"Bagi perempuan, semua masalah, baik kecil ataupun besar, semuanya masalah besar dan gawat."
- Jamal -
Pulang bekerja, Jamal heran saat melihat lampu rumah padam semua. Ini memang sudah pagi, tetapi ini bukan hal biasa. Ria adalah tipe perempuan yang suka mengurung diri di dalam rumah, mustahil dia tidak menghidupkan lampu rumah meskipun hanya di kamar tidur saja.
Jamal merasakan firasat buruk. Mustahil istrinya melakukan penghematan listrik dengan mematikan semua lampu di siang hari. Impossible. Sebulan hidup bersama, Ria hanya akan menerima semua lampu padam saat listrik padam. Bukan di keadaan normal. Dia bukan orang zaman dulu yang nyaman dengan penerangan dari lampu pelita atau secuil lilin. Big no.
Jamal memarkirkan sepeda motor di ruang tamu, menutup pintu lantas menuju kamar.
"Yang," panggilnya lembut.
Tidak ada jawaban. Jadi, dia berinisiatif menghidupkan lampu kamar. Seketika kamar menjadi terang-benderang dan terlihatlah istrinya di pojok kasur, berbaring menghadap tembok.
"Yang, tidur ya? Aku lapar, ada makanan nggak?" Jamal meletakkan masker dan jaketnya di tepi kasur lalu beringsut menuju istrinya yang tetal tidak memberikan jawaban.
Jamal tahu istrinya tidak tidur. Perempuan itu selalu mendengkur dan berputar 180° setiap tidur, mustahil tenang dan aku calm down.
"Ada apa, Yang? Kamu kenapa?" Jamal menepuk ringan pundak istrinya, "Ada masalah, Yang? Cerita, dong." Jamal berusaha membujuk.
Ria akhirnya bergerak. Dengan pelan, perempuan itu menoleh pada Jamal.
"Lapar?" tanyanya.
Jamal mengangguk segera, khawatir istrinya akan berubah pikiran jika tak segera disahuti.
"Bentar." Perempuan itu beranjak, menuju ke dapur, mengambilkan makanan dan minuman untuk Jamal.
"Ini," katanya meletakkan makanan dan minuman di lantai, mengingat mereka tidak memiliki meja makan.
"Makasih, Yang." Jamal tersenyum lebar.
Ria hanya mengangguk lantas duduk di kasur lagi. Jamal berusaha berpikir positif, perutnya sudah keroncongan sehingga makan adalah prioritas utama untuk saat ini. Perihal Ria, bisa dia pikirkan nanti.
Rumah kontrakan Jamal dan Ria terdiri dari tiga ruangan, ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur yang berdekatan dengan kamar mandi. Di bagian luar terdapat satu teras kecil dan tempat menjemur pakaian. Tidak ada pintu belakang ataupun jendela, mengingat kontrakan mereka saling berhimpitan dengan kontrakan yang lain. Namun, tergolong murah, hanya enam ratus ribu per bulan.
Selesai makan Jamal meletakkan piring dan gelasnya di dapur, ember kecil yang biasa Ria gunakan untuk mencuci perabotan. Lelaki itu pun menemui istrinya lagi.
"Ada apa, Yang?"
Ria hanya memanyunkan bibir, "Nggak apa-apa."
"Ada masalah?"
Ria menggeleng, "Nggak ada."
"Ya sudah, aku tidur dulu ya. Semalaman kerja, capek. Nanti dhuhur tolong dibangunkan ya, Sayang." Jamal meminta dengan halus .
Ria hanya mengangguk kecil. Jamal pun menganggap istrinya tidak masalah jika dia pergi tidur, jadi dia berbaring dan memejamkan mata.
"Dih, istri diam, cemberut, dibiarin. Emang nggak perhatian." Sayup-sayup, Jamal mendengar omelan istrinya, tetapi matanya sudah mengantuk. Jadi, dia tidur.
