Aisha saat ia tinggal semalam tanpa pamit.
Fadlan?
Lebih kacau lagi. Laki-laki itu sudah berulang kali bolak balik ke depan rumah. Melihat mobil-mobil yang melintas tapi tak ada satu pun mobil istrinya lewat. Farras dan Ferril adem ayem saja karena tak tahu persoalan. Tapi Farrel, bisa menganalisis semuanya dan bisa memperkirakan apa yang sedang terjadi. Apalagi ditambah sikap gelisah Papanya yang biasanya tenang sekarang mulai gundah gulana. Berulang kali ia melihat lelaki itu menapaki kaki di gerbang rumah. Menunggu kedatangan Bundanya. Tapi sampai jam delapan malam ini, belum hadir juga. Ia bahkan tak bisa memprediksi kemana Bundanya. Wanita itu tak terduga arah pikirannya. Itu yang jadi masalah.
Tiba di stasiun, keduanya berlari kecil menyusuri jalan belakang memasuki ITC Depok. Gerimis mengguyur malam itu. Membuat mereka berlari menuju parkiran lalu tancap gas dengan mobil masing-masing. Mengitari jalanan Depok yang masih ramai kala itu. Hingga memasuki daerah perumahan. Sampai mobil Icha berbelok ke kiri sedangkan Aisha meneruskan perjalanannya.
Icha sampai lebih dulu di rumahnya. Saat mobilnya melewati gerbang, matanya terpaku melihat sosok lelaki berpayung yang hendak berjalan menuju gerbang. Membuatnya mengembang senyum tipis lalu keluar dari mobil begitu saja. Berlari menuju lelaki itu lalu memeluknya dengan erat. Menangis disana. Meminta maaf berulang kali karena mengabaikannya hari ini.
Basah. Karena tetes air itu jatuh tepat diatas kepala. Tak ada lagi peneduh. Karena tangan kekar itu balas merengkuhnya dengan erat. Sama meminta maafnya karena sempat mengabaikannya. Bukan maksudnya begitu. Ia hanya terlalu memikirkan orang lain dan mengira istrinya akan mengerti. Tapi ternyata tidak. Malah memicu konflik baru. Namun sekarang lupakanlah. Karena wanita ini sudah ada di depannya. Memeluknya sama erat dengannya. Membuatnya bersyukur tiada henti.
Biarlah hujan yang menjadi saksi kisah cinta mereka malam ini.
@@@