Siangnya, dia bangun sendiri. Istrinya ternyata juga tertidur. Jamal melihat jam di ponselnya, jam dua siang kurang lima menit. Segera dia menuju kamar mandi, mandi lantas sholat. Barulah kemudian dia membangunkan istrinya yang ternyata sudah melaksanakan sholat sebelum tidur. Agaknya, Ria sudah tenang selepas tidur, perempuan itu bertingkah normal, tidak lagi cemberut. Jamal sangat bersyukur untuk hal itu.
"Yang, sore keluar, yuk," ajak Jamal. Dia ingin menyenangkan istrinya sekaligus refreshing dari rasa penat yang dirasakannya karena masalah di perusahaan tadi malam.
"Beneran? Beli mie ayam dan es degan?" Mata Ria berbinar cerah. Perempuan itu terlihat sangat antusias.
"Nggak bisa beli satu aja, Yang? Lebih baik lagi kalau kita jalan-jalan aja, muter, nggak usah makan." Jamal menyarankan.
Ria mendadak cemberut.
"Hemat, Yang," ujar Jamal lembut.
Ria semakin cemberut.
"Ya sudah." Jamal terpaksa mengalah, demi senyuman sang istri yang memang sangat menyukai mie ayam.
Sorenya, mereka berdua keluar, berputar keliling sekitar daerah tempat mereka tinggal. Setelahnya mampir di warung mie ayam, memesan dua mangkok mie ayam dengan pangsit dan sayur sawi yang banyak.
"Mas, aku pesan es teh ya." Ria sepertinya lupa kalau tadi hanya meminta untuk dibelikan mie ayam dan es degan.
Jamal terpaksa mengangguk, berpositif thingking, mengira Ria sudah tidak lagi ingin es degan.
Es teh pun dipesan. Ria memakan makanannya dengan lahap. Walau bercadar, sepertinya perempuan itu sudah ahli dalam membasmi mie ayam sehingga tidak terlihat kesulitan sama sekali.
Selesai makan, Jamal berinisiatif mengajak Ria mengobrol, masih penasaran mengapa istrinya tadi uring-uringan.
"Tadi, kamu kenapa, Yang? Ada masalah apa?" Jamal membuka pembicaraan.
"Itu, adikku di kampung, bikin kesel." Ria bercerita dengan santai, perut kenyang membuatnya tidak lagi cemberut atau emosi.
Ria memang bukan anak tunggal, melainkan anak kedua. Dia memiliki seorang kakak laki-laki dan adik perempuan yang masih duduk di bangku kuliah.
"Kenapa sama Bona?" tanya Jamal lagi.
"Ya, masak dia itu cerita kalau temennya cowok, ketua kelas, dia blokir cuma gara-gara meminta dia menyimpan nomernya? Apa-apaan coba? Cowok itu ketua kelas, lho. Wajar kan dia ingin nomernya disimpan, kok, malah diblokir? Kalau ada informasi penting gimana coba? Membatasi pergaulan dengan lawan jenis memang harus, tetapi nggak kayak gitu kan? Dia ketua kelas, bukan cowok nakal di pinggir jalan." Ria seperti jalan tol, bercerita panjang-lebar tanpa jeda. Walau dia tidak mungkin lupa bernapas.
"Terus?" Jamal meminta Ria melanjutkan ceritanya, menyimak dengan seksama curahan hati istrinya.
"Ya, kesel. Apalagi dia itu kayak kesel pas aku suruh save nomer cowok itu. Aku cuma save, lho, bukan chatan. Nyebelin kan? Pesanku nggak dibaca lagi. Awas aja dia w******p aku, nggak akan aku baca juga." Ria mendengus kasar, meluapkan asap emosi yang sudah mengebul di hati dan otaknya.
"Sabar, Yang. Namanya juga anak kecil, ya kan? Dia belum dewasa." Jamal mencoba menasehati.
"Kok, mas malah ngebelain dia, sih? Istrimu aku atau dia, sih?" Ria mendadak sewot.
Jamal mengelus d**a. Rasanya pertanyaan barusan tidak perlu dijawab, mengingat jawabannya sudah jelas.
"Kenapa nggak dijawab? Nggak tahu kamu istrimu siapa?"
Jamal rasanya ingin memakan mangkok mie ayam di depannya.
"Kamu istriku, yang cantik, sholehah, sabar dan menyenangkan," puji Jamal membuat pertahanan Ria luluh. Perempuan itu tersenyum malu-malu.
Dasar mangkok mie ayam, gerutu Jamal dalam hati, tidak berani diutarakan agar perang Badar tidak lagi terjadi.
"Oh ya, mas di tempat kerja gimana? Lancar?" Ria bertanya balik.
"Tadi ada NG. Operatorku bikin masalah, kartu SD di ponsel nggak dilepas, akhirnya beberapa ada yang NG. Nggak tahulah, pusing. Nanti malam pasti dibahas kalau rapat. Bisa-bisa aku kena SP atau punishmen." Jamal mengeluarkan isi hatinya.
"SP? Surat peringatan?" Ria memastikan.
Jamal mengangguk mengiyakan, "Iya, kalau dapat SP tiga kali, dipecat. Kalau punishment gaji dipotong seratus-dua ratus ribu," jelas Jamal.
"Waduh, kok, gitu? Yang buat masalah kan operator, kenapa mas yang kena?" Ria terlihat heran dan panik.
"Ya, kan aku sebagai leader, Yang. Harus bertanggungjawab."
"Gimana, dong?"
"Ya, nggak tahulah. Pikirin nanti malam aja, harus ngasih alasan dan solusi agar masalah ini nggak terulang lagi nanti." Jamal mendesah berat.
"Ya sudah, Mas, semangat." Ria memberikan semangat.
Jamal hanya tersenyum kecil, "Makasih, Yang."
Ria tersenyum lebar. Kedua pun memutuskan pulang setelahnya. Namun, di jalan, Ria meminta dibelikan es degan. Sepertinya, perempuan itu sekadar menyemangati, bukan memikirkan permasalahan suaminya, atau mungkin sudah lupa.
Tiba di rumah Ria terlihat asyik dengan ponselnya, sedang mendengarkan ceramah rutin di youtube. Jamal hanya duduk, perutnya kekenyangan. Dia juga harus memikirkan solusi untuk nanti malam.
"Mas, jerawat aku tumbuh, nih." Ria menunjuk jerawat di dagunya.
"Nanti juga ilang, Yang," katanya dengan santai.
"Kalau aku jadi jelek gimana? Kamu nanti berpaling ke perempuan lain, Mas? Aku tidak mau." Ria terlihat cemas.
"Nggak akan, Yang. Aku bukan lelaki seperti iyu. Biarin aja jangan dipencet jerawatnya, nanti nyebar ke mana-mana, lho."
Ria mendekati Jamal lantas memeluknya, "Aku sayang, Mas. Jangan tinggalin aku karena jerawatan ya."
Jamal hanya tersenyum, bingung harus mengatakan apa agar istrinya tidak perlu khawatir. Baginya, masalah jerawat atau tingkah iparnya Bona, bukan masalah besar sehingga seharusnya Ria tidak perlu banyak memikirkannya.
Setelah sebulan menempuh pendidikan di kampus rumah tangga, di mana istrinya berperan sebagai dosen, Jamal mulai mengerti. Masalah kecil seperti jerawat sampai masalah besar seperti pelakor di rumah tangga, bagi perempuan tidak ada bedanya. Semua masalah adalah besar dan gawat. Saat itu terjadi, sebaiknya, lelaki menyiapkan mental dan uang. Sebab, perempuan sering kali bisa diajak mengobrol setelah diajak makan, jalan-jalan atau berbelanja.
Kebahagian istri adalah ketenangan bagi suami. Itu adalah dasar ilmu yang harus dipahami lelaki yang ingin atau sedang berstatus suami. Nikah itu berat, Bro. Jamal membatin